Perang Menteng menjadi salah satu sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajahan Belanda. Sebab, perang tersebut menjadi pertempuran maritim terdahsyat bagi Belanda di abad ke-19.
ZONA PERANG (zonaperang.com) Konvensi London 13 Agustus 1814 membuat Inggris menyerahkan kembali kepada Belanda semua koloninya yang dikuasai sejak 01 Januari 1803 atas wilayah Nusantara, kecuali Bengkulu. Kebijakan ini tidak menyenangkan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles(6 Juli 1781 – 5 Juli 1826) karena harus menyerahkan Palembang kepada Belanda.
Serah terima terjadi pada 19 Agustus 1816 setelah tertunda dua tahun, itu pun setelah Raffles digantikan oleh John Fendall, Jr. (9 Oktober 1762 – 10 November 1825).
Perang Menteng
Perang Menteng (dari kata Muntinghe) adalah perang yang dimaksudkan untuk mengusir orang-orang Belanda di bawah pimpinan Herman Warner Muntinghe(Amsterdam, 24 April 1773 – Pekalongan, 24 November 1827). Perang Menteng terjadi di Palembang pada 12 Juni 1819 di bawah pimpinan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Penyebab terjadinya Perang Menteng adalah keinginan Belanda untuk menguasai Kesultanan Palembang. Sayangnya, perang ini diakhiri dengan kekalahan Kesultanan Palembang.
Latar belakang
Latar belakang Perang Menteng didorong oleh penemuan timah di Bangka pada pertengahan abad ke-18. Sejak saat itu, Inggris dan Belanda telah mengincar Palembang untuk menjadi wilayah kekuasaan mereka.
Awal mula penjajahan ditandai dengan penempatan loji atau kantor dagang di Palembang. Loji pertama milik Belanda terletak di Sungai Aur. Thomas Stamford Raffles, sebagai perwakilan Inggris, berusaha membujuk Sultan Mahmud Badaruddin II (23 November 1767 – 26 September 1852) agar mengusir Belanda dari Palembang. Namun, Kesultanan Palembang dengan tegas mengatakan bahwa mereka tidak ingin terlibat dalam konflik antara Inggris dan Belanda.
Bersamaan dengan lepasnya Indonesia dari tangan Belanda pada awal abad ke-16, Inggris akhirnya berhasil menduduki Palembang dan membentuk sebuah perjanjian pada 14 Mei 1812.
Kendati demikian, Belanda terus berusaha merebut Palembang dari tangan Inggris, yang diawali dengan ditandatanganinya Perjanjian London antara Belanda dan Inggris pada 13 Agustus 1814. Lewat perjanjian ini, Inggris terpaksa harus menyerahkan Palembang kepada Belanda.
Seorang ulama yang ditembak mati Belanda tanpa alasan yang jelas
Belanda kemudian mengangkat Herman Warner Muntinghe sebagai komisaris di Palembang. Sebagai komisaris baru di Palembang, Muntinghe mulai menjajah pedalaman wilayah Kesultanan Palembang. Muntinghe berdalih bahwa penjajahan merupakan bagian dari bentuk inventarisasi wilayah, padahal untuk menguji kesetiaan Sultan Badaruddin II.
Suatu hari, di daerah Muara Rawas, Muntinghe dan pasukannya secara tiba-tiba diserang oleh para pengikut Sultan Badaruddin II. Sekembalinya dari Muara Rawas, Muntinghe memaksa Kesultanan Palembang menyerahkan putra mahkota sebagai jaminan supaya Kesultanan Palembang selalu setiap terhadap Belanda.
Mengetahui hal itu, Sultan Badaruddin II semakin kesal, terutama setelah ada seorang ulama yang ditembak mati Belanda tanpa alasan yang jelas. Hal itulah yang menjadi penyebab Perang Menteng pada 12 Juni 1819.
Kronologi
Pada 12 Juni 1819, pertempuran pun pecah, di mana sekitar 200 prajurit Belanda dikirim untuk menyerang pertahanan Kesultanan Palembang di Kuto Besak. Pertempuran terus berlanjut sampai hari esok, tetapi pertahanan Palembang masih sulit ditembus, sampai akhirnya Muntinghe kembali ke Batavia dengan kekalahan.
