ZONA PERANG(zonaperang.com) Krisis penyanderaan Gedung AIA terjadi di Gedung AIA – American Insurance Associates di Jalan Ampang, Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 4 Agustus 1975. Tentara Merah Jepang – Japanese Red Army menyandera lebih dari 50 sandera di gedung AIA, yang menjadi tempat beberapa kedutaan besar.
“Tujuan JRA adalah untuk menggulingkan pemerintah Jepang dan monarki, serta memulai revolusi dunia. Aktif tahun 1970-1980’an dan sebagian besar beroperasi di Libanon dengan kolaborasi PFLP – Popular Front for the Liberation of Palestine.”
Pada hari itu, para militan JRA telah menyusup ke dalam negeri dan menyandera 53 orang, termasuk Konsul Amerika Serikat Robert Stebbins dan Kuasa Usaha Swedia Fredrik Bergenstrahle, di gedung tersebut.
Orang-orang bersenjata itu berhasil membebaskan lima rekan yang dipenjara dan terbang bersama mereka ke Libya.
Dibebaskan
Gedung AIA di Jalan Ampang, Kuala Lumpur dulunya adalah kedutaan besar Amerika Serikat dan Swedia. Pada tanggal 4 Agustus 1975, 5 anggota JRA menyerbu gedung tersebut dan menyandera 53 karyawan kedutaan. Semua sandera dikumpulkan di Lantai 9 Gedung AIA. JRA menuntut agar beberapa pemimpin mereka yang dipenjara dibebaskan, dan mengancam akan membantai 53 sandera jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
“Sebuah pusat operasi didirikan di lantai dasar, sementara lima militan JRA menyandera para sandera di lantai sembilan”
Perdana Menteri Malaysia pada saat itu adalah Tun Abdul Razak Menteri Dalam Negeri saat itu, Ghazali Shafie, sangat terlibat dalam negosiasi meskipun saat itu ia sedang berada di Jakarta.
Negosiasi
Negosiasi pada awalnya terhambat oleh birokrasi dari para pejabat Jepang. “Pemerintah Jepang sangat bersikeras untuk tidak menyerah karena para militan telah menyebabkan banyak masalah,” katanya.
Kelompok komunis radikal tersebut menuntut pemerintah Jepang untuk membebaskan tujuh orang rekan mereka yang ditahan di negara itu, sebagai ganti para sandera.
Para penyandera kemudian menuntut perjalanan yang aman keluar dari negara itu dan mengusulkan Libya sebagai tujuan mereka.
Namun, pemerintah Libya pada awalnya menolak untuk mengizinkan para penyandera mendarat di negara mereka. “Presiden Muammar Gaddafi saat itu ragu-ragu untuk menerima mereka karena ia tidak ingin dunia Barat mengaitkannya dengan para militan.
Baca juga : 30 Mei 1972, Serangan Tentara Merah Jepang ke Bandara Lod Israel
Baca juga : 23 November 1985, EgyptAir Penerbangan 648 : Usaha pembebasan sandera terburuk dalam sejarah penerbangan
Mengalah & Jaminan
Akhirnya, pemerintah Jepang mengalah dan menyetujui pembebasan lima pemimpin JRA. Mereka dikirim dengan pesawat DC-8 milik maskapai penerbangan Jepang ke Kuala Lumpur. Wakil Menteri Transportasi Dato’ Ramli Omar dan sekretaris jenderal Kementerian Dalam Negeri Tan Sri Osman Samsuddin Cassim ditukar dengan para teroris sebagai sandera untuk menjamin keselamatan mereka.
Para penyandera melanjutkan perjalanan dengan DC-8 dengan para pemimpin mereka yang dibebaskan, serta Omar dan Cassim, ke Libya, tiba di Bandara Tripoli pada tanggal 8 Agustus setelah singgah di Kolombo. Di sana mereka akan dilindungi oleh Muammar Gaddafi, yang pada saat itu mendukung berbagai organisasi perlawanan seperti PLO – Palestine Liberation Organization dan IRA – Irish Republican Army. Samsuddin Cassim dan Ramli Omar kembali ke Malaysia tanpa terluka pada tanggal 10 Agustus.
Setelahnya
Di antara para tahanan yang dibebaskan oleh pemerintah Jepang adalah Kunio Bandō, yang telah dipenjara karena perannya dalam insiden Asama-Sanso. Bandō kemudian diyakini telah membantu pembajakan Japan Airlines Penerbangan 472 dari Paris ke Tokyo pada tahun 1977, memaksa pesawat tersebut mendarat di Dhaka. Bandō masih buron dan dilaporkan menghabiskan waktu antara tahun 1997 dan 2007 di Rusia, Cina, Filipina, dan Jepang.
Raja Swedia Carl XVI Gustaf – Carl Gustaf Folke Hubertus menganugerahkan Royal Order of the Polar Star kepada Tan Sri Samsudin Osman Kassim pada tanggal 16 September 2009, sekitar 34 tahun kemudian.
Baca juga : Krisis sandera kerata api Belanda 1977 : Pembajakan 19 hari oleh simpatisan Republik Maluku Selatan(RMS)