17 Oktober 1968, Usman dan Harum Marinir Indonesia digantung di Singapura (Hari ini dalam Sejarah)
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Tahun 1962 itu, Indonesia sedang terlibat konfrontasi dengan Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu(Operasi Dwikora/Dwi Komando Rakjat), sebutan untuk Malaysia sebelum negeri jiran itu resmi dideklarasikan pada 16 September 1963.
Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia rupanya tidak senang melihat tingkah Federasi Malaya yang berambisi mencaplok Sabah, Sarawak, bahkan Brunei Darussalam, yang terletak di Pulau Borneo alias Kalimantan bagian utara, berdampingan dengan wilayah Indonesia.
Menurut Ir. Sukarno, upaya pembentukan negara Malaysia dengan mengincar sebagian wilayah Kalimantan Utara, adalah bentuk baru imperialisme yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia. Federasi Malaya, bagi Sukarno, hanyalah negara boneka Inggris (Hellwig & Tagliacozzo, The Indonesia Reader: History, Culture, Politics, 2009:345).
Baca juga : PUKUL HABIS, Total Wipeout 1991 : Saat Indonesia & Malaysia bersiap berperang melawan Singapura
Presiden dengan 9 istri sah itu pun dengan lantang menyerukan gerakan Ganyang Malaysia. Dan nantinya, Usman Jannatin bin H. Muhammad Ali bakal memainkan peran yang sangat penting. Seruan Ganyang Malaysia atas nama martabat bangsa yang dilantangkan Sukarno tak pelak membuat darah muda Usman Janatin bergolak. Meski belum lama diterima menjadi marinir di KKO, Usman sudah berani mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk dilibatkan dalam operasi militer Komando Mandala Siaga.
Operasi militer itu dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Udara Omar Dhani(kelak ditangkap karena keterlibatanya dalam gerakan 30 S/PKI) yang ditunjuk langsung Presiden Sukarno untuk menggantikan Soerjadi Soerjadarma (Salim Said, Dari Gestapu ke Reformasi, 2013). ABRI saat itu membutuhkan 3 sukarelawan. Selain Usman Janatin, ada pula Harun Tohir bin Mandar dan Gani bin Arup.
Tanggal 8 Maret 1965, ketiga sukarelawan tersebut diberikan misi penting, yakni melakukan aksi sabotase di Singapura. Dari ketiganya, Usman Janatin yang dipilih sebagai komandan (Sri Sutjiatiningsih & Soejanto, Harun, 1982:28). Singapura saat itu menjadi bagian dari Federasi Malaysia dan merupakan salah satu titik terpenting yang harus dilumpuhkan.
Tugas Usman, Harun, dan Gani sebenarnya adalah memantik ricuh di Singapura dengan mengeksploitasikan perbedaan ras serta merusak instalasi-instalasi penting. Singapura yang dihuni oleh banyak orang keturunan Cina memang berpotensi tinggi menuai konflik jika dibenturkan dengan ras Melayu yang menjadi penduduk asli di sebagian besar wilayah Malaysia.
Berbekal 12,5 kilogram bahan peledak, ketiganya diperintahkan untuk meledakkan sebuah rumah tenaga listrik. Namun, yang dibom ternyata bukan target semula, melainkan gedung Hong Kong and Shanghai Bank atau MacDonald House di Orchard Road, Central Area, Singapura (Gretchen Liu, The Singapore Foreign Service, 2005:83).
Tanggal 10 Maret 1965 menjelang petang, bangunan di kawasan padat yang di dalamnya terdapat puluhan orang sipil itu berguncang hebat. Letusan besar yang berasal dari sebuah tas travel meluluhlantakkan gedung bank yang dibangun sejak 1949 tersebut. Saking hebatnya ledakan itu, semua mobil yang diparkir di halaman gedung turut hancur, juga gedung-gedung lain di sekitarnya.
Tercatat, 3 orang tewas dan tidak kurang dari 33 orang lainnya mengalami luka-luka, baik luka berat maupun ringan (The Fight Against Terror, 2004:19). Korban tewas adalah dua wanita pegawai Hong Kong and Shanghai Bank, Elizabeth Choo (36 tahun) dan Juliet Goh (23 tahun), serta seorang sopir bernama Mohammed Yasin bin Kesit (45 tahun).
