ZONA PERANG (zonaperang.com) – Hari itu, pukul 06.00 WIT, 18 Mei 1958, sebuah pembom Douglas B-26 Invader buatan Amerika Serikat bercat hitam tidak beridentitas secara tiba-tiba membombardir Pangkalan Udara Pattimura, Ambon. Di balik kokpit, Lawrence Allen Pope cekatan menjatuhkan bom ke arah pesawat-pesawat yang terparkir di landasan.
Sesekali rentetan peluru 12,7 mm juga terdengar diselingi ledakan pesawat angkut C-47 Skytrain dan P-51 Mustang yang terkena tembakan. Asap pekat dari avtur yang terbakar lantas memenuhi salah satu markas Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) itu.
Di Pangkalan Udara Liang(Kota Liang,Maluku), seorang pilot AURI, Komodor Udara Ignatius Dewanto, menerima kabar tersebut dan segera terbang dengan P-51D Mustang ex-Belanda. Dengan senjata lengkap, pesawat tempurbaling-baling bermesin piston itu mengejar B-26 Invader yang mengincar kapal dagang Sawega yang mengangkut 1 batalion pasukan-kurang lebih 1.000 prajurit–di Pelabuhan Liang(Hunimua).
Mengikuti pesawat Allen Pope
Ignatius berhasil mengikuti pesawat Allen Pope yang baru saja menjatuhkan bom seberat 230 kilogram ke kapal Sawega, namun meleset. Saat jarak tembak sudah sangat dekat, Ignatius segera menembakkan roket ke arah pembom itu. Disaat yang bersamaan pasukan di kapal dagang yang menjadi sasaran Pope juga menembak B-26 nya, menggunakan apapun yang bisa ditembakan: mulai senjata genggam hingga senapan mesin berat.
Tembakan roket meleset, lalu disusul rentetan peluru 12,7 mm dan berhasil merusak sayap kanan B-26 Invader. Pembom itu terbakar dan menukir ke lautan, Allen Pope dan seorang desersi AURI, Jan Harry Rantung, yang menjadi operator radio Permesta bergegas melompat dengan parasut.
Allen Pope terdampar di Pulau Hatala di barat Ambon dengan kaki patah dan luka-luka. Sementara Harry terjatuh di laut. Mereka berdua ditangkap personel Angkatan Laut Indonesia yang sedang berpatroli.
Penangkapan Allen Pope mengungkap keterlibatan dinas inteligen Amerika Serikat atau CIA (Central Intelligence Agency) dalam operasi rahasia untuk mendukung pemberontakan Permesta–berpusat di Makassar, Sulawesi Selatan. Gerakan ini beranggotakan perwira militer setempat dan hendak menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno yang saat itu dianggap dekat dengan komunisme.
Baca Juga : Operation Wandering Soul : Operasi Militer Rahasia Amerika Menghancurkan Mental Tentara Komunis Vietnam
Baca juga : 13 April 1953, Program pengendalian pikiran Project MKUltra diluncurkan direktur CIA Allen Dulles
Awal Mula Bergabung
Pope adalah seorang penerbang Angkatan Udara Amerika Serikat dan bertugas selama Perang Korea. Ia mulai dilibatkan dalam misi penerbangan rahasia CIA pada Maret 1954 saat bergabung dengan Civil Air Transport (CAT); salah satu organisasi binaan CIA.
Pada April 1958, CAT mengirim Pope dari Saigon, Vietnam ke Pangkalan Udara Clark di Filipina. Ia bertugas menerbangkan B-26 Invader yang dicat hitam ke Indonesia dan mendarat di Pangkalan Udara Mapanget, Sulawesi Utara, yang dikuasai pemberontak.
“Saya suka membunuh komunis dengan cara apa pun yang bisa saya lakukan,” katanya seperti dikutip Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA (2008). Seperti yang dicatat harian Sin Po (28/12/1959), Pope mengaku terlibat 55 misi di Semenanjung Korea dan 65 kali di Dien Bien Phu (Vietnam). Semuanya melawan komunis.
