Pamflet darurat. Seruan menggugat di pintu Gereja.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Yohanes Calvin(John Calvin/Jehan Cauvin, 10 Juli 1509 – 27 Mei 1564) segera tenar setelah ia menerbitkan buku Pengajaran tentang Agama Kristen atau Religionis Christianae Institutio (biasa disebut “Institutio”) pada 1536. Buku itu berisi bahan ajar sederhana yang ditujukan bagi orang banyak, hampir seperti Katekismus Besar yang ditulis Martin Luther(10 November 1483 – 18 February 1546). Meski sederhana, Institutio menuai banyak penolakan. Di Paris, misalnya, ia disambut dengan pembakaran.
Sebelum pembakaran buku terjadi, Calvin sudah terlebih dulu melarikan diri dari tanah kelahirannya di Noyon, Perancis. Ia dipersekusi kalangan Katolik Roma lantaran menjadi pengikut Luther, orang yang menggerakkan Reformasi Gereja lewat 95 dalilnya. Meski tidak pernah bertemu langsung dengan Luther, Calvin mengagumi tulisan-tulisan pendeta dari Jerman itu.
Teolog Belanda Thomas Van Den End dalam Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas (2001) menceritakan, Calvin melarikan diri ke Jenewa, Swiss. Di sana, ia bertemu dengan Farel(William Farel , 1489 – 13 September 1565), seorang pendeta yang mendukung Refomasi Gereja (hlm. 187).
Baca Juga : 2 Januari 1492, Granada: pertahanan terakhir muslim di Spanyol, menyerah.(Hari ini dalam Sejarah)
“Tatkala pendeta setempat, Farel, mendengar Calvin berada di kota itu, segera ia pergi ke tempat penginapan, lalu mendesak Calvin supaya tinggal di Jenewa dan membantu dia dalam pekerjaan. Kota itu baru saja memilih pihak reformasi dan banyak penduduk yang bandel terhadap tuntutan Injil mengenai Kristen,” tulis Thomas.
Setelah dibujuk, Calvin akhirnya bersedia tinggal. Ia pun mulai menerapkan teokrasi pada jemaat di sana. Warga diwajibkan ikut mendengarkan firman Allah dan perjamuan kudus. Jika ada yang tidak menerima ajaran gereja, akan diusir dari kota. Sayangnya, jemaat belum siap.
Penerapan
Penerapan teokrasi justru menimbulkan perpecahan dan bentrokan. Karena kekacauan itu, pemerintah kota pun melarang Farel dan Calvin naik mimbar. Bahkan, Calvin diusir dari Jenewa. Pengusiran itu justru membuat Calvin makin giat.
Pada 1541, ia kembali ke Jenewa dan mulai menulis buku lagi. Saat itulah ia menyusun undang-undang gerejawi dan membuat sistem presbiterial(bentuk pemerintahan gereja yang berdasarkan kepemimpinan para penatua dalam suatu dewan)di mana fungsi penatua(seorang yang dituakan, yang berpikir matang, sesepuh)dan diaken(jawatan pelayanan dalam Gereja) diberlakukan lagi. Penatua dan diaken pun dipilih dari jemaat yang sudah dewasa.
Pengaruh gagasan Calvin ini makin meluas setelah Universitas Jenewa didirikan pada 1559. “Dengan demikian lahirlah pula gereja-gereja Calvinis di luar Swis. Di Perancis, Belanda, Skotlandia, Jerman Barat, dan Hongaria,” tulis Thomas (hlm. 192).
Baca Juga : 20 Desember 1999, Makau Portugis dikuasai kembali oleh China
Situasi ini membuat Katolik(Katholik) Roma gerah. Untuk menyerang gerakan Reformasi Gereja yang makin membesar, gereja Katolik membuat ordo Serikat Jesuit. Tugas ordo ini adalah menyatukan semua gereja di dunia di dalam satu gereja, yakni gereja Katolik.
