Tentara Jepang berdiri di atas reruntuhan Gerbang Zhongshan Nanking pada 13 Desember dengan Zijinshan sebagai latar belakang.
Pada tanggal 13 Desember 1937, Jepang secara resmi merebut kota Nanjing, yang saat itu menjadi ibu kota Tiongkok. Peristiwa ini menandai salah satu momen paling tragis dalam sejarah Perang Dunia II di Asia, di mana invasi Jepang ke Tiongkok berubah menjadi serangkaian kekejaman yang tidak hanya menyasar militer, tetapi juga warga sipil. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai Pembantaian Nanking (Nanjing Massacre), menjadi simbol kebrutalan perang dan ketidakberdayaan masyarakat sipil di tengah konflik yang meluas.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Pertempuran Nanking atau Nanjing terjadi pada awal Desember 1937 selama Perang Cina-Jepang Kedua antara Tentara Revolusioner Nasional Cina dan Tentara Kekaisaran Jepang untuk menguasai Nanking (Nanjing), ibukota Republik Cina Nasionalis dari tahun 1928 hingga 1937.
Setelah pecahnya perang antara Jepang dan Cina pada bulan Juli 1937, pemerintah Jepang pada awalnya berusaha untuk menahan pertempuran dan mencari penyelesaian perang melalui negosiasi. Namun, setelah kemenangan dalam Pertempuran Shanghai, kaum ekspansionis menang di dalam militer Jepang dan pada tanggal 1 Desember, sebuah kampanye untuk merebut Nanking secara resmi disahkan.
Tugas menduduki Nanking diberikan kepada Jenderal Iwane Matsui/Matsui Iwane, komandan Tentara Area Cina Tengah Jepang, yang percaya bahwa perebutan Nanking akan memaksa Cina untuk menyerah dan dengan demikian mengakhiri perang.
Pemimpin Cina Chiang Kai-shek/Chiang Chung-cheng/Jiang Jieshi akhirnya memutuskan untuk mempertahankan kota dan menunjuk Tang Shengzhi untuk memimpin Pasukan Garnisun Nanking, pasukan yang dikumpulkan dengan tergesa-gesa dari wajib militer lokal dan sisa-sisa unit Cina yang telah bertempur di Shanghai.
Tentara Jepang berbaris dari Shanghai ke Nanking dengan kecepatan tinggi, dengan cepat mengalahkan kantong-kantong perlawanan Cina. Pada tanggal 9 Desember mereka telah mencapai garis pertahanan terakhir, Garis Fukuo, di belakangnya terbentang tembok-tembok benteng Nanking.
Baca juga : 7 November 1931, Republik China Soviet Deklarasikan Mao Zedong
Baca juga : (Melawan Lupa)Pao An Tui, Sisi Kelam Masyarakat Cina pendukung Belanda di Indonesia
Pada tanggal 10 Desember Matsui memerintahkan serangan habis-habisan terhadap Nanking, dan setelah kurang dari dua hari pertempuran sengit, Chiang memutuskan untuk meninggalkan kota. Sebelum melarikan diri, Tang memerintahkan anak buahnya untuk meluncurkan pelarian bersama dari pengepungan Jepang, tetapi saat itu Nanking sebagian besar dikepung dan pertahanannya berada pada titik puncak. Sebagian besar unit Tang runtuh begitu saja, tentara mereka banyak yang membuang senjata dan seragam mereka di jalan-jalan dengan harapan bersembunyi di antara penduduk sipil kota.
Wartawan Amerika F. Tillman Durdin “menyaksikan penelanjangan besar-besaran tentara yang hampir seperti komik”. “Senjata-senjata dibuang bersama dengan seragam, dan jalan-jalan menjadi tertutup dengan senjata, granat, pedang, ransel, mantel, sepatu dan helm …. Di depan Kementerian Komunikasi dan selama dua blok lebih jauh, truk-truk, artileri, bus-bus, mobil-mobil staf, gerbong-gerbong, senapan-senapan mesin, dan senjata-senjata kecil ditumpuk seperti di halaman rongsokan”.
Setelah merebut kota itu, tentara Jepang membantai tawanan perang Cina, membunuh warga sipil, dan melakukan tindakan penjarahan dan penghinaan terhadap wanita dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pembantaian Nanking.
Meskipun kemenangan militer Jepang membuat mereka bersemangat dan berani, namun pembantaian yang terjadi kemudian mencoreng reputasi mereka di mata dunia. Bertentangan dengan harapan Matsui, Cina tidak menyerah dan Perang Cina-Jepang Kedua berlanjut selama delapan tahun.
Jumlah orang Cina yang terbunuh dalam pembantaian tersebut telah menjadi subyek banyak perdebatan, dengan sebagian besar perkiraan berkisar antara 100.000 hingga lebih dari 300.000.
Pada tahun 1940 Jepang menjadikan Nanjing sebagai ibukota pemerintahan boneka Cina mereka yang dipimpin oleh Wang Ching-wei (Wang Jingwei). Tak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, Matsui dan Tani Hisao, seorang letnan jenderal yang secara pribadi berpartisipasi dalam tindakan pembunuhan dan pemerkosaan, dinyatakan bersalah atas kejahatan perang oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh dan dieksekusi.
Baca juga : 7 Desember 1949, Perang Saudara Cina : Mundurnya pemerintah Republik Cina Nasionalis ke Taiwan
Pada dekade 1950-an, dunia penerbangan militer Amerika Serikat dipenuhi semangat inovasi dan eksperimen. Salah satu…
Gerakan #NotInOurName menggema di kalangan militer Fenomena pengunduran diri massal tentara dan diplomat Amerika Serikat…
Maginot Line: Benteng Impian yang Menjadi Kuburan Harapan Prancis Maginot Line: Kisah Benteng Pertahanan yang…
Sejarah manusia dipenuhi oleh konflik yang diawali oleh pertikaian ekonomi. Perang dagang bukanlah fenomena baru,…
Pelajaran dari Lautan: Kerentanan Kapal Induk dalam Era Perang Modern Pada tahun 2015, dunia militer…
Pertempuran Jangsari: Operasi yang Mengubah Jalannya Perang Korea The Battle of Jangsari adalah film perang…