- Kemenangan militer yang berujung pahit bagi Inggris dan Prancis.
- Pada 5 November 1956, dunia menyaksikan puncak dari salah satu krisis internasional paling signifikan di era Perang Dingin. Krisis Suez, yang berpusat pada perebutan kendali Terusan Suez antara Mesir di satu sisi dan aliansi Inggris-Prancis-Israel di sisi lain, menjadi titik balik dalam politik global dan menandai berakhirnya era dominasi kolonial Eropa di Timur Tengah.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Hari ini pada tahun 1956, pasukan terjun payung Inggris dan Prancis merebut sebagian Terusan Suez(Perang Sinai/Operasi Kadesh/Operasi Musketeer) sebagai tanggapan atas nasionalisasi Mesir atas jalur air tersebut pada bulan Juli. Langkah ini menyusul serangan udara berhari-hari oleh dua kekuatan dan invasi Sinai oleh Israel. Baik AS dan Soviet mengutuk tindakan tersebut.
Terusan Suez, yang menghubungkan Laut Mediterania dengan Laut Merah, adalah jalur perdagangan maritim yang sangat strategis. Terusan ini memungkinkan kapal-kapal untuk melintasi antara Eropa dan Asia tanpa harus melalui jalur panjang mengelilingi Afrika. Kontrol atas Terusan Suez menjadi sumber kekuatan ekonomi dan politik yang besar.
Terusan Strategis
Terusan Suez ini menghubungkan Pelabuhan Said di Laut Tengah dan Suez di Laut Merah.
Mesir merupakan salah satu negara yang mencetuskan untuk membangun kanal guna mempermudah perdagangan dan transportasi air. Seperti yang pernah dicatat di Tomb of Weni the Elder yang pernah hidup dalam dinasti ke-6 Old Kingdom (2407-2260 BC). Dilansir dari laman resmi Suez Canal Authority, Terusan Suez pada periode tersebut digunakan untuk keperluan politik seperti perang dan perdagangan.
Salah satu usaha yang pertama kali dilakukan untuk membangun Terusan Suez menjadi lebih modern sebelumnya sudah pernah dilakukan oleh Perancis. Usaha ini dilakukan di masa ekspedisi Mesir yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte dengan harapan usahanya tersebut mampu menyelesaikan masalah perdagangan yang dialami antara Perancis dan Inggris pada masa itu.
Usaha ini dimulai pada tahun 1799 oleh Charles Le Pere, namun usaha tersebut gagal dilakukan. Hingga pada akhirnya di tahun 1869 Perancis dan Inggris bekerja sama untuk membangun kanal tersebut. Peristiwa Krisis Suez Terusan Suez ini dibangun dan diresmikan pada tahun 1869, namun hak kepemilikannya diklaim oleh Inggris & Perancis. Sebelumnya transportasi air dilakukan dengan cara mengosongkan kapal dan membawa barang-barangnya lewat darat antara Laut Tengah dan Laut Merah.
Baca juga : Krisis sandera kerata api Belanda 1977 : Pembajakan 19 hari oleh simpatisan Republik Maluku Selatan(RMS)
Baca juga : Britania Raya yang Kejam—kebenaran berdarah tentang Kerajaan Inggris
Latar Belakang
Pada tahun 1956, Mesir dipimpin oleh Jenderal Gamal Abdel Nasser, yang telah menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Nasser memutuskan untuk menasionalisasi Terusan Suez, yang merupakan salah satu jalur penting bagi lalu lintas kapal internasional. Tindakan ini dilakukan setelah tawaran dana dari Amerika Serikat untuk pembangunan Bendungan Aswan dicabut, yang membuat Nasser merasa bahwa Mesir tidak lagi dapat bergantung pada bantuan luar negeri.