Masih dalam buku yang sama, Thomas mengatakan, salah satu cara gereja Katolik dalam menghambat gerakan Reformasi adalah mendirikan sekolah-sekolah yang bermutu untuk menarik murid-murid Protestan bergabung.
Tidak hanya itu, para paderi Katolik juga didorong menjadi pembimbing rohani raja-raja. Dengan demikian, mereka bisa memengaruhi para penguasa guna memerangi gerakan Reformasi.
Gagalnya Upaya Mempersatukan
Konflik berkepanjangan ini sebenarnya pernah dicoba didamaikan lewat Konsili Trento(Italia, Konsili Ekumenis Gereja Katolik Roma ke-19) pada Desember 1563. Sayangnya, upaya ini gagal. Gereja Katolik tidak mengakomodasi kritik-kritik yang disampaikan kelompok Reformasi.
Misalnya kritik soal indulgensia atau surat penghapusan dosa yang dilayangkan Luther. Alih-alih menghapusnya, para pemimpin umat di Konsili Trento tetap mempertahankannya, meski kemudian ditambahi aturan tertentu.
Baca Juga : Perang Salib, Kampanye Militer Bermotif Agama dengan Segala Dinamikanya
Baca Juga : 9 Oktober 1854, Perang Krimea: Pengepungan Kota Sevastopol dimulai(Hari ini dalam Sejarah)
Antonius Eddy Kristiyanto OFM, profesor sejarah gereja di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, dalam bukunya Reformasi Dari Dalam: Sejarah Gereja Modern (2004), menuliskan bahwa gereja Katolik sama sekali tidak goyang dengan ulah Luther dan kawan-kawannya.
Gereja Katolik tetap tidak bisa menerima gerakan Reformasi sebagai bagian dari mereka. “Konsili Trento dimaksudkan terutama untuk menghukum dan mengutuk kesalahan-kesalahan dasariah yang dianggap sebagai para ‘bidah’ zaman itu (Tegasnya gerakan pembaruan keagamaan di bawah patung Protestantisme), dan untuk mengajarkan doktrin yang benar dan Katolik,” tulis Eddy.
26 Januari 1564
Pada 26 Januari 1564, tepat hari ini 454 tahun lalu, melalui bulla Benedictus Deus, Paus Pius IV menetapkan dekrit-dekrit konsili. Gereja Katolik tidak mengakui Reformasi dan menganggap mereka menyimpang dari ajaran gereja.
Sejak itulah Katolik dan Protestan secara resmi dibedakan dan menjadi agama sendiri. Keputusan Paus Pius IV, menurut Eddy, justru membuat gereja Katolik mengubur dirinya sendiri. “Arogansi ini mengalahkan warisan luhur Yesus Kristus, yakni pertobatan dan kerendahan hati,” lanjutnya.
Baca Juga : 12 November 1991, Insiden Dili(Timor-Timur) : Tragedi Santa Cruz dan Tindakan Mendua Barat
Meski ada kritik terhadap Konsili Trento, ia sebenarnya memiliki makna penting dalam perjalanan Katolik. Sebab pada konsili itu, doktrin-doktrin Katolik dirumuskan dengan lebih luas namun spesifik. Otto Hentz SJ, seorang rohaniawan Katolik, dalam Pengharapan Kristen (2004) menyatakan, salah satu doktrin penting yang dirumuskan dalam Konsili Trento adalah doktrin api penyucian.
“Konsili Trento yang mengeluarkan doktrin gereja mengenai api penyucian, hanya menegaskan dua hal: ada proses pemurnian dan doa orang beriman atas nama orang mati merupakan bantuan bagi mereka yang meninggal,” tulis Otto (hlm. 105).
Intoleransi Berkepanjangan
Skisma Katolik-Protestan adalah perpecahan terbesar dalam sejarah agama Kristen. Sebelumnya, pada abad ke-11, skisma serupa pernah terjadi. Saat itu, gereja Katolik dan gereja Ortodoks Timur yang berpusat di Konstantinopel juga berpisah.
