ZONA PERANG (zonaperang.com) 15 Februari 1958, muncul gerakan yang mengkoreksi pemerintah pusat bernama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Adalah Letnan Kolonel Ahmad Husein(1 April 1925 – 28 November 1998) yang menggagas pembentukan PRRI sebagai dewan untuk menuntut keadilan dan disingkirkannya Komunis pada pemerintahan di Djakarta(Jakarta) yang pada saat itu.
Pembentukan PRRI sendiri bermula dari reuni Divisi Banteng di Padang pada tanggal 20 hingga 25 November 1956. Divisi Banteng yakni komando militer yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan (1945 – 1950) di Sumatera Tengah yang wilayah operasinya meliputi empat provinsi sekarang, yaitu Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau.
Reuni tersebut dihadiri perwira aktif dan perwira pensiunan bekas Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah. Mereka merasa nasib dan keadaan tempat tinggal para prajurit yang dulu berjuang mempertahankan kemerdekaan dalam perang melawan Belanda tahun 1945 – 1950 sangat prihatin.
Hidup masyarakat semakin sulit
Ada asrama yang ditinggalkan oleh KNIL (tentara Belanda), akan tetapi tidak mencukupi, karena jumlah mereka yang banyak. Divisi Banteng juga melihat nasib masyarakat yang semakin jauh dari janji-janji dalam perang kemerdekaan, Pemerintah yang semakin dekat dengan komunis, hidup mereka semakin susah, dan jauh dari rasa keadilan dan kemakmuran.
Baca juga : (Buku) Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi-antara Sukarno-Aidit-Mao Tse Tung (Cina)
Pembangunan daerah terabaikan dan pusat yang sentralistis
Reuni tersebut menghasilkan perlunya otonomi daerah demi menggali potensi dan kekayaan daerah. Mereka kecewa terhadap pemerintah pusat karena dianggap telah melanggar undang-undang dan dianggap cenderung sentralis, sehingga pembangunan di daerah terabaikan.
Reuni yang dihadiri oleh sekitar 612 orang perwira aktif dan pensiunan itu menyutujui pembentukan Dewan Banteng yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein selaku komandan resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Pembentukan terjadi pada 25 November 1956.
Pembentukan dewan Banteng
Pembentukan Dewan Banteng ini diikuti dengan pembentukan Dewan Gajah di Sumatra Utara pimpinan Kolonel Maludin Simbolon, Dewan Garuda di Sumatra Selatan pimpinan Letkol R. Barlian, dan Dewan Maguni di Sulawesi Utara pimpinan Letkol Ventje Sumual.
Nama Dewan Banteng sendiri diambil dari nama Divisi Banteng yang sudah dibubarkan. Pembubaran Divisi Banteng terjadi pasca Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RI pada 27 Desember 1950. Para prajurit Divisi Banteng ini kemudian dikirim ke luar Sumatera Tengah seperti ke Pontianak, Ambon, Aceh, hingga Jawa Barat. Sebagian dari mereka dilebur ke dalam Divisi Siliwangi dan hubungan dengan Divisi Banteng diputus.
Pengurus Dewan Banteng terdiri dari 17 orang, yang terdiri dari 8 orang perwira aktif dan pensiunan, 2 orang Kepolisian dan 7 orang lainnya dari golongan sipil, ulama, pimpinan politik, dan pejabat.
Baca Juga : Daniel Alexander Maukar, Pilot AURI yang Nekat Menembaki Istana Negara
Baca Juga : Tiga Pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno Pasca Pemberontakan G30S/PKI
Tuntutan Dewan Banteng
- Pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang wajar, layak dan adil.
- Dihapuskannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
- Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam arti teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan merupakan komando utama dalam Angkatan Darat.
- Ditetapkannya eks. Divisi IX Banteng Sumatra Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.
Mengambil alih pemerintahan
Satu bulan setelah pembentukan Dewan Banteng, yakni pada 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein mengambil alih kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dalihnya gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah.
Pasca PRRI
Pemerintah pusat melihat PRRI sebagai sebuah gerakan separatisme dan menumpasnya dengan pengerahan kekuatan militer terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah militer Indonesia yang dipimpin oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution. PRRI yang tidak bersiap untuk perang terpaksa menghadapi operasi militer tersebut.
Operasi militer untuk menumpas PRRI memakan banyak korban di pihak PRRI. Jumlah korban akibat konflik PRRI yang singkat jauh lebih besar daripada korban perang dengan Belanda pada zaman revolusi kemerdekaan. Selain itu, banyak yang tak terlibat PRRI dibunuh dan menjadi korban kekerasan seperti penyiksaan, perampokan, dan pemerkosaan.
Pasca-PRRI, orang minang menerima pukulan kejiwaan yang keras; dulu berada di barisan terdepan dalam perjuangan kemerdekaan nasional tetapi kini dicap sebagai pemberontak separatis. PRRI menandai tamatnya riwayat Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia.
Kedua partai tersebut dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena dianggap terlibat dalam PRRI. Sementara itu, pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) makin menguat di Sumatra Barat. Banyak pegawai negeri yang mendukung PRRI diganti dengan orang-orang komunis.
Baca Juga : G30S/PKI, Bung Karno dan ajudan kepercayaanya
Baca juga : Sukarno lebih percaya PKI yang memfitnah pimpinan TNI AD, Letjen Ahmad Yani geram