Pagi jelang siang, 10 Maret 1965, Harun Said dan Usman Bin Hj Mohd Ali tiba di Singapura. Menyamar sebagai orang biasa, 2 prajurit Korps Komando Operasi (KKO) sebutan untuk pasukan Marinir saat itu– memasuki MacDonald House.
Masing-masing meletakkan bahan peledak di tangga lantai mezzanine, dekat area lift. Setelah memasang timer, mereka meninggalkan bangunan sekitar pukul 15.00, menggunakan bus.
Seorang saksi mata mengaku melihat tas bepergian berbahan kanvas bertuliskan ‘Malayan Airways’ di lantai mezzanine — yang menghasilkan suara mendesis serta kepulan asap.
Federasi Tanah Melayu
Tindakan tersebut mereka lakukan atas nama negara. Kala itu, pemerintah Indonesia menentang penggabungan Federasi Tanah Melayu, Singapura, Brunei, Serawak, dan Sabah ke dalam satu Malaysia.
Tiga hari setelah kejadian, Usman dan Harun ditangkap saat berusaha melarikan diri dari Singapura. Lewat jalur laut.
Memohon keringanan
Pada 20 Oktober 1965, Usman dan Harun dinyatakan bersalah atas kasus pengeboman MacDonald House yang menyebabkan 3 orang tewas. Kasasi mereka ditolak Pengadilan Federal Malaysia pada 5 Oktober 1966. Permintaan terbuka presiden kala itu Soeharto/Suharto (8 June 1921 – 27 January 2008) kepada Lee Kuan Yew untuk memberikan keringanan hukuman kepada dua anggota KKO tersebut juga ditepis. Keduanya lalu dieksekusi gantung pada 17 Oktober 1968.
Penolakan Singapura tersebut memicu kemarahan di Indonesia. Kepulangan jenazah kedua personel KKO itu ke Tanah Air disambut secara besar-besaran.
Ketegangan hubungan antara Indonesia dan Singapura mencapai klimaks. Kedutaan Besar Singapura di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta, diserbu dan dirusak massa yang membawa bambu runcing.
Syarat Soeharto
Tiga tahun setelah insiden itu, Lee Kuan Yew atau Harry Lee Kuan Yew(16 September 1923 – 23 Maret 2015) merencanakan kunjungan ke Indonesia. Soeharto lantas mengajukan syarat: Lee harus menaburkan bunga di makam Harun dan Usman di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Hal itu disetujui Lee.
“Namun entah dengan pertimbangan apa, PM Lee setuju meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun,” ujar Abdul Rachman Ramly, liason officer RI pada kasus Usman-Harun, dalam buku Pak Harto The Untold Story. Hubungan Indonesia dan Singapura pun akhirnya pulih.
Kapal perang
Persoalan Usman Harun kembali jadi kontroversi dua negara pada tahun 2014. Gara-garanya, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menamakan kapal perang terbarunya sebagai KRI Usman–Harun (359).
Singapura mengajukan protes. Menteri Luar Negeri Singapura K. Shanmugam dalam pernyataan tertulisnya menyebut, “tindakan tersebut akan mengorek kembali luka lama warga Singapura, terutama keluarga para korban.”
Namun, Indonesia bergeming. Tak mau ganti nama. “Saya tidak terima kalau Usman-Harun itu dinyatakan sebagai teroris. Mereka (Usman dan Harun) Marinir kok,” kata Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko saat itu.
Baca juga : (Melawan Lupa)Pao An Tui, Sisi Kelam Masyarakat Cina pendukung Belanda di Indonesia
Baca juga : Peran Suharto dan Sultan HB IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
Sumber : https://eresources.nlb.gov.sg/infopedia/articles/SIP_62_2004-12-17.html