Serangan gabungan dari Israel, pasukan Inggris dan Perancis
Melansir dari laman resmi Office of The Historian pada tanggal 26 Juli 1956, presiden Gamal Abdel Nasser menetapkan bahwa Terusan Suez akan dinasionalisasi. Hal ini mengakibatkan pada pencabutan hak kepemilikan yang sebelumnya dipegang oleh British-French di tahun 1869. Pencabutan hak kepemilikan ini tentu menimbulkan ketegangan politik antara Mesir, Inggris, dan Perancis pada masa itu.
“Inggris dan Prancis khawatir Nasser akan menutup terusan itu dan menghentikan pengiriman minyak bumi yang mengalir dari Teluk Persia ke Eropa Barat. Ketika upaya diplomatik untuk menyelesaikan krisis itu gagal, Inggris dan Prancis diam-diam mempersiapkan aksi militer untuk mendapatkan kembali kendali atas terusan itu dan, jika memungkinkan, menggulingkan Nasser.”
Merasa terancam oleh tindakan Nasser, Inggris dan Prancis menyusun rencana militer bersama untuk merebut kembali kontrol atas Terusan Suez. Pada saat yang sama, Israel juga memiliki kepentingan dalam konflik ini. Hubungan Mesir-Israel yang tegang setelah perang Arab-Israel tahun 1948 membuat Israel bersekutu dengan Inggris dan Prancis dalam serangan militer yang kemudian dikenal sebagai Operasi Musketeer.
“Serangan gabungan ini dikenal sebagai Operasi Kadesh oleh Israel dan Tripartite Aggression di Arab.”
Pada tanggal 29 Oktober 1956 terjadi serangan gabungan dari Israel, pasukan Inggris dan Perancis di Mesir untuk merebut kembali Terusan Suez tersebut. Namun melalui intervensi PBB, Amerika Serikat dan Uni Soviet berhasil menghentikan pertempuran yang sedang terjadi, sehingga pada tanggal 22 Desember 1956 dapat kembali dievakuasi.
Peristiwa ini dikenal sebagai Krisis Suez di mana terjadi perebutan wilayah yang dilakukan oleh Perancis, Inggris, dan Mesir. Hingga pada akhirnya Terusan Suez dan Semenanjung Sinai berhasil dimiliki kembali oleh Mesir, mesikpun sempat mengalami kekalahan perang melawan Israel dalam perebutan Semenanjung Sinai.
Dampak Krisis Suez terhadap Kekuatan Global
Krisis Suez menandai akhir dari era dominasi kekuatan kolonial tradisional seperti Inggris dan Prancis di Timur Tengah. Kekalahan diplomatik dan tekanan internasional yang memaksa mereka untuk mundur menggarisbawahi perubahan besar dalam tatanan global pasca-Perang Dunia II. Amerika Serikat dan Uni Soviet muncul sebagai dua kekuatan super yang mendominasi geopolitik dunia, sementara Inggris dan Prancis mulai kehilangan pengaruh mereka sebagai kekuatan kolonial.
Bagi Mesir, kemenangan diplomatik dalam Krisis Suez memperkuat posisi Gamal Abdel Nasser sebagai pemimpin dunia Arab dan simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Terusan Suez tetap berada di bawah kendali Mesir, dan Nasser menjadi tokoh penting dalam Gerakan Non-Blok, sebuah koalisi negara-negara yang menolak untuk berpihak pada blok Barat atau Timur dalam Perang Dingin.
Di sisi lain, krisis ini juga menimbulkan perubahan besar di Inggris. Kegagalan Suez dianggap sebagai tamparan keras terhadap kebijakan luar negeri Inggris, yang akhirnya menyebabkan mundurnya Perdana Menteri Anthony Eden. Bagi Prancis, krisis ini memperkuat keputusan untuk fokus pada pembangunan Uni Eropa dan meninggalkan ambisi kolonial di Afrika Utara dan Timur Tengah.
Baca juga : Pemerkosaan sebagai Senjata Zionis Israel: Kekerasan dan Ketidakadilan yang Tak Terbendung