- Pada 12 November 1991, dunia menyaksikan salah satu tragedi paling mengejutkan dan menyedihkan dalam sejarah Timor-Timur. Insiden Dili, yang juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz, menjadi titik balik dalam perjuangan rakyat Timor-Timur untuk kemerdekaan dan menarik perhatian internasional terhadap pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut.
- Peristiwa ini terjadi di pemakaman Santa Cruz, Dili, ketika tentara Indonesia menembaki para demonstran pro-kemerdekaan yang sedang melakukan prosesi damai untuk mengenang kematian Sebastião Gomes
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Tiga bulan menjelang Natal 1991 kabar beredar di Timor Timur: sebuah delegasi parlemen dari Portugal berniat mengunjungi daerah itu. Rencananya, kedatangan mereka akan diikuti 12 jurnalis internasional. Siapapun tak menyangka hal ini akan memicu peristiwa yang akan diingat orang sebagai catatan khusus dalam sejarah Indonesia di bumi Lorosae dan perlakuan Barat yang mendua.
Belakangan niatan Portugal ini ditolak pemerintah saat itu. Indonesia keberatan bila kunjungan itu disertai para jurnalis—sementara di dalam negeri sendiri, seperti kata mantan pewarta Jakarta Jakarta Seno Gumira Ajidarma, “jurnalisme dibungkam dan harus menggunakan sastra untuk bisa berbicara.”
“Timor Timur adalah bekas koloni Portugis yang dianeksasi oleh Indonesia pada 1975 melalui operasi militer besar-besaran yang dikenal sebagai Operasi Seroja. Meskipun aneksasi ini secara resmi dianggap sebagai bagian dari integrasi wilayah Indonesia, banyak rakyat Timor-Timur menentang kekuasaan Indonesia dan terus memperjuangkan kemerdekaan mereka. Ketegangan antara rakyat Timor dan pemerintahan Indonesia berlangsung selama bertahun-tahun, dengan berbagai aksi perlawanan dan represif yang menimbulkan banyak korban jiwa.”
Jauh-jauh hari para pemuda Timor Leste yang melakukan perlawanan bawah tanah sudah kadung menyiapkan sambutan atas kunjungan Portugal itu. Namun gerakan klandestin mereka ternyata diketahui intelijen Indonesia. Mereka yang membuat spanduk-spanduk penyambutan delegasi Portugal di gereja Moteal Dili diawasi terus gerak-geriknya oleh TNI.
Hingga pada malam 27 Oktober 1991, sekelompok provokator yang bekerja untuk intelijen Indonesia mengejek para aktivis pro-kemerdekaan dan memancing mereka untuk ribut. Anak-anak muda Timor Leste terpancing dan perkelahian berlangsung di malam itu juga. Pagi hari 28 Oktober 1991, jasad aktivis muda pro-kemerdekaan, Sebastiao Gomez, ditemukan tergeletak di dekat gereja Moteal.
Baca juga : Insiden Pulau Rote NTT 1999 : “Pertemuan” tidak seimbang Hawk TNI-AU VS F/A-18 Hornet Australia
Baca juga : Tragedi Rohingya: Dari Penindasan di Myanmar hingga Pengungsian yang Tak Berujung
Kronologis
Tentara Menembaki Demonstran Dua pekan setelah itu, pagi 12 November 1991, Pastur Alberto Ricardo memimpin misa arwah untuk memperingati kematian Gomez di gereja Moteal Dili. Misa diikuti ribuan umat Katolik Timor Leste. Ketika misa usai pukul 07.00 waktu setempat, sekitar lima ratusan orang keluar gereja sembari membentangkan spanduk bergambar Xanana Gusmao, pemimpin gerakan pro-kemerdekaan Timor Leste.
