ZONA PERANG (zonaperang.com) – Peristiwa APRA atau Angkatan Perang Ratu Adil merupakan kejadian pemberontakan yang berlangsung di kota kembang Bandung pada 23 Januari 1950.
Kelompok APRA terdiri atas satuan pro-Belanda pimpinan mantan Kapten pasukan Khusus Depot Special Forces (DST) KNIL Koninklijk Nederlands-Indisch Leger/angkatan perang kolonial Hindia Belanda, Raymond Westerling.
Komplotan APRA ini masuk ke wilayah Bandung dan menyerang anggota Tentara Republik Indonesia (TRI sebelum berubah menjadi TNI) hingga menimbulkan bentrokan bersenjata.
Berikut sejarah peristiwa APRA mulai dari latar belakang, kronologi, hingga hasilnya.
Latar Belakang Peristiwa APRA
Berdasarkan rangkuman berbagai sumber, istilah dalam singkatan APRA ‘Ratu Adil’ adalah mitologi sakral ramalan Jayabaya(Maharaja Jayabhaya, Raja Kediri, 1135-1157)yaitu pemimpin akan bertindak adil dan bijaksana bagi rakyat.
Akan tetapi mitologi tersebut dijadikan propaganda politik oleh Raymond Pierre Paul Westerling (31 Agustus 1919 – 26 November 1987) dengan menambahkan ‘Ratu Adil’ pada kelompoknya.
Tujuan Westerling mendirikan APRA ini untuk meminta perhatian rakyat supaya memihaknya dalam memberontak pemerintahan Republik Indonesia Serikat(RIS).
Tentara Kecewa
Westerling yang berdarah Yunani dari garis Ibu ini berniat melakukan kudeta karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan hasil putusan KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, Belanda pada Agustus 1949, dengan poin sebagai berikut:
1. Tentara KNIL akan dibubarkan dan dimasukkan ke dalam kesatuan TNI.
2. Kerajaan Belanda akan menarik pasukan KNIL dari Indonesia.
Merasa kecewa akan keputusan KMB, Westerling berencana melakukan kudeta kepada pemerintah di Jakarta.
Baca Juga : 27 Desember 1949, Penyerahan Kedaulatan Belanda kepada Indonesia(Hari ini dalam Sejarah)
Baca Juga : 1 Maret 1949, Serangan Umum di Yogyakarta yang Menghinakan Belanda
Westerling yang juga bertanggung jawab terhadap peristiwa pembantaian di Sulawesi Selatan(1946-1947) sendiri ingin mempertahankan Negara Federal Pasundan(berdiri 24 April 1948) di Indonesia dengan mendirikan tentara khusus di sejumlah wilayah bagian Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pada 5 Januari 1950, Westerling mengirim ultimatum ke pemerintah RIS supaya mengakui negara bagian Pasundan sekaligus APRA sebagai tentara Pasundan.
Konspirasi Belanda menyelamatkan Westerling
Kemudian 10 Januari 1950, Perdana Menteri Indonesia ke-3 kala itu, Mohammad Hatta (12 Agustus 1902 – 14 Maret 1980), membuat perintah untuk penangkapan Westerling. Komandan KNIL terakhir Dirk Cornelis Buurman van Vreeden (16 Juni 1902 – 12 Juni 1964) dan Menteri Pertahanan Belanda Willem Frederik “Wim” Schokking pun menyusun rencana untuk evakuasi pasukan tersebut. Namun sayang, Westerling yang lulusan Pelatihan Komando di Inggris ternyata sudah lebih dulu mengetahui bahwa dirinya sedang dalam incaran penangkapan.
Supaya misinya berhasil, Westerling menyegerakan kudetanya bersama para pasukan pengikut dengan menembaki anggota TNI secara membabi buta.
Peristiwa APRA pun berlangsung. Saat Westerling melancarkan aksinya di Bandung, ia mengirim pasukan lain ke ibu kota Jakarta untuk menangkap Soekarno dan merebut gedung pemerintahan RI.
Tapi aksi Westerling di Jakarta gagal karena pasukan yang diperintahnya tidak membantu dia. Sempat marah dan akan kembali memberontak, upaya kedua Westerling kali ini tidak berhasil.
Pasca-peristiwa APRA
Meski berlangsung cukup singkat, namun pemberontakan yang dilakukan Westerling membuat banyak anggota TNI gugur dan cukup membuat pemerintah Indonesia terpukul.
Kondisi keamanan rakyat juga ikut terancam dan terganggu oleh aksi keji yang dilancarkan Westerling dengan pasukannya.
Baca Juga : Marsose, KNIL dan Londo Ireng
Baca Juga : (Actually) Tujuan Bangsa Eropa Datang ke Indonesia
Untuk menumpas pemberontakan APRA di Bandung, pemerintah RIS menekan pimpinan tentara Belanda lewat perundingan dan melakukan operasi militer.
Hasil dari perundingan tersebut memutuskan untuk mendesak Westerling segera meninggalkan Bandung. Lantaran gagal melakukan kudeta, reputasi Westerling pun terancam dan dirinya melarikan diri ke Belanda.
Di sisi lain, gerakan tersebut mendapat tekanan dari angkatan perang RIS hingga APRA ditumpas dan berhasil dibubarkan pada Februari 1950.