Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami…
Dua penggal bait itu merupakan puisi karya Chairil Anwar (26 July 1922 – 28 April 1949)yang berjudul Karawang-Bekasi. Puisi ini menunjukan harapan seorang Chairil terhadap perjuangan rakyat Bekasi yang tanah kelahirannya dibombardir oleh Sekutu Inggris yang diboncengi NICA Belanda.
Bekasi Lautan Api
Bekasi pada masa revolusi 1945-1949 menjadi salah satu konsentrasi perlawanan rakyat kala itu, terlebih tindakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus Johannes “Huib” van Mook (30 May 1894 – 10 May 1965) yang membuat garis demarkasi yang menyebabkan perpecahan bangsa.
Pertempuran di Jembatan Sasak Kapuk
Banyak upaya yang dilakukan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Misalnya Pertempuran di Jembatan Sasak Kapuk, Pondok Ungu, Bekasi yang dipimpin oleh tokoh karismatik Kiai Haji (KH) Noer Ali.
Pertempuran ini bermula pada jumat 23 November 1945, saat itu Pesawat Douglas DC-3 Dakota yang membawa sekitar 25 anggota militer sekutu mendarat darurat di wilayah Rawa Gatel, Cakung. Cakung ketika itu masih masuk wilayah Bekasi.
Melihat ada pesawat jatuh, masyarakat sekitar mencoba mendatangi lokasi kejadian. Namun tentara Inggris yang merasa lokasi ini merupakan wilayah kekuasaan Indonesia menjadi tertekan dan menembak ke arah masyarakat.
Dikutip dari Liputan6, geriliyawan pun murka atas perlakukan tentara Inggris. Terjadilah pertempuran singkat yang membuat tentara Inggris menyerah lantaran kalah jumlah. Mereka kemudian menyerah dan disandera oleh para geriliyawan.
Baca juga : Palagan Ambarawa dan taktik supit urang : Pertempuran yang Menginspirasi TNI-AD
Menyisir rumah-rumah warga
Pihak sekutu yang mendengar berita penyanderaan ini lantas geram. Mereka kemudian mengirimkan pasukan untuk mengecek pasukan di lokasi jatuhnya pesawat. Para tentara Inggris ini lantas menyisir rumah-rumah warga untuk mencari temannya.
“Menurut saksi sejarah lainnya, Haji Zakaria, saat itu dia bersama pasukannya diminta membawa tawanan ke tangsi militer di Bekasi. Inggris mengeluarkan maklumat agar tawanan perang tidak dibunuh. “Jika maklumat ini tidak diindahkan maka Bekasi akan dibumihanguskan,” kata pria yang kini berusia hampir 90 tahun.”
Tetapi di tengah penyisiran, para tentara Inggris dikejutkan dengan serangan para pejuang yang menggunakan parang dan pedang. Pertempuran terjadi sehingga menyebabkan puluhan korban dari pihak pejuang dan satu tewas dari pihak Inggris.
Berita ini lantas didengar oleh Panglima Tertinggi Sekutu di Indonesia Jenderal General Sir Alexander Frank Philip Christison (17 November 1893 – 21 Desember 1993). Dirinya marah besar dan menuntut para tahanan dibebaskan dan dikembalikan ke Batavia/Jakarta.
Kemarahan Sekutu juga makin tidak bisa terbendung
Pihak Indonesia tak bisa berbuat banyak, karena memang tahanan ketika itu sudah meninggal dunia. Kejadian ini membuat Presiden Soekarno datang ke Bekasi dan melihat kondisi secara langsung.
Pihak Sekutu mulai menerjunkan kekuatan penuh sejak 29 November 1945. Selain membawa senjata, mereka juga membawa jerigen berisi minyak. Para pejuang Bekasi sudah mendengar akan penyisiran itu lalu lebih dahulu pergi dari rumah.
