Hari ini dalam Sejarah

15 November 1988, Deklarasi Kemerdekaan Palestina: Proklamasi dari Pengasingan

  • Hingga kini Palestina masih dirongrong penjajahan Israel
  • Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina

ZONA PERANG(zonaperang.com) Mendiang Yasser Arafat memproklamasikan deklarasi kemerdekaan pada 15 November 1988 di Aljir ibukota Aljazair setelah diadopsi oleh Dewan Nasional Palestina, badan legislatif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), dengan suara 253 setuju, 46 menentang, dan 10 abstain. Deklarasi ini ditulis oleh penyair Palestina Mahmoud Darwish.

“Sejak berdirinya negara ilegal Israel pada 1948, wilayah tersebut tidak pernah dalam keadaan damai. Resolusi 181 Majelis Umum PBB yang mempartisi Palestina antara wilayah Arab Palestina dan Israel pada 29 November 1947 terus dikangkangi zionis Israel.”

“Deklarasi ini merupakan langkah simbolis, namun kami tidak pernah merasa memiliki negara yang merdeka karena komponen-komponennya berada di bawah kendali penjajah Israel. Jelasnya, tidak ada kemerdekaan yang nyata di bawah pendudukan, dan pidato lainnya hanyalah sebuah kebohongan besar,” kata Ahmad Atton, anggota Dewan Legislatif Palestina (PLC).

Lima tahun kemudian, sepasang perjanjian antara pemerintah Israel dan PLO yang dikenal sebagai Perjanjian Oslo ditandatangani. Kedua belah pihak sepakat bahwa Otoritas Palestina (PA) akan dibentuk dan memikul tanggung jawab pemerintahan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Rakyat Palestina berharap dapat menjalani kehidupan yang lebih baik setelah pembentukan PA, namun situasinya semakin memburuk hingga saat ini.

Penjajahan Israel – Peta yang menunjukan pengurangan wilayah penduduk palestina dari tahun ke tahun

Baca juga : 13 September 1993, Kesepakatan Perdamaian Israel-Palestina ditandatangani

Baca juga : 14 Agustus 1994, “Carlos the Jackal” Sang Penghuni Dunia Gelap ditangkap

Proklamasi dari Pengasingan

Toleransi warga Palestina pun mencapai batasnya pada Desember 1987, seiring 20 tahun kontrol Israel terhadap segenap wilayah Palestina. Menurut Seth Anziska dalam artikelnya yang termaktub dalam buku Routledge Companion to the Israeli-Palestinian Conflict, “The Palestinians and Arab-Israeli Diplomacy, 1967-1991”, aksi-aksi protes pun meletus di Jalur Gaza pasca insiden di kamp pengungsi Jabalia. Dengan cepat aksi meluas ke Tepi Barat.

“Massa demonstran mengibarkan bendera Palestina, membakar ban, melempar batu dan bom Molotov ke mobil-mobil orang Israel dan pasukan Israel yang merespons dengan kekerasan. Intifada Pertama (8 Desember 1987-13 September 1993) pun meletus,” tulis Anziska.

Bentrokan pecah di mana-mana. Di tahun pertama Intifada saja tercatat 142 warga sipil Palestina tewas, 77 di antaranya dieksekusi dan 17 lainnya dipukuli pasukan Israel sampai meregang nyawa.

“Kita akan ajari mereka bahwa ada sebuah harga untuk menolak hukum dan peraturan Israel,” seru Menteri Pertahanan penjajah Israel Yitzhak Rabin, dikutip Stephen J. Sosebee dalam “The Passing of Yitzhak Rabin, Whose ‘Iron Fist’ Fueled the Intifada” di jurnal The Washingtong Report on Middle East Affairs, Volume IX, edisi ke-5 tahun 1990.

Perlawanan di dalam negeri

Tak hanya di Gaza dan Tepi Barat, pasukan-pasukan khusus Israel menyusup ke beberapa negara lain untuk menargetkan sejumlah aktivis dan petinggi Palestine Liberation Organization (PLO). Salah satu targetnya Abu Jihad alias Khalil Ibrahim al-Wazir. Ia merupakan salah satu pendiri PLO yang dibunuh pasukan komando Israel di kota Tunis, Tunisia pada 16 April 1988.

“PLO yang sejak awal berada di pengasingan sempat terkejut dengan perlawanan itu, meski mereka hanya bisa menyaksikannya dari jarak yang jauh. Intifada itu sepenuhnya digerakkan dari dalam wilayah (Palestina), gerakan yang meletus tanpa direncanakan. Melihat kesempatan untuk mengkapitalisasi popularitas dan pengaruh politiknya, PLO mulai menegaskan peran kepemimpinan,” sambung Anziska.

Pasca-kematian Al-Wazir, nama Muhammad Yassir Abdul Rahman Abdul Rauf Arafat al-Qudwa makin populer. Berkat usulannya, ia mendapatkan suara terbanyak dalam Kongres Nasional Palestina yang dihelat di pengasingan, Alger, Aljazair, 12-15 November 1988. Usulannya yakni PLO akan menerima Resolusi 242 dan 338 PBB terkait konflik Palestina-Israel.(Resolusi 242: menuntut Israel untuk segera menarik mundur pasukannya dari seluruh wilayah yang didudukinya dalam Perang Enam Hari 1967, Resolusi 338: Tentang  gencatan senjata dalam Perang Yom Kippur 1973)

Negara ilegal Israel yang lahir dari perampasan tanah Palestina

Baca juga : Ada Gaza dalam Rencana Proyek Terusan Ben Gurion

Baca juga : Bagaimana Zionis Israel mengajarkan anak-anaknya untuk membenci Palestina dan Muslim?

Isi Proklamasi

Pada saat bersamaan dengan kongres itu, sambung Anziska, para petinggi PLO dan Palestinian National Council (PNC) menyerahkan penyusunan manifesto dan teks deklarasi kepada sastrawan dan penyair Mahmoud Darwish. Teks bertolak dari Resolusi 181 PBB pada 29 November 1947 silam. Begitu rampung dibuat, Arafat lantas menyiarkan Deklarasi Kemerdekaan Palestina di hari terakhir kongres, 15 November 1988.

“…Dengan ini mendeklarasikan keyakinannya terhadap penyelesaian perselisihan kawasan dan internasional dengan cara-cara damai berdasarkan piagam dan resolusi-resolusi PBB…dengan menyebut nama Allah dan atas nama bangsa Arab Palestina dengan ini memproklamirkan berdirinya negara Palestina di wilayah Palestina kami dengan ibukotanya Yerusalem (Al-Quds Ash-Sharif),” begitu bunyi penggalan deklarasinya dalam bahasa Arab yang kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris oleh Edward Said.

Menurut Baruch Kimmerling dalam The Palestinian People: A History, ketika Arafat mendeklarasikan negara Palestina pada 15 November 1988, PLO mengklaim hanya 22 persen wilayah Palestina yang sebelumnya dipegang Inggris sebelum 1947, yakni Jalur Gaza dan Tepi Barat. Deklarasi itu juga mengesampingkan klaim kelompok politik Palestina lain yang hanya ingin mengakui wilayah Palestina secara keseluruhan, sekaligus secara implisit mengakui zionis Israel.

“Ini juga menjadi pengakuan resmi pertama pihak Palestina terhadap legitimasi dari eksistensi negara Yahudi (Israel, red.) dan penegasan pertama secara eksplisit PLO terhadap dukungannya akan solusi two-state (dua negara),” tulis sejarawan Columbia University, Rashid Khalidi dalam The Iron Cage: The Story of the Palestinian Struggle for Statehood.

Masih di bawah penjajahan

“Seluruh wilayah termasuk ibu kota Palestina, Yerusalem, masih berada di bawah penjajahan. Para tahanan berada di penjara dan PA menekan kebebasan dengan berbagai cara terhadap lawan dan memainkan peran fungsional yang mendukung pendudukan melalui koordinasi keamanan,” kata Atton.

Dia mengatakan kebijakan Israel dalam penyitaan tanah di Tepi Barat dan pemukiman di Yerusalem meningkat, yang menyebabkan terjebaknya kota-kota Palestina oleh pemukiman, dan inilah yang mengancam komponen terpenting untuk kemerdekaan: tanah.

“Kota-kota Palestina diubah menjadi titik-titik kecil di peta tanpa kesatuan geografis atau demografis yang nyata,” katanya.(hal ini mirip yang dilakukan VOC saat memecah belah Mataram Islam)

Di sisi lain, PA adalah bagian dari banyak perjanjian yang dianggap Atton sebagai pembatasan terhadap kebebasan bergerak yang serius di samping koordinasi keamanan, yang melemahkan aktivitas perlawanan baik secara militer maupun sosial.

Atton, yang merupakan anggota PLC untuk blok parlemen Hamas, mencatat bahwa hubungan antara PA dan para pemuda di jalanan didasarkan pada penindasan untuk memblokir gerakan mereka melawan pendudukan, atau penindasan terhadap kebebasan yang mereka alami oleh pasukan keamanan Palestina.

“Rakyat kami sendiri mendapatkan keunggulan atas kepemimpinan politik mereka. Mereka sadar akan kebijakan-kebijakan pendudukan dan upaya-upaya pengusiran. Sekarang kepemimpinan politik, yang berada pada titik kritis yang serius, harus diselaraskan dengan negara yang sedang berjuang,” Atton menyoroti.

“Kemerdekaan penuh adalah mimpi bagi setiap warga Palestina, dan rakyat kami membayarnya dengan darah mereka sendiri selama ini, dan hal ini tidak akan pernah berhenti sampai ada kebebasan bagi tanah kami. Kepemimpinan politik dan elit budaya harus sejalan dengan upaya untuk kebebasan dan kemerdekaan yang sesungguhnya,” tambah Atton.

Muhammad Yassir Abdul Rahman Abdul Rauf Arafat al-Qudwa alias Yasser Arafat usai memproklamirkan negara Palestina di Alger pada 15 November 1988

Baca juga : Nelson Mandela, Sang ‘Teroris’ Bagi Barat Tetapi Pahlawan untuk Afrika Selatan serta Kemanusiaan

Baca juga : Hamas Sesungguhnya Menginginkan Perdamaian

Indonesia Mengakui Kemerdekaan Palestina

Sebagai informasi bahwa Palestina juga termasuk negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1944 silam. Sejak saat itu, hubungan Indonesia dan Palestina terus erat dan saling memberikan dukungan dalam berbagai sisi.

Indonesia termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Palestina pada tanggal 15 November 1988. Sebagai wujud dukungan lebih lanjut dari Indonesia kepada Palestina, pada 19 Oktober 1989 di Jakarta telah ditandatangani “Komunike Bersama Pembukaan Hubungan Diplomatik” antara Menlu RI, Ali Alatas, dan Menlu Palestina, Farouq Kaddoumi, menandai pembukaan Kedutaan Besar Negara Palestina di Jakarta.

Pada tanggal 23 April 1990, Duta Besar pertama Palestina untuk Indonesia menyerahkan Surat-surat Kepercayaannya kepada Presiden Soeharto. Sebaliknya, Pemerintah RI menetapkan bahwa Duta Besar RI di Tunisia juga diakreditasikan bagi Negara Palestina. Sejak tanggal 1 Juni 2004, akreditasi Palestina berada di bawah rangkapan KBRI Yordania.

Sejak itu, melalui berbagai forum, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Konferensi Islam(OKI), dan Gerakan Non-Blok (GNB), Indonesia secara konsisten menyuarakan dukungan terhadap perjuangan bangsa Palestina untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatannya secara penuh.

Indonesia termasuk negara-negara yang telah memberikan suara dukungan sehingga Palestina dapat menjadi anggota ke-195 UNESCO pada 31 Oktober 2011, dan memperoleh status “negara” (non-member observer state), dari sebelumnya hanya berstatus “entitas” (non-member observer entity), dalam keputusan Sidang Majelis Umum PBB pada 29 November 2012.

Dalam tataran bilateral, kedua negara belum dapat merealisasikan banyak kerja sama nyata sehubungan dengan keterbatasan yang dialami Palestina akibat pendudukan Israel. Meski begitu, sejak 13 Maret 2016, Indonesia telah memiliki Konsul Kehormatan di Ramallah Tepi Barat, yang bertugas mempromosikan kerja sama antara kedua negara.

Pecahnya Intifada Pertama pada Desember 1987 di Jalur Gaza

Baca juga : Penjajah Israel Manfaatkan Sisa Waktu Jelang Gencatan Senjata dengan Terus Menggempur Gaza dan Rumah Sakit Indonesia

Baca juga : Garis waktu perang Kolonial Zionis Israel vs Palestina: 16 – 22 November 2023 (bagian 4)

 

ZP

Recent Posts

Era Pesawat Tempur F-16 Kini Telah Berakhir

F-16 Fighting Falcon yang ikonik telah melayani Angkatan Udara AS dan sekutunya selama beberapa dekade,…

6 menit ago

Tetap aman saat bepergian: Tips dari CIA, saran untuk berpikir seperti mata-mata saat berlibur

Bagaimana cara para petugas CIA bepergian dengan aman? "Your mission is to get home safely,"…

18 jam ago

Komandan AH-64 Apache zionis Israel Menjelaskan Realitas Brutal Misi 7 Oktober

Terkejut, kru AH-64 Israel bergegas merespons serangan pejuang Hamas, namun dengan hasil yang beragam Read…

2 hari ago

Edward Snowden: Pahlawan atau Pengkhianat? Mengurai Kontroversi Whistleblower Terkenal

Menyingkap Tabir Pengawasan Global: Perjalanan Edward Snowden Read More “Edward Snowden: Pahlawan atau Pengkhianat? Mengurai…

3 hari ago

Radar Smerch MiG-25: “Mata” yang Dibangun untuk Menembus Jamming berat

MiG-25 Foxbat, pencegat Soviet yang terkenal dengan kecepatan dan ketinggiannya, memiliki radar yang sama uniknya…

4 hari ago

Mengapa India Tidak Mampu Membuat Salinan Sukhoi Su-30MKI Rusia Seperti yang Dilakukan Cina dengan Su-30nya?

India dan Cina, dua negara besar di Asia, memiliki sejarah panjang dalam memperoleh peralatan militer…

5 hari ago