Sambil terus berjalan mereka memekikkan “Timor Leste! Timor Leste! Timor Leste!”. Iringan pengunjuk rasa itu berjalan sekitar 4 kilometer menuju pemakaman Santa Cruz, tempat Gomez dimakamkan. Sampai di pemakaman Santa Cruz, menurut Paul R. Bartrop dan Steven Leonard Jacobs dalam Modern Genocide (2014), tentara Indonesia telah bersiaga yang terdiri dari pasukan Kompi A Brimob 5485, Kompi A dan Kompi D Batalion 303, dan kompi campuran—dengan pakaian preman yang dibentuk pada malam sebelumnya.
Selain itu Batalion 744 dan personil dari Kodim 1627 juga berada di sana. Saat itulah, seperti terlihat dari rekaman video jurnalis Inggris Max Stahl, suasana menjadi kacau. Sirine dan suara letusan tembakan memekik telinga. Para demonstran lari tunggang-langgang. Sementara yang lain mencari persembunyian di antara nisan-nisan Santa Cruz.
Berdasarkan kesaksian, seperti ditulis Paul R. Bartrop, tentara Indonesia menembaki massa dengan membabi buta diikuti berondongan senapan otomatis selama beberapa menit. Tentara Indonesia menembak ke tengah kerumunan dan membuat para aktivis pro-kemerdekaan tertembak di punggung saat mereka berusaha melarikan diri.
Tentara lainnya menendang dan menusuk korban luka serta sejumlah orang yang bersembunyi di area pemakaman. Hukman Reni di buku Eurico Guterres: Saya Bukan Siapa-siapa (2015) menyebutkan, “Dalam Laporan Dewan Kehormatan Militer, Peristiwa 12 November itu menewaskan 50 warga sipil Timor Timur. Tetapi laporan lain menyebutkan ratusan orang luka-luka dan puluhan tewas kena peluru tentara Indonesia.
Penyelidikan rinci dari perlawanan bawah tanah Timor Timur bahkan mendapatkan angka 273 tewas.” Berdasarkan video Max Stahl itulah setidaknya mata dunia terbuka. Amnesty Internasional menganugerahi video insiden Dili berjudul Cold Blood: The Massacre of East Timor itu sebagai video terbaik untuk kategori hak asasi manusia pada 1992.
Sementara para aktivis Timor Timur di luar negeri yang sebelumnya tidak diperhitungkan, kembali mendapatkan simpati. Rosihan Anwar di Sejarah kecil “Petite Histoire” Indonesia (2004) menjelaskan pembantaian di Dili mengakibatkan masalah Timor Timur ditaruh di agenda internasional mengenai HAM. “Para aktivis Timor Timur yang beroperasi di luar negeri, terutama Ramos Horta, memperoleh lebih banyak perhatian internasional,” terangnya.
Perubahan Prilaku Barat
Rosihan Anwar benar. Pakar politik Australia Rebecca Strating dalam Social Democracy in East Timor (2015) menyebutkan setelah insiden Dili itu, senator AS meminta Presiden George Bush Sr. agar membantu Timor Timur menentukan nasib sendiri dengan memasukkan persoalan tersebut dalam agenda resolusi Majelis Umum PBB.
Tekanan internasional, terutama Amerika, terhadap Timor Timur itu dijawab Jakarta dengan mengubah struktur kepemimpinan militer di Timor Timur. Awal 1992 Mabes AD melalui Dewan Kehormatan Militer (DKM) memecat Panglima Daerah Militer (Pangdam) IX Udayana, Mayjen Sintong Panjaitan, Pangkalakops Timor berserta seluruh Asisten Pangkolakops, Danrem 164/Wira Dharma, Dandim 1827/Dili dicopot dari jabatannnya.
Di buku Hendra Subroto, Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009), Sintong berkilah bahwa ada kemungkinan keterlibatan pihak ketiga dalam Insiden 12 November di Dili itu. Pihak ketiga inilah yang menurut Sintong menjadi dalang aksi sabotase di Santa Cruz yang mengarah ke kekerasan militer.