Tetapi pertempuran tetap terjadi di berbagai front, misalnya di Cakung yang mengakibatkan jatuhnya korban dari dua belah pihak. Dari pihak Indonesia terhitung 13 orang gugur. Lantas Sekutu berusaha menusuk jantung Bekasi.
Hizbullah pimpinan KH Noer Ali
Namun, di Kampung Rawa Pasung, mereka dihadang Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Barisan Benteng, Republik Indonesia (BRRI), Laskar Rakyat (LR), dan Pasukan Pencak Silat (PS).
Merasakan sulitnya menembus pertahanan sampai kota Bekasi, Sekutu mundur dengan membawa pasukannya yang telah menjadi korban. Namun, begitu tiba di Pondok Ungu, mereka harus berhadapan dengan Hizbullah pimpinan KH Noer Ali.
Pada awalnya tentara Sekutu terdesak oleh serangan mendadak pasukan Hizbullah. Namun tidak sampai satu jam kemudian, tentara Sekutu yang bersenjata lengkap meyerang. Pasukan KH Noer Ali memutuskan untuk mundur sampai jembatan Sasak Kapuk.
“Setibanya di Sasak Kapuk, tentara Sekutu menembakkan mortir dan meriam dari arah gardu cabang. Entah mengapa, senjata modern yang jatuh di sekitar pasukan KH Noer Ali tidak meledak,” tulis Ade Maman dalam jurnal Academia berjudul Pertempuran Sasak Kapuk.
Baca juga : 23 Maret 1946, Bandung Lautan Api : Perlawanan Rakyat terhadap usaha penjajahan kembali Belanda
Pasukan Inggris kembali ke Jakarta
Pertempuran ini telah menimbulkan banyak korban, total sekitar 30 pasukan Hizbullah jadi korban. Gempuran-gempuran mortir dan artileri Inggris memaksa pasukan KH Noer Ali mundur ke Utara. Pasukan Inggris kembali ke Jakarta setelah melihat pasukan Republik mundur.
Pada 13 Desember, konvoi Inggris dengan jumlah yang lebih besar merangsek lagi ke Bekasi. Sekutu mengerahkan lebih dari 1 batalion infanteri yang dibantu artileri, berpuluh panser lapis baja dan pesawat serta 76 truk serdadu India bersenjata modern.
Tank-tank mereka merangsek sampai Bekasi
Sekutu menyerang melalui Cakung, namun gagal. Tentara Inggris lantas menerobos melalui Pondok Gede yang melanggar garis demarkasi. Tank-tank mereka merangsek sampai Bekasi, korban jiwa pun tak terhindarkan dalam pertempuran ini.
Ribuan permukiman warga dibakar api. Bekasi secara sekejap berubah menjadi lautan api. Puluhan warga sipil dipaksa mengungsi ke luar kota dalam peristiwa yang dikenal sebagai Bekasi Lautan Api.
Bedasarkan laporan KNID Bekasi terdapat 14 orang luka, 641 keluarga dengan 3379 jiwa telah kehilangan tempat tinggal. Tugu alun-alun Kota Bekasi menjadi saksi bisu para korban jiwa dalam pertempuran ini.
“Pembakaran, pengeboman dari mulai alun-alun Bekasi sampai Kranji, Teluk Buyung, Teluk Pucung, Bulak Kapal, bahkan sampai ke Lemah Abang dan Karawang,” kata Sejarawan Ali Anwar dalam bukunya Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi yang disadur dari Hops.
“Saat perang terjadi di Bekasi banyak pejuang kemerdekaan melarikan diri ke Karawang kemudian terjadi pembantaian di Rawagede. Saat itu tentara Belanda mencari pejuang yang lari ke Karawang ,”
Peristiwa itulah yang mengilhami lahirnya puisi Karawang Bekasi, karena Chairil Anwar saat kejadian tersebut berada di Karawang.
Chairil Anwar berada di Karawang karena kondisi Jakarta saat itu sangat mencekam membuat banyak pejuang lari kepinggiran Jakarta seperti Bekasi dan Karawang. Chairil Anwar harus bolak balik Jakarta- Karawang menghindari tentara Belanda.
