Sunan Kudus, yang memiliki nama asli Ja’far Shadiq, adalah salah satu dari Wali Songo yang terkenal di tanah Jawa. Beliau dikenal sebagai panglima perang, hakim, dan imam yang menggunakan pendekatan damai dalam menyebarkan agama Islam. Keberhasilannya dalam dakwah tidak lepas dari kebijaksanaannya dalam menghormati budaya lokal dan menghindari konflik.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Sunan Kudus adalah salah satu wali songo di tanah Jawa yang tetap menghormati budaya setempat. Penghormatannya terhadap budaya dicirikan dengan masjid peninggalannya di Kudus.
Di antara santri-santri paling kesohor dari alumni pesantren Ampeldenta yang didirikan oleh Sunan Ampel, terdapat sosok Ja’far Shadiq atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus. Ja’far Shadiq lahir dari keluarga bangsawan Kerajaan Demak. Beliau lahir di al-Quds atau Palestina. Jika ditarik lebih jauh lagi, jalur keturunannya sampai ke nasab Nabi Muhammad SAW melalui jalur Husain bin Ali RA(keturunan ke-24).
Sunan Kudus meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi masyarakat Jawa. Masjid Menara Kudus, yang dibangun dengan arsitektur bergaya Hindu-Buddha, menjadi simbol akulturasi budaya dan toleransi yang diajarkan oleh Sunan Kudus. Hingga hari ini, ajaran dan pendekatan dakwahnya terus dihormati dan dijadikan teladan.
Baca juga : Film Hyena Road(2015): Lebih dari Sekadar Perang Afganistan
Menggantikan posisi ayah
Ayahnya adalah Usman Haji bin Ali Murtadha(Sunan Ngudung), saudara kandung Sunan Ampel. Sebelum meninggal, ayahnya adalah senopati atau panglima Kerajaan Demak. ayahnya merupakan senopati Kerajaan Demak yang gugur dalam pertempuran melawan serangan Kerajaan Majapahit. Sunan Kudus lalu menggantikan posisi ayahnya untuk memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Demak.
Melalui posisi senopati itulah, Ja’far Shadiq menyebarkan Islam di wilayah Demak. Selain menjabat sebagai senopati, ia juga diangkat menjadi imam besar Masjid Agung Demak, serta menjadi qadhi atau hakim di Kerajaan tersebut. Ketika terjadi perselisihan internal di kerajaan Demak,
Ja’far Shadiq kemudian pindah ke kawasan Tajug, sebagaimana dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam (2020) yang ditulis Suhailid. Di kawasan Tajug ini, Ja’far Shadiq tidak lagi aktif di dunia politik dan fokus menyebarkan dakwah Islam. Strategi dakwah yang ia usung adalah melalui pendekatan seni dan budaya. Ia tidak langsung melarang masyarakat yang masih menganut kepercayaan animisme dan agama Hindu-Buddha, melainkan merangkulnya pelan-pelan.
Kudus & Al-Quds
Berkat kharisma dan keluwesan pergaulannya, Ja’far Shadiq memperoleh simpati dari masyarakat. Dalam uraian “Genealogi Walisongo: Humanisasi Strategi Dakwah Sunan Kudus” yang ditulis Mas’udi, dijelaskan bahwa alih nama dari Tajug ke Kudus juga dipengaruhi oleh Ja’far Shadiq. Berkat penerimaan dakwah yang disampaikan Ja’far Shadiq, wilayah Tajug kemudian berganti nama dengan Kudus, yang diambil dari kata Al-Quds, sebuah kota suci di Yerusalem.
Karena itulah, Ja’far Shadiq dikenal dengan julukan Sunan Kudus. Sunan Kudus kemudian mengembangkan dakwahnya melalui akulturasi budaya dengan perlahan agar bisa diterima masyarakat setempat. Terbukti, masjid Kudus yang dibangun di masa dakwah beliau memiliki arsitektur unik. Menara masjidnya serupa candi. Sunan Kudus berhasil mengompromikan arsitektur Islam, Jawa, Hindu-Buddha, dan Tionghoa. Ajaran Islam dan strategi dakwah itu dituntut Sunan Kudus dari beberapa gurunya.
Baca juga : Alexander Dugin: ‘Selamat datang di Geopolitik Hari Penghakiman’
Baca juga : Permainan Besar di Timur Tengah: Jalinan Wahabi, Saudi, Inggris dan Zionisme
Empat pendekatan
Secara keseluruhan, Sunan Kudus menggunakan empat pendekatan dalam menyebarkan agama Islam.
Pertama, Sunan Kudus melakukan pendekatan secara perlahan yakni membiarkan adat istiadat yang ada di masyarakat dan mulai mengubahnya sedikit-demi sedikit. Dia juga mengedepankan jalan damai dan menghindari perpecahan selama berdakwah.
Kedua, Sunan Kudus menghormati masyarakat Hindu untuk menarik perhatian mereka. Salah satunya dengan memberikan larangan untuk tidak menyembelih sapi. Pada waktu itu sapi merupakan hewan yang disucikan oleh masyarakat setempat.
Larangan ini berawal dari cerita saat Sunan Kudus mendatangkan sapi dari India. Datangnya sapi itu membuat warga penasaran dan berbondong-bondong mendatangi Sunan Kudus. Mereka mengira sapi itu akan disembelih di hadapan mereka.
Namun, ternyata itu merupakan salah satu strategi menarik masyarakat untuk memeluk Islam. Saat masyarakat sudah berkumpul, Sunan Kudus menceritakan bahwa dulu ia hampir mati karena kehausan. Lalu datanglah sapi menyusuinya. Setelah itu ia mengatakan kepada masyarakat supaya tidak menyakiti sapi apalagi sampai menyembelihnya. Hal itu membuat masyarakat semakin tertarik padanya.
Ketiga, Dakwah Bil-Hal (Perbuatan Nyata): Sunan Kudus menekankan pentingnya tindakan nyata dalam berdakwah. Dia menunjukkan ajaran Islam melalui perbuatan baik dan memberikan contoh langsung dalam kehidupan sehari-hari.
Keempat, Akulturasi Budaya: Sunan Kudus menggunakan seni, budaya, dan teknologi terapan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, dia mengajarkan keterampilan pertukangan dan kerajinan yang berguna bagi masyarakat setempat
Mengembara
Dalam buku Atlas Wali Songo (2016) yang ditulis Agus Sunyoto disebutkan beberapa guru Sunan Kudus seperti Kiai Telingsing, ulama Cina yang bernama asli The Ling Sing, Sunan Kudus juga belajar kiai-kiai pesantren Ampeldenta, dan ayahnya sendiri, Usman Haji bin Ali Murtadha. Selain itu, Sunan Kudus juga gemar mengembara ke wilayah-wilayah jauh seperti Hindustan hingga tanah suci Makkah.
Dari sisi keluarganya, Sunan Kudus menikahi Dewi Rukhil, putri Sunan Raden Maqdum Ibrahim (Sunan Bonang). Dari istrinya itu, Sunan Kudus memiliki seorang anak bernama Amir Hasan. Setelah beberapa tahun mengabdi dan berdakwah di wilayah Kudus, Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus pun tutup usia, tetapi tahun kematiannya tidak diketahui dengan jelas. Makam Sunan Kudus terletak di bagian belakang Masjid Agung Kudus, Jawa Tengah.
Baca juga : 12 November 1945, Jenderal Sudirman : Guru dan Pendakwah Muda yang Diangkat Jadi Panglima Besar Pertama TKR
Baca juga : 2 September 1192, Perjanjian Jaffa : Perdamaian Dua Raja dan Berakhirnya Perang Salib Ketiga