Tapi Sintong tak menyebut dengan jelas siapa pihak ketiga tersebut. Sementara itu, mantan Komandan Kopassus yang pernah bertugas di Timor Timur, Prabowo Subianto, menyebutkan bahwa tindakan penyerangan di Santa Cruz itu tidak taktis secara militer. “Anda tidak semestinya membunuh warga sipil di depan pers internasional,” ujar Prabowo kepada jurnalis Amerika Allan Nairn seperti dikutip dari laman alannairn.org. “Komandan-komandan itu bisa saja membantai di desa-desa terpencil sehingga tak diketahui siapapun, tapi bukan di ibu kota provinsi!” tambahnya.
Tindakan berlebihan
Mengabaikan Tekanan Internasional Kendati sejumlah komandan yang diduga terlibat dalam Santa Cruz dipecat dari jabatannya, Jakarta tetap menjalankan operasi militer di Timor Timur. Stephen McCloskey dalam East Timor Question: The Struggle for Independence from Indonesia (2000) bahkan menyebutkan setelah Pembantaian Dili, Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan lisensi penjualan 300 jenis peralatan militer ke Indonesia.
Beberapa item yang dijual: dari senapan mesin dan M-16 sampai komponen elektronik, dari alat komunikasi hingga suku cadang pesawat tempur. Dengan dukungan seperti itu maka tentara Indonesia di bawah Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno dengan tanpa was-was dituding melanggar HAM dan menangkap pemimpin kemerdekaan Timor Timur Xanana Gusmao pada 20 November 1992, setahun setelah insiden berdarah di Santa Cruz.
Menurut Rebecca Strating, dalam sebuah pernyataan kepada Majelis Umum PBB pada 1994, Amnesty International bersama lembaga-lembaga hak asasi manusia lain di Asia Pasifik dan Inggris menyesalkan terjadinya pembantaian Santa Cruz dan pemenjaraan Xanana Gusmao.
Embargo senjata
Kendati ada tekanan dari lembaga-lembaga hak asasi internasional, Indonesia tetap bersikukuh dengan operasi militernya untuk menumpas “krebo-krebo hutan”—sebutan untuk kombatan Fretelin yang disematkan ABRI.
Namun pada akhirnya kelak Amerika dan Barat mulai membatasi penyaluran suku cadang hingga pelatihan yang berakibat Indonesia tidak bisa lagi menambah F-5 Tiger atau F-16 Fighting Falcon untuk melindungi teritori wilayahnya yang luas, hingga kelak membuat keputusan untuk kembali membeli senjata dari Rusia.
Tentara Indonesia baru hengkang dari Lorosae ketika Timor Leste merdeka pada 1999. Pada 25 Januari 2006, Washington Post pernah melaporkan hasil penelitian Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Timur.
Menurut penelitian komisi itu, Amerika seharusnya bertanggungjawab karena telah mendukung baik secara politik dan militer kepada Indonesia sejak pertama kali menyerang Timor Timur pada Desember 1975 dan selama mempertahankan daerah itu selama 24 tahun. Setidaknya akibat invasi ini lebih dari 100.000 orang telah tewas.
Dampak Tragedi Santa Cruz terhadap Perjuangan Timor-Timur
Tragedi Santa Cruz menjadi momen penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Timor-Timur. Liputan media internasional dan kemarahan global akibat peristiwa tersebut memperkuat gerakan pro-kemerdekaan dan menambah tekanan pada pemerintah Indonesia. Bagi rakyat Timor-Timur, insiden ini semakin menguatkan tekad mereka untuk terus berjuang demi kebebasan, meskipun dengan biaya nyawa yang sangat besar.
Akhirnya, perjuangan panjang Timor-Timur berakhir pada tahun 1999 ketika diadakan referendum yang diawasi oleh PBB. Dalam referendum tersebut, mayoritas rakyat Timor-Timur memilih merdeka dari Indonesia. Setelah masa transisi yang sulit, Timor-Timur, atau yang kini dikenal sebagai Timor-Leste, secara resmi menjadi negara merdeka pada 20 Mei 2002.
Baca juga : Penjajahan Yerusalem, Pembebasan Konstantinopel dan Penguasaan Nusantara oleh Barat
Baca juga : Kisah Luar Biasa di Balik Benteng San Paolo: Warisan Penjajahan Portugis dan Kemenangan Tanpa Darah