Belanda merasa tidak terima dengan kekalahan ini, sehingga Muntinghe berdiskusi dengan pemimpin tertinggi Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.P. baron van der Capellen (15 Desember 1778 – 10 April 1848). Hasilnya adalah Belanda akan melakukan serangan balik dengan kekuatan berlipat ganda.
Sultan Badaruddin II juga sudah bersiap
Belanda mengirim sebanyak 2.000 pasukan dan puluhan kapal tempur dengan tujuan meluluhlantakkan Kesultanan Palembang. Di saat yang sama, Sultan Badaruddin II juga sudah bersiap apabila ada serangan balik dari pihak Belanda.
Persiapan yang dilakukan adalah restrukturisasi pemerintahan dan membangun perbentengan di antara Pulau Kembaro dan Plaju, yang menjadi jalur masuk ke Kota Palembang. Sultan juga memerintahkan pasukannya untuk membuat pancang-pancang kayu yang berfungsi untuk menahan kapal-kapal Belanda.
Pada 21 Oktober 1819, pertempuran kedua terjadi di Sungai Musi, juga kembali berakhir dengan kekalahan Belanda. Penjajah, yang dipimpin oleh Constantijn Johan Wolterbeek (5 April 1766 – 23 Mei 1845), memutuskan untuk mundur ke Batavia, dan kembali ke Palembang pada 9 Mei 1821 di bawah pimpinan Hendrik Merkus Baron de Kock (25 May 1779 – 12 April 1845).
Akhir pertempuran
Pada 21 Oktober 1819, Sultan Badaruddin II mengangkat putranya, Pangeran Ratu, menjadi sultan di Palembang dengan gelar Ahmad Najamuddin III. Hal ini sengaja dilakukan agar Badaruddin II lebih fokus memimpin perlawanan Kesultanan Palembang untuk mengusir Belanda.
Badaruddin II memperkuat benteng-benteng di Pulau Kembaro dan Plaju dengan meriam-meriam, serta menyiapkan sekitar 7.000 hingga 8.000 pasukan.
Pada 22 Mei 1821, De Kock dengan armadanya sampai di Sungai Musi, yang langsung disambut dengan tembakan meriam. Meriam dari pasukan Badaruddin II tidak hanya menghancurkan formasi armada De Kock, tetapi membuat mereka kewalahan dan memilih mundur.
Akan tetapi, langkah itu ternyata hanya taktik dari pihak Belanda untuk mengatur kembali strategi penyerangan dengan menggarap bangsawan yang dapat dibeli dan mengetahui titik-titik pertahanan.
Mengira pada hari Minggu orang Belanda tidak menyerang
Pada 24 Juni 1821 dini hari, tiba-tiba Belanda memberikan serangan saat penduduk sedang makan sahur yang membuat Palembang mengalami kekalahan.
Serangan dadakan ini melumpuhkan Palembang karena mengira pada hari Minggu orang Belanda tidak menyerang seperti lawan tidak akan menyerang di hari Jumat
7 Oktober 1823 Kesultanan Palembang resmi dihapus oleh Belanda
Dampak Perang Menteng Sekitar 101 orang dari pihak Belanda tewas dalam Perang Menteng, sementara jumlah di pihak Palembang tidak diketahui.
Badaruddin II bersama keluarganya, termasuk Sultan Ahmad Najamuddin III, dibawa ke Batavia, sebelum akhirnya diasingkan ke Ternate pada 3 Juli 1821 hingga akhir hayatnya.
Akibat dari peperangan ini, Palembang jatuh ke tangan Belanda. Kemudian, pada 7 Oktober 1823, Kesultanan Palembang resmi dihapus oleh Belanda dan Kuto Tengkuruk dihancurkan hingga rata dengan tanah.
Baca juga : 26 Maret 1873, Perang Atjeh : Hindia Belanda menyatakan perang terhadap negara berdaulat Aceh
Baca juga : 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro ditangkap saat berunding dengan Penjajah Belanda
Referensi: Sepriady, Jeki. (2019). Fundamentalisme Dalam Syair Palembang 1819. Jurnal Sejarah dan Pembelajaran Sejarah. Vol. 5. No. 1, Juli 2019.