Perpecahan tersebut didorong oleh faktor dari luar dan dalam. Dari luar karena makin meluasnya Islam dan membuat Konstantinopel, yang dikuasai kerajaan Romawi Timur, terancam. Sedangkan dari dalam karena munculnya aliran-aliran yang dianggap sesat oleh gereja Katolik.
Dalam Agama dan Kerukunan (2002), mantan Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Andreas Ywangoe mengatakan, skisma itu memunculkan perbedaan dalam sakramen gereja(tanda yang terlihat, yang dapat ditangkap oleh panca indra, yang dilembagakan oleh Yesus dan dipercayakan kepada Gereja, sebagai sarana yang dengannya rahmat dari Allah dinyatakan melalui tanda yang diterimakan, yang membantu penerimanya untuk berkembang dalam kekudusan, dan berkontribusi kepada pertumbuhan Gereja dalam amal-kasih dan kesaksian).
Baca Juga : 24 Oktober 1648, Perjanjian Westphalia(Jerman): Perjanjian yang Mengubah Tatanan Dunia Lama
“Contoh bagaimana gereja Timur membuat konstruksi keagamaannya dapat dilihat dalam paham tentang pejabat gereja dan sakramen. Berbeda dengan gereja Barat, pejabat Gereja Timur diizinkan menikah. Gereja Timur mempunyai 7 sakramen, sama seperti Gereja Barat, tetap berbeda dalam beberapa hal,” tulis Andreas (hlm. 257).
Jika skisma pertama tidak menimbulkan konflik besar, perpecahan Katolik dan Protestan memicu perseteruan panjang dan sederet intoleransi antara dua agama itu.
Masih dalam buku yang sama, Thomas Van Den End menyatakan bahwa orang-orang Katolik kerap menyebut penganut Protestan sebagai penyesat dan disamakan dengan penjahat yang patut dihukum.
Mayoritas Vs Minoritas
Di Eropa tengah, misalnya, ada kelompok minoritas Protestan yang ditindas mayoritas Katolik. “Melalui penindasan yang berlangsung selama satu setengah abad dan yang tidak enggan memakai cara-cara yang paling kejam—sampai-sampai pembunuhan ribuan orang sekaligus—persentasi itu turun menjadi 2 persen saja,” urai Thomas (hlm. 199).
Sebaliknya, di negara yang dikuasai Protestan, kelompok Katolik juga mengalami diskriminasi. Mereka dijadikan sebagai warga negara “kelas dua” yang tidak mendapat tempat dalam kehidupan politik.
Baca Juga : Janji Panglima Salahuddin Ayyubi Merebut Yerusalem dalam Perang Salib
Menyikapi perbedaan tersebut, kelompok Protestan pun terpecah. Pengikut Luther lebih terbuka dan menghargai perbedaan keyakinan dengan Katolik. Namun para pengikut Calvin bersikap sebaliknya.
Pemerintahan yang dikuasai pengikut Calvin menganggap kaum minoritas Katolik sebagai pemberontak dan mencabut kewarganegaraannya. Orang Katolik juga dilarang melakukan aktivitas ibadah di gereja.
Sikap berbeda ditunjukkan kaum Lutheran. Mereka lebih terbuka terhadap keyakinan lain. Selain menimbulkan konflik, perpecahan ini juga memengaruhi pekabaran Injil di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Hindia Belanda
Ketika pertama kali datang ke kepulauan yang kelak bernama Indonesia, Belanda membawa ajaran Katolik. Namun, karena kemudian Belanda dikuasai kelompok Reformasi, negeri jajahannya pun turut mengikuti. Gereja-gereja di Indonesia yang muncul saat kolonialisasi Belanda didominasi kelompok Lutheran dan Calvinist.
Sementara itu, Katolik yang berkembang di Indonesia adalah hasil dari penginjilan yang dilakukan Portugis, yang datang sebelum Belanda. Hal serupa juga terjadi di Filipina, yang lebih kuat dipengaruhi Katolik, sebab Portugis dan Spanyol yang bercokol di sana.
Sumber : perpecahan-katolik-dan-protestan-yang-berujung-intoleransi