Megawati Teken Keppres tentang Darurat Militer, Sejarah Kelam Aceh
ZONA PERANG (zonaperang.com) Pada tanggal 19 Mei tahun 2003 pemerintah Republik Indonesia pimpinan Megawati melalui Menkopolkam Susilo yudhoyono jam 00:00 WiB mengumumkan Darurat militer Untuk Aceh dengan mengirim 30.000 personil TNI dan 12.000 personil polisi untuk menghadapi 5.000 gerilyawan GAM(Gerakan Aceh Merdeka).
Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Keppres Nomor 28 Tahun 2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Keppres itu terdiri dari enam pasal atau empat halaman. Pada pasal 6 disebutkan; “Keputusan Presiden ini mulai berlaku pukul 00.00 WIB tanggal 19 Mei 2003 untuk jangka waktu 6 (enam) bulan, kecuali diperpanjang dengan Keputusan Presiden tersendiri. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.”
Operasi ini dilakukan setelah GAM menolak ultimatum dua minggu untuk menerima otonomi khusus untuk Aceh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Operasi ini merupakan operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975)
Ribuan Rakyat Aceh syahid dan terluka serta ratusan ribu mengungsi. Pemerintahan Jakarta memperlakukan keadaan Darurat Militer selama satu tahun kemudian dilanjutkan dengan darurat sipil. Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami pada tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh.
Baca juga : Foto kekejaman Belanda di Aceh (Foto yang paling sering melintas di TL)
Baca juga : Ketika Amerika Menginvasi Aceh pada 1832
Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD)
Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Endang Suwarya ditetapkan sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Jenderal bintang dua ini memimpin kebijakan dalam pergerakan pasukan TNI dan polisi untuk menumpas GAM. Hampir setiap hari pesawat tempur hilir mudik di wilayah Aceh. Mobil-mobil truk yang mengangkut TNI dan polisi tak pernah sepi. Kontak senjata terjadi di mana-mana.
Darurat militer tahap pertama usai, dilanjutkan dengan tahap kedua sejak 19 November 2003. Sepanjang setahun berlaku, pihak TNI mengklaim telah berhasil menewaskan 2.439 GAM, 2.003 lainnya ditangkap dan 1.559 menyerah. Sementara di pihak TNI, 147 orang tewas dan 422 luka-luka.
Dalam darurat itu, puluhan aktivis Aceh yang kritis ditangkap, tak sedikit pula yang harus hengkang ke luar Aceh untuk perlindungan ke luar negeri. KontraS Aceh mencatat, sedikitnya 1.326 warga sipil menjadi korban semasa Darurat Militer Aceh.
Pada 19 Mei 2004, Darurat Sipil ditetapkan di Aceh menggantikan status Darurat Militer. Kondisi hampir tidak jauh berbeda.
Penolakan Inggris
Pemerintah Inggris menyampaikan kepada Menteri Luar Negeri saat itu Hassan Wirajuda bahwa pemerintahnya tidak menghendaki pesawat Hawk Mk.53 dan 108/209 atau senjata buatannya dilibatkan dalam operasi militer besar-besaran di Aceh. Inggris berdalih kepada perjanjian sebelum dilakukannya penjualan/ pembelian pesawat itu.
F-16 Amerika
TNI untuk pertama kalinya menggunakan pesawat F-16 dalam aksi serangan udara di Bumi Serambi Mekkah. Sasaran yang dituju pesawat produksi General Dynamics dan pertama kali dikeluarkan dari hanggarnya pada 13 Desember 1973 itu adalah sebuah desa di Aceh Utara yang diduga menjadi basis dari Sofyan Daud, Juru Bicara Angkatan Gerakan Aceh Merdeka.
Akibat embargo militer yang diberlakukan pemerintah AS sejak 1999, pasca jajak pendapat di Timor Timur, TNI hanya mampu menerbangkan 6 dari 10 burung besi yang masih tersisa dengan cara kanibal dan cara-cara lainya.
Tidak ada pembahasan keberatan lewat Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Ralph Boyce ke Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono perihal penggunaan senjata negeri paman Sam kecuali decak keheranan.
Gerakan Aceh merdeka /Geurakan Acèh Meurdèka
Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) atau Gerakan Aceh merdeka /Geurakan Acèh Meurdèka didirikan oleh Hasan Tiro di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie.
Menurut Tengku Hasan Muhammad di Tiro(25 September 1925 – 3 Juni 2010) yang merupakan Wali Nanggroe Aceh ke-8 serta keturunan ketiga Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro, seorang pahlawan nasional yang memimpin perang melawan Kolonialisme Belanda pada tahun 1890-an, deklarasi kemerdekaan Aceh Sumatera harus dilakukan pada tanggal 4 Desember dengan alasan simbolis dan historis.
Hari Itu adalah hari dimana Belanda menembak dan membunuh Kepala Negara Aceh Sumatera, Tengku Cik Mat di Tiro dalam pertempuran di Alue Bhot, tanggal 3 Desember 1911. Belanda karenanya mencatat bahwa 4 Desember 1911 adalah hari akhir Aceh sebagai entitas yang berdaulat, dan hari kemenangan Belanda atas Kerajaan Aceh Sumatera.
Baca juga : 26 Maret 1873, Perang Atjeh : Hindia Belanda menyatakan perang terhadap negara berdaulat Aceh
Baca juga : Marsose, KNIL dan Londo Ireng