Sempat melarikan diri, Usman dan Harun tertangkap tiga hari setelah insiden tersebut terjadi, sementara Gani entah bagaimana caranya berhasil lolos. Usman dan Harun pun diajukan ke pengadilan dan divonis hukuman mati.
Baca juga : Inggris Secara Rahasia menempatkan 48 Bom Nuklir 25kt “Red Bread”di Pangkalan Udara Tengah Singapura
Usman Janatin dan Harun Thohir harus menghadapi pengadilan setelah 8 bulan ditahan. Pada 4 Oktober 1964, keduanya dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi Singapura dengan dakwaan telah melanggar control area, melakukan pembunuhan, serta menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
Di persidangan, baik Usman maupun Harun menolak dakwaan tersebut. Keduanya beralasan, aksi tersebut bukanlah kemauan mereka sendiri, melainkan suatu tindakan yang memang harus dilakukan karena dalam situasi perang. Usman dan Harun pun meminta kepada sidang agar mereka diperlakukan sebagai tawanan perang.
Tanggal 15 Oktober 1965, pemerintah Indonesia mengirimkan utusan ke Singapura untuk menyelamatkan nasib Usman dan Harun (Pahlawan Nasional Usman bin Haji Muhamad Ali alias Janatin, 1980:43). Namun, usaha tersebut gagal dan 5 hari berselang, keduanya dijatuhi vonis berat berupa hukuman gantung.
Upaya demi upaya dilakukan agar Usman dan Harun bisa terhindar dari maut. Namun, hingga asa terakhir dengan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Singapura saat itu, Yusuf bin Ishak, tetap saja tidak membuahkan hasil. Bahkan, permintaan pemerintah Indonesia yang berharap Usman dan Harun bisa dipertemukan dengan keluarga sebelum hukuman mati dilaksanakan, juga tidak dikabulkan.
Dan akhirnya, hari eksekusi datang juga. Pada jam 06.00 pagi waktu Singapura, tanggal 17 Oktober 1968, Usman dan Harun dihukum gantung di Penjara Changi. Siang harinya, jenazah keduanya dipulangkan ke tanah air dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata pada hari itu juga.
Ratusan ribu rakyat Indonesia di Jakarta mengiringi pemakaman Usman dan Harun dengan rasa duka yang mendalam. Keduanya pun dianugerahi tanda kehormatan Bintang Sakti dan gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah. Bahkan, nama Usman-Harun diabadikan sebagai nama Kapal Perang Republik Indonesia yang diluncurkan pada Juni 2001.
Catatan:
Ketegangan hubungan antara Indonesia dan Singapura memuncak. Kedutaan Besar Singapura di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta, diserbu dan dirusak massa. Tiga tahun setelah insiden itu, Lee Kuan Yew merencanakan kunjungan ke Indonesia.
Soeharto lantas mengajukan syarat: Lee harus menaburkan bunga di makam Harun dan Usman di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Hal itu disetujui Lee. Syarat itu tidak lazim. “Namun entah dengan pertimbangan apa, PM Lee setuju meletakkan karangan bunga di makam Usman dan Harun,” ujar Abdul Rachman Ramly, liason officer RI pada kasus Usman-Harun, dalam buku Pak Harto The Untold Story. Hubungan Indonesia dan Singapura pun akhirnya pulih.
Baca juga : Singapura : Negeri melayu yang “hilang”, sebuah pelajaran dan ancaman demografi yang sangat menghantui
Baca juga : UU Kesehatan Omnibus Law, Penanaman Chip dan Penjajahan terhadap Indonesia
Jejak Luka Kolonialisme dalam The Battle of Algiers Di antara banyak film sejarah, The Battle…
Serangan Rudal Pertama di Asia Selatan: Kisah Operation Trident Operation Trident, yang dilaksanakan oleh Angkatan…
Shalahuddin dan Dinasti Syi'ah: Kolaborasi atau Konflik? Shalahuddin al-Ayyubi, atau lebih dikenal sebagai Saladin, adalah…
Legenda dari Hutan Salju: Simo Häyhä dan Peperangan Musim Dingin Simo Häyhä, yang lebih dikenal…
Kawasaki P-1: Solusi Canggih untuk Ancaman Maritim Abad ke-21 Kawasaki P-1 adalah pesawat patroli maritim…
Ketika Drone Lepas Kendali: Pertempuran Palmdale 1956 Pertempuran Palmdale 1956: Ketika Jet Tempur Gagal Mengalahkan…