“Saya menerbangkan B-26 dan tiba di Manado pada pukul 00.00 paginya,” kata Pope seperti dikutip Sin Po (03/01/1958). Pope melihat banyak orang Filipina dan orang kulit putih di Manado, yang diperkirakan adalah warga Amerika Serikat seperti Pope. Belum lama tiba, datang instruksi dari petinggi Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) Permesta, Petit Muharto dan Hadi Supandi, untuk misi pengintaian.
“Sore harinya saya mengadakan penerbangan patroli di Ambon. Lima belas menit terbang, saya mendapat perintah untuk membelokkan pesawat ke arah Kolonel Sumual yang berada di Laut Morotai,” aku Pope. Sesampainya di sana, ternyata Sumual dan rombongannya baik-baik saja.
Aksi-aksi Pope selanjutnya terjadi pada siang pukul 14.00 tanggal 29 April 1958(tanggal 28 April KRI Hang Tuah berhasil ditenggelamkan oleh rekan Pope: William H Beale Jr di Perairan Balikpapan). Dari kokpit pesawat B-26, Pope menyerang pangkalan Udara Wolter Monginsidi dengan bom dan tembakan senapan mesin.
Serangan kedua terjadi lebih dari seminggu kemudian, persisnya pada pukul 06.00, 7 Mei 1958. Atas nama Permesta, Pope menyerang Pangkalan Udara Pattimura di Ambon. Aksi ini berhasil merusak pesawat Dakota dan Mustang milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Serangan ketiga digencarkan keesokan harinya, 8 mei 1945, pukul 17.00. Pope kembali beraksi dengan pesawat pembom B-26, membombardir dan menembaki detasemen AURI di Kendari hingga menyebabkan kebakaran. Seminggu kemudian, 15 Mei pukul 05.30, Pope kembali beraksi, kali ini di sekitar Ambon, dengan sasaran kapal motor.
Sebanyak 17 personel TNI gugur. Enam lainnya luka-luka. Tiga hari kemudian, 18 Mei 1958, Pope dua kali beraksi. Pada pukul 06.00, dia membom sebuah pangkalan udara di Ambon. Setelah dua pesawat AURI rusak dan sebuah truk hancur, ia bergerak ke utara dan menyerang dua kapal pengangkut beserta lima kapal pelindungnya yang hendak menuju Morotai.
Tertembak jatuh di Pulau Tiga
Aksi-aksi inilah yang dituduhkan penuntut umum kepada Pope di pengadilan. Tapi akhirnya Pope nahas di Indonesia. Pesawatnya tertembak jatuh di Pulau Tiga. Ada perdebatan soal siapa sebetulnya penembak pesawat Pope, apakah artileri Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) atau pesawat Mustang AURI yang dipiloti Kapten Ignatius Dewanto.
Waspada (05/01/1959) menyebutkan Dewanto bersaksi bahwa dialah yang menembakkan roket dan peluru ke pesawat AUREV yang hendak mendekati konvoi kapal TNI pada 18 Mei 1958 itu. Setelah menembak pesawat AUREV, Dewanto dikabarkan kembali ke pangkalan udara Pattimura.
Saat itu Pope terbang bersama petugas radio mantan AURI, Sersan Mayor Jan Harry Rantung, yang segera terjun ke luar begitu pesawatnya tertembak. Setelah berenang ke pantai, ia menemukan Pope bergantung di pohon kelapa dengan kaki yang patah. Ia pun segera mengamankan Pope. Ketika hendak mencari air untuk minum, Rantung justru kepergok dua personil KKO (Marinir Indonesia) dan tertangkap.
Jadilah Pope pesakitan pada 28 Desember 1959. Ia masuk ke ruang sidang dengan celana coklat Panama Wool dan kemeja putih pendek. Bertindak sebagai Oditur atau penuntut adalah Mayor Prodjodarono dan Hakim Letnan Kolonel Udara Tituler Mr Sardjono, yang menegur Pope karena tingkahnya yang angkuh.
Menurut laporan Sin Po (28/12/1959), Ia menyilangkan kaki di atas lututnya ketika sidang berlangsung. Di mