Pertempuran Bubat atau disebut juga Pasunda Bubat adalah pertempuran antara keluarga kerajaan Sunda dan tentara Majapahit yang terjadi di alun-alun Bubat di bagian utara Trowulan (ibu kota Majapahit)
ZONA PERANG (zonaperang.com) Gajah Mada dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai mahapatih terbaik dan terbesar dalam catatan peradaban Majapahit. Kemegahan dan kedigdayaan Majapahit, tak lepas dari peran penting sang mahapatih.
Tak sembarangan, sebelum menjadi mahapatih yang tenar seantero Nusantara, Gajah Mada memulai karirnya sebagai bekel (pengawal) di pasukan Bhayangkara. Sejak masih menjadi bekel, kontribusinya untuk Majapahit tak disangsikan lagi, hingga terpilihnya sebagai mahapatih.
Mempersatukan negara kepulauan
Sejarah mencatat perannya dalam mempersatukan negara kepulauan di bawah panji Majapahit. Itu pun ia lakukan saat berupaya dalam menguasai Jawadwipa (sekarang Pulau Jawa) ke dalam genggamannya.
Salah satu momentum terbesarnya adalah saat munculnya gagasan untuk menguasai Jawadwipa dengan menaklukan Kerajaan Sunda. Gajah Mada dianggap sebagai aktor yang banyak terlibat dari peristiwa besar yang melibatkan Majapahit dengan Kerajaan Sunda.
“Gagasan utama dalam menaklukan Sunda adalah dengan menjalin hubungan diplomasi dan persekutuan,” tulis Ayu Firmaningsih dalam skripsinya kepada UIN Sunan Ampel Surabaya, berjudul Tinjauan Historis Peristiwa Perang Bubat Tahun 1357 M dalam Manuskrip Serat Pararaton, pada 2021.
Berkat hasutan Gajah Mada, upaya diplomasi berjalan dengan baik. “Hayam Wuruk yang berusia muda, menginginkan seorang istri dan berniat mempersunting putri Sunda,” tambahnya.
“Gajah Mada mencoba memanfaatkan situasi untuk menempuh jalan menaklukan kerajaan Sunda,” terusnya.
Baca juga : Sejarah Perkembangan Kerajaan Kesultanan Mataram Islam
Dyah Pitaloka Citraresmi
Kala itu, dikisahkan bahwa Prabu Hayam Wuruk yang masih berusia 23 tahun, menginginkan seorang istri dan berniat untuk melamar putri Sunda yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi.
“Dari segi rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda, Dyah Pitaloka, sepenuhnya (ialah) urusan kasih sayang dan hubungan antara lelaki dan perempuan, tidak ada sangkut pautnya dengan politik,” lanjut Ayu.
Setelah mendapat restu, Hayam Wuruk lantas mengirim utusan untuk menyampaikan surat kehormatan untuk melamar Dyah Pitaloka. Surat tersebut disampaikan oleh patih Madu kepada Prabu Maharaja Linggabuana Wisesa, raja yang bertahta di Kerajaan Sunda kala itu.
Prabu Linggabuana dengan senang hati menerima
Prabu Linggabuana dengan senang hati menerima surat tersebut, bersedia untuk menikahkan anak pertama yang ia kasihi selama ini, menikah dengan pemimpin terbesar di kerajaan paling sohor seantero Nusantara, raja Majapahit.
Maharaja dan rombongan Sunda berencana untuk berangkat menuju Majapahit dalam rangka merayakan pernikahan pada tahun 1357. Pernikahan besar dua kerajaan di Jawadwipa. Sesuatu yang tak lazim kala itu, saat mempelai wanita harus datang kepada pihak pria.
“Namun, Linggabuana sudah menyetujui bahwasanya pernikahan akan diselenggarakan di Majapahit,” sambungnya.
Sesampainya Raja beserta rombongan dari Sunda di lapangan Bubat, Majapahit,melalui Pelabuhan Hujung Galuh mereka tak menemukan adanya penyambutan apapun dari tuan rumah, menyambut kedatanagan tamu jauh dari Sunda.
Mempertahankan harkat dan martabat
Dalam sumber faktual, Serat Pararaton, menjelaskan bahwa Gajah Mada menolak diadakanya upacara perkawinan yang meriah. Sebaliknya, putri Sunda harus dijadikan persembahan untuk Prabu Hayam Wuruk untuk diperisteri.
Mendengar penghinaan itu, Prabu Linggabuana menolak dan rela berperang untuk mempertahankan harkat dan martabat Sunda, hingga akhirnya meletus perang di lapangan Bubat, Majapahit. Pertempuran itu dikenal dengan Perang Bubat.
Karena, perbedaan kekuatan dari kerajaan Sunda dengan kerajaan Majapahit membuat kerajaan Sunda kewalahan dan dikalahkan kerajaan Majapahit.
Bukan kebahagiaan yang direngkuh atas pernikahan anaknya, Dyah Pitaloka, Prabu Linggabuana malah menjadi korban yang terbunuh dalam Perang Bubat. Kematiannya menandai kegagalan pernikahan antara Prabu Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi.
“Raja Sunda gugur dalam duel dengan seorang jenderal Majapahit serta bangsawan Sunda lainnya dengan hampir semua pihak kerajaan Sunda dibantai dalam tragedi itu.
Dikatakan bahwa putri yang patah hati — bersama dengan sangat mungkin semua wanita Sunda yang tersisa — mengambil nyawanya sendiri untuk mempertahankan kehormatan dan martabat negaranya.
Ritual bunuh diri oleh para wanita dari kelas ksatria (prajurit) setelah kekalahan kaum laki-laki mereka, untuk mempertahankan harga diri dan kehormatan mereka serta untuk melindungi kesucian mereka, daripada menghadapi kemungkinan penghinaan melalui pemerkosaan, penaklukan, atau perbudakan.”
Baca juga : Kalahnya Pasukan Mongol(Dinasti Yuan) di Tanah Jawa
Baca juga : Tahukah Anda? Ibukota Manila, dulu bernama “Fi Amanilah”
Orang yang paling dipersalahkan pasca peperangan
Hayam Wuruk baru mengetahui kabar tersebut setelah peperangan berakhir. Hal ini membuat, Hayam Wuruk mengalami kesedihan yang sangat mendalam, mengingat putri yang diidam-idamkan ikut gugur.
Kegagalan Hayam Wuruk untuk mempersunting putri Sunda, menengarai sosok Gajah Mada, mahapatih yang paling disegani sebagai dalang dan orang yang paling dipersalahkan pasca peperangan.
Tak disebutkan bagaimana statusnya, Serat Pararaton/”Para Ratu”, atau”Para Penguasa” menyebut Gajah Mada diistirahatkan selama 11 bulan dari jabatannya sebagai mahapatih Majapahit setelah peristiwa Perang Bubat.
“Dari kekosongan jabatan Mahapatih (akibat tak adanya sosok Gajah Mada) inilah, menyebabkan politik di Majapahit mulai terlihat terguncang,” lanjut Ayu dalam tulisannya.
Ayu dalam skripsinya menyebut bahwa pemecatan terhadap Gajah Mada menyebabkan pukulan besar kepada Majapahit, begitu juga sebaliknya.
“Bali dikenal sebagai pewaris budaya Majapahit, pendapat Bali tampaknya berpihak pada Sunda dalam perselisihan ini, sebagai bukti melalui naskah Kidung Sunda mereka.”
Mulai memerdekan diri dan menjalankan pemerintahannya masing-masing
“Selepas Gajah Mada berhenti menjabat sebagai Mahapatih, banyak dari raja-raja bawahan dan wilayah-wilayah yang dahulunya bersatu dan menjadi wilayah bagian Majapahit, satu-persatu mulai memerdekan diri dan menjalankan pemerintahannya masing-masing,” pungkasnya.
Menurut Kitab Negarakertagama, pupuh 70:3, dikisahkan bahwa Gajah Mada yang telah berhenti dari jabatannya sebagai mahapatih, jatuh sakit sekitar tahun 1363 M. Gajah Mada dinyatakan wafat pada tahun 1364 M, tanpa takhta dan kekuasaan.
Akibat
Pertempuran tragis tersebut diyakini telah menimbulkan sentimen buruk permusuhan Sunda-Jawa secara turun-temurun. Misalnya, tidak seperti kebanyakan kota di Indonesia, hingga saat ini di Bandung, ibu kota Jawa Barat yang juga merupakan pusat kebudayaan masyarakat Sunda, belum ada nama jalan yang bertuliskan nama jalan tersebut. nama “Gajah Mada” atau “Majapahit”.
Meskipun saat ini Gajah Mada dianggap sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia, orang Sunda tetap tidak menganggapnya pantas berdasarkan perbuatan jahatnya dalam kejadian ini. Dan sebaliknya, hingga saat ini, tidak ada jalan bertuliskan nama “Siliwangi” atau “Sunda” di Surabaya dan Yogyakarta hingga tahun 2017.
Baca juga : Arya Panangsang (Arya Penangsang): Potret Sejarah Petarungan Jawa