Menyesali tindakan Christison
Dilansir dari Historia, Inggris selaku pemegang kendali di Asia Tenggara langsung mendapat tekanan internasional akibat tragedi pembakaran tersebut. Sejumlah surat kabar mancanegara melansir kecaman atas tindakan Christison itu.
Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara Laksamana ouis Francis Albert Victor Nicholas Mountbatten (25 Juni 1900 – 27 August 1979)pun menyesali tindakan Christison. Ketika itu Christison mengklaim mendapat persetujuan dari HFC Walsh, penasihat politik Mountbatten, mengenai operasi pembakaran Bekasi.
“Tetapi Mountbatten merespons bahwa peristiwa itu sangat disesalkan dan jika dia diberitahu lebih awal mungkin tak semestinya terjadi,” tulis Richard McMillan dalam buku The British Occupation of Indonesia 1945-1946.
Baca juga : 10 November 1945, Perang Surabaya : Latar Belakang, Kronologi, & Dampak
Baca juga : 16 Juni 1948, Dakota RI-001 Seulawah : Dari Aceh untuk Republik Indonesia dan perampokan didalamnya
Memprotes keras pembumihangusan Bekasi
Perdana Menteri Sutan Sjahrir (5 Maret 1909 – 9 April 1966 langsung memprotes keras pembumihangusan Bekasi. Menurutnya tindakan yang dilakukan oleh pihak Sekutu telah melampaui batas. Dirinya bahkan menyamakan tindakan ini dengan pasukan Jerman yang membantai permukiman di Desa Lidice, Republik Ceko.
“Maka dari itu pemerintah mengajukan protes terhadap tindakan-tindakan ini,” kata Sjahrir dalam pidatonya pada 19 Desember 1945 yang disiarkan Berita Republik Indonesia tahun II Nomor 4-5.
Kota Patriot
Ali Anwar melihat pertempuran yang berlangsung, membuat Bekasi layak dinobatkan menjadi Kota Patriot. Daerah ini memang memiliki keistimewaan, karena Belanda membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun untuk menaklukkannya.
“Bayangkan, April 1946, Belanda sudah masuk ke Bandung, dengan sebelumnya lewat Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. Tetapi bulan Juni 1946, Belanda cuma menguasai wilayah yang awalnya dari Kali Cakung, sampai ke Kali Bekasi,” ucap sejarawan ini yang dimuat di Kompas.
Menurut Ali, para pejuang Bekasi tak hanya sibuk bertahan. Mereka bersama para tentara, kerap bergeriliya melancarkan serangan sporadis terhadap penjajah. Apalagi warga Bekasi dikenal sebagi kampungnya para jawara.
Pertempuran ini dikenang oleh beragam karya, selain Chairil Anwar dalam puisi Karawang-Bekasi (1948). Sastrawan kenamaan Pramoedya Ananta Toer juga pernah mengenang kisah perjuangan ini dalam novelnya.
Dua karya Pram, Krandji-Bekasi Jatuh maupun yang tersohor Di Tepi Kali Bekasi sama-sama lahir pada 1947. Sementara itu komponis Ismail Marzuki menggubah tembang berjudul Melati di Tapal Batas (1947).
“Syairnya menceritakan sosok perempuan jelita yang, dengan jiwa pendekarnya, pergi berperang membela negara walau dirindukan keluarganya di kampung,” tulis Vitorio Mantalean dalam artikel berjudul Kisah Perjuangan dari Bekasi, Tanah Patriot dan Para Jawara yang Sulit Ditaklukan Belanda.
Baca juga : Pahlawan Nasional Abdulrachman Saleh, Tokoh AURI Multi Talenta
Baca juga : 7 Februari 1989, Peristiwa Talangsari : Pembantaian umat Islam dan pelanggaran HAM berat di Lampung