Pada 1980-an, intelijen Indonesia membantu Mujahidin Afghanistan dengan kiriman senjata. Taktik terselubung untuk mendekat ke kubu Amerika Serikat.
Indonesia memiliki kisah menarik yang membuatnya dihormati di negara Timur Tengah. Hal ini terkait kontribusi positifnya dalam percaturan politik bebas aktif.
Menjelang akhir 1970-an gerakan negara-negara Non-Blok dikejutkan dengan serangan besar-besaran kekuatan militer Uni Soviet ke Afghanistan.
David vs Goliath
Perlawanan Mujahidin Afghanistan melawan tentara Uni Soviet yang bersenjata lengkap bak David vs Goliath.
Kedatangan pasukan Soviet ini segera mendapat reaksi keras dari rakyat Afghanistan atau lebih tepatnya gerilyawan Mujahidin yang berjuang menghadapi Republik Demokratik Afghanistan beraliran Marxist-Leninist dan mendapat dukungan penuh Soviet.
“Taliban merupakan bahasa Pashto, طالبان (ṭālibān), yang berarti ‘para murid’, bentuk jamak dari ṭālib. karena anggotanya sebagian besar belajar di madrasah”
Amerika Serikat tidak mau Afghanistan jatuh ke tangan komunis Soviet seperti jatuhnya Vietnam selatan yang dikhawatirkan akan memengaruhi tatanan politik dunia Internasional.
Baca juga : AS Tekan Belanda Agar Akui Kemerdekaan dan Kedaulatan RI
Baca juga : 13 Januari 1842, dr. William Brydon : Kisah Tentara Inggris yang selamat dari keganasan Perang Afganistan
Central Intelligence Agency (CIA)
Melalui Central Intelligence Agency (CIA) AS mencoba melobi negara-negara ASEAN agar membantu perjuangan Mujahidin.
Bagaimana reaksi Indonesia? “Kalau kita bisa (lakukan) sendiri, kenapa harus lewat Amerika,” pikir Letjen TNI Leonardus Benjamin “Benny” Moerdani, Kepala Badan Intelijen Strategis ABRI (TNI) seperti ditirukan Marsda (Pur) Teddy Rusdy sebagaimana dilansir Grid.id.
Akhirnya pimpinan intelijen ABRI dengan persetujuan pimpinan nasional – Presiden Soeharto, sepakat membantu para pejuang secara tertutup dan langsung tanpa melalui perantara AS.
Operasi intelijen membantu pejuang Mujahidin
Dengan adanya perintah ini maka disiapkanlah sebuah operasi intelijen membantu pejuang Mujahidin yang akan dilakukan Indonesia.
Operasi intelijen yang diberi sandi Flying Carpets (Permadani Terbang) atau disebut juga Babut Mabur.
“Operasi ini sangat tertutup sehingga hanya diketahui oleh sedikit orang,” ujar Teddy lagi. Maka pihak ABRI langsung mengadakan komunikasi dengan para penghubungnya di Timur Tengah.
L.B Moerdani dan salah satu perwira menengah TNI AU yang juga anggota BAIS (Badan Intelijen Strategis) Pada tanggal 18 Februari 1981 bertemu di Islamabad dengan pimpinan intelijen Pakistan untuk mematangkan rencana ini.
Pertemuan ini pada intinya membahas kesediaan Indonesia membantu memberikan logistik, obat-obatan dan persenjataan kepada pejuang Mujahidin Afghanistan.
Sedangkan poin kedua ialah kesediaan Pakistan dalam membantu memberikan izin terbang (flight clearance) di Rawalpindi bagi pesawat Indonesia.
Selain itu Pakistan juga harus menyediakan truk sebagai pengangkut barang berisi senjata itu beserta pengawalannya agar sampai dengan selamat ke pihak Mujahidin Afghanistan.
Boeing 707 sipil milik Pertamina
Lantas dipilihlah pesawat Boeing 707-3M1C PK-PJQ sipil milik Pertamina yang dioperasikan oleh Pelita Air Service.
Ditunjuklah Kapten Arifin, Kapten Abdullah dan Kapten Danur, ketiganya merupakan pilot TNI AU yang kenyang pengalaman penerbangan Intelijen.
Operasi pengiriman senjata ini ‘dibungkus’ dengan samaran sebagai operasi kemanusiaan membantu korban perang Afghanistan dengan obat-obatan dan makanan.
