Hari ini dalam Sejarah

5 Maret 1960: Presiden Sukarno Bubarkan DPR Hasil Pemilu Pertama yang demokratis

Akhirnya berakhir dengan terpusatnya kekuasaan: otoriter, penangkapan orang-orang, menjadi presiden seumur hidup, tidak mengadakan pemilihan umum lagi, mengangkat sendiri anggota perwakilan rakyat(MPRS)

ZONA PERANG (zonaperang.com)Presiden pertama Republik Indonesia (RI), Sukarno/Soekarno pernah membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pembubaran DPR hasil Pemilihan Umum (Pemilu) pertama Tahun 1955 itu terjadi pada 5 Maret 1960.

Membubarkan DPR hasil Pemilu

Ada sejumlah peristiwa yang terjadi sebelum akhirnya Sukarno memutuskan membubarkan DPR hasil Pemilu yang disebut paling demokratis di Indonesia.

Berawal saat Sukarno mengeluarkan Dekret Presiden pada 5 Juli 1959. Hal itu lantaran Badan Konstituante dinilai telah gagal menetapkan konstitusi baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Ramai pula desakan masyarakat untuk kembali menggunakan ideologi dasar negara UUD 1945, disertai rentetan peristiwa politik lainnya. Dari peristiwa ini, Sukarno mengambil sikap untuk menyelamatkan negara.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Dalam ‘Dekrit Presiden 5 Juli 1959’ yang diambil dari situs kemendikbud.go.id milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), disebutkan bahwa dekret resmi diumumkan Presiden Sukarno di Istana Merdeka, Jakarta pada Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00 WIB.

Dekret inilah yang menjadi keputusan Presiden Sukarno membubarkan lembaga tertinggi negara Konstituante, hasil pemilihan umum 1955.

Baca juga : G30S/PKI, Bung Karno dan ajudan kepercayaanya

Baca juga : Tiga Pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno Pasca Pemberontakan G30S/PKI

Membajak demokrasi dan memunculkan kekuasaan terpusat

Dikutip dari Majalah Tempo: Dekrit Presiden 5 Juli 1959 edisi 19 Mei 2008, kala itu sedang terjadi perbedaan pandangan ideologi yang menajam antaranggota Konstituante mengenai dasar negara, apakah berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa atau bukan.

Dekret itu pun mengakhiri perbedaan pandangan dan dianggap oleh sebagian kalangan sebagai penyelamatan negara. Hanya saja, bukan tanpa masalah.

Keputusan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 itu membajak demokrasi, karena akhirnya memunculkan Demokrasi Terpimpin. Kekuasaan negara jadi terpusat dan terpersonifikasi dalam sosok Sukarno.

Badan Konstituante

Badan Konstituante sendiri merupakan lembaga negara yang dibentuk lewat Pemilihan Umum (Pemilu) 1955. Lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan merumuskan undang-undang baru.

Berdasarkan ‘Dekrit Presiden: Isi dan Sejarahnya’ yang dikutip dari laman Kompas.com, sejak dimulainya persidangan pada 1956 hingga 1959, Badan Konstituante nyatanya tidak kunjung berhasil merumuskan UU baru. Kondisi ini membuat situasi Indonesia memburuk.

Pemberontakan terjadi di berbagai daerah. Mereka tidak mengakui keberadaan pemerintahan pusat dan membuat sistem pemerintahan sendiri.

Akhirnya pada 22 April 1959, Presiden Sukarno mengadakan sidang lengkap Konstituante di Bandung. Dalam pidatonya, dia menyebut Badan Konstituante kurang mengalami kemajuan selama dua tahun lima bulan 12 hari.

Soekarno kemudian mengusulkan penggunaan kembali UUD 1945. Usul tersebut lantas menimbulkan polemik pro-kontra di kalangan Konstituante.

Dampak buruk dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin

Dua partai besar yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang akhirnya mencoba mengambil alih kekuasaan tahun 1965 itu menerima usulan Sukarno tentang penggunaan kembali UUD 1945. Sementara Partai Masjumi menolak dan menjelaskan adanya kekhawatiran munculnya dampak buruk dari pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dengan penggunaan UUD 1945.

Beberapa kali telah dilakukan pemungutan suara dalam sidang Konstituante terkait usulan tersebut. Namun tetap tidak kunjung membuahkan solusi.

Hingga akhirnya, 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengumumkan Dekret Presiden tentang berlakunya kembali UUD yang dipergunakan pada 1945, saat Indonesia mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk pertama kalinya.

Baca juga : (Buku) Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi-antara Sukarno-Aidit-Mao Tse Tung (Cina)

Baca juga : Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo, Pemimpin DI/TII yang dihukum mati sahabat karibnya

RAPBN Sukarno Ditolak DPR

Berdasarkan Jurnal ‘Sikap Politik Soekarno Terhadap Partai Masyumi 1957-1960’ tulisan Zaini Muslim Ahmad, hubungan Partai Masyumi dengan Presiden Sukarno mulai renggang sejak awal 1957.

Sukarno ingin partai tunggal

Kala itu, Bung Karno mengambil perubahan orientasi sikap dalam menilai jalannya sistem multipartai di Indonesia, yang dengan eksplisit menyampaikan keinginannya untuk mendirikan satu partai negara dan mengubur partai-partai yang lainnya.

Di mata Sukarno, kehadiran multipartai dalam ranah demokrasi Indonesia dianggap sebagai penyakit kepartaian. Penyakit yang lebih parah dari perasaan kesukuan dan kedaerahan dan disinyalisasi menyebabkan bangsa akan selalu saling cakar.

Menyingkirkan partai

Berjalannya waktu, sikap keras Partai Masyumi terhadap rezim Demokrasi Terpimpin membuat Sukarno menyimpulkan bahwa langkah untuk menyingkirkan partai tersebut dari peta perpolitikan Indonesia harus segera disusun.

Awal tahun 1960, konflik parlemen dengan Sukarno mulai muncul ke permukaan. Ketika itu, parlemen menentang keras Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) yang diajukan oleh pemerintah.

Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) berperan sebagai provokator pemboikotan RAPBN itu. Meski begitu, Sukarno tidak kehilangan akal untuk memuluskan niatnya.

Baca juga : Marahnya Panglima Sudirman ke Sukarno yang Tak Pernah Mau Ikut Gerilya

Baca juga : 15 Februari 1958, Berdirinya PRRI : Dewan Perjuangan dibentuk di Padang menuntut Komunis disingkirkan, Keadilan bagi Daerah dan Janji-janji pemerintah pusat

Membubarkan parlemen hasil Pemilu 1955

Sukarno lantas meloloskan RAPBN dengan cara kasar, yakni membubarkan parlemen hasil Pemilu 1955. Sebab baginya, selama komposisi parlemen tidak steril dari unsur oposisi maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan terus diganjal.

Akhirnya Pada 5 Maret 1960, Presiden Sukarno mengeluarkan Penpres Nomor 3 Tahun 1960 tentang pembubaran DPR hasil pemilihan umum 1955. Alasannya adalah DPR hasil Pemilu 1955 tidak dapat memenuhi harapan untuk saling membantu pemerintah, tidak sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945, Demokrasi Terpimpin, dan Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Hal itu karena susunan DPR saat itu merupakan hasil dari Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959

Adapun isi Dekret Presiden Sukarno yang dikeluarkan pada 5 Juli 1959 adalah sebagai berikut:

DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959

Dengan rachmat Tuhan Jang Maha Esa, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

Dengan ini menjatakan dengan chidmat:

Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 jang disampaikan kepada segenap rakjat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri sidang. Konstituante tidak mungkin lagi menjelesaikan tugas jang dipertjajakan oleh rakjat kepadanja;

Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan-keadaan ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masjarakat jang adil makmur;

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara Proklamasi;

Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

Menetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Sementara, jang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnja.

Ditetapkan di Djakarta pada tanggal 5 Djuli 1959

Atas nama Rakjat Indonesia

Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang

SOEKARNO

Baca juga : Sukarno lebih percaya PKI yang memfitnah pimpinan TNI AD, Letjen Ahmad Yani geram

Baca juga : (Kebiadaban PKI) Kesaksian Anak-anak Pahlawan Revolusi yang Ayahnya Dibantai PKI

Sumber

ZP

Recent Posts

Negara Arab dimata Taliban Afganistan tentang Perjuangan Palestina

ZONA PERANG(zonaperang.com) Konon, ketika pemerintahan pertama Taliban diundang dalam konferensi mengenai isu Palestina di salah…

1 bulan ago

Mesir

Pada tanggal 5 Oktober 1985, selama dinas wajibnya di Pasukan Keamanan Pusat Polisi Mesir di…

1 bulan ago

Fakta unik peranan rusia dalam hubungan dengan Amerika

Siapa yang mendukung Amerika dalam Revolusi Amerika melawan Inggris? RUSIA.

2 bulan ago

Jordan Files : Mengapa kerajaan Yordania melindungi zionis Israel Dari serangan lawan-lawanya?(Bagian ke-2)

ZONA PERANG(zonaperang.com) Salah satu peran yang ditugaskan kepada Yordania adalah koordinasi keamanan, karena Yordania memainkan…

2 bulan ago

Garis waktu perang Kolonial Zionis Israel vs Palestina 8 – 15 Mei 2024 (bagian 27): “Ada indikasi jelas bahwa Israel akan segera berakhir”

Faktor2 pendorong kehancuran rezim Zionis: kurangnya kohesi sosial di tengah masyarakat Israel, ledakan problem ekonomi,…

2 bulan ago

10 Pesawat Terburuk di Perang Dunia ke-2

Dengan meningkatnya ketegangan di Eropa pada akhir tahun 1930-an, beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Prancis,…

2 bulan ago