Baca juga : Sejarah Tragedi Tanjung Priok(1984) : Kala Penguasa Menghabisi Umat Islam
Baca juga : Kisah sang pejuang Shilah bin Asyam(dan singa yang mendengar ucapannya)
AK-47 buatan Soviet sendiri
Senjata untuk Afghanistan itu di antaranya jenis senjata laras panjang SKS dan senapan serbu AK-47 buatan Soviet sendiri yang terkenal praktis bagi negara miskin dan berkembang. Bagi kaum Mujahidin, AK-47 adalah senjata yang sangat andal untuk bergerilya melawan penciptanya – Sovyet.
“Kami berikan senjata buatan Uni Sovyet itu agar mereka mudah memanfaatkan peluru yang mereka sita dari tentara Uni Sovyet di Afghanistan,” aku Marsekal Muda Teddy Rusdy, seperti dicatat Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016, hlm. 148).
Senjata-senjata itu adalah senjata bekas pakai milik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dari Operasi Trikora (pembebasan Irian barat). Banyak senjata Uni Sovyet mangkrak setelah 1965.
“Senjata Rusia banyak tergeletak dan Taliban butuh, ya kami kasih saja,” aku Teddy dalam sebuah wawancara dengan awak majalah Tempo (12/10/2014). Jumlah senjata yang terkumpul dan siap dikirim ke Afghanistan mencapai 2000 pucuk senapan. Jumlah itu setidaknya cukup untuk mempersenjatai dua batalyon di Afghanistan dan sebelum dikemas, nomor seri senjata-senjata itu telah dihapus terlebih dahulu.
Setelah semua siap maka pada tanggal 18 Juli 1981 malam hari iringan truk keluar dari gudang khusus Pusat Intelijen Strategis memasuki lanud Halim Perdana Kusuma.
Diego Garcia
Pesawat penumpang boeing bermesin 4 itu tidak melewati India yang kala itu sedang mesra dengan Uni Sovyet. Ia diterbangkan melalui pangkalan militer gabungan Amerika Serikat dan Inggris di Diego Garcia, Kepulauan Chagos, di Samudra Hindia.
Setelah sampai di lanud Rawalpindi segera tim penjemput dari Pakistan segera mengangkut senjata-senjata itu ke truk yang disamarkan dalam peti-peti bertuliskan palang merah indonesia.
Segera setelah itu truk-truk tersebut lantas bergerak dari Pakistan menuju Afghanistan. Setelah menempuh perjalanan darat, sebelum tengah hari konvoi memasuki wilayah Afghanistan yang dikuasai para Mujahidin.
Secara cepat dilakukan upacara sederhana penyerahan bantuan “obat-obatan dan selimut” untuk para pengungsi korban perang di Afghanistan.
Operasi intelijen ini tak dikoordinasikan
Operasi intelijen ini tak dikoordinasikan dengan Atase Militer Indonesia untuk Pakistan yang kala itu dijabat oleh Kolonel Kavaleri Harjanto.
Selesai operasi sukses, personel operasi melapor ke pimpinan ABRI, setelah beristirahat lantas semua awak kembali ke tanah air dengan oleh-oleh karpet permadani asal Pakistan yang terkenal akan mutunya itu.
Diam-diam mendukung Amerika
Menurut Hendro Subroto, operasi itu dilakukan dalam rangka mencari dana dan memberi peran pada Indonesia dalam “Perjuangan di Asia”. Waktu itu, Indonesia memang menjadi bagian dari Gerakan Non Blok. Namun, operasi intelijen itu menjadi tengara bahwa Indonesia secara tak langsung dan diam-diam mendukung Amerika Serikat yang merupakan saingan Uni Sovyet.
Jadi, konteks Perang Dingin berlaku di sini. Uni Sovyet pada akhirnya memang gagal menduduki Afghanistan. Kegagalan itu tentu menjadi kabar gembira bagi Amerika Serikat.
Tak hanya membantu Afghanistan, Indonesia juga pernah mengirimi senjata AK-47 kepada Presiden Kamboja Lon Nol pada 1970-an. Bantuan itu dikirim dalam rangka memberantas kelompok komunis Khmer Merah di Kamboja. Korps Baret Merah Indonesia bahkan pernah memberi pelatihan pada tentara Kamboja untuk melawan kelompok komunis tersebut.
Baca juga : 13 Juli 2008, Battle of Wanat : Pertempuran dengan korban tentara Amerika terbanyak dalam perang Afganistan
https://www.youtube.com/watch?v=8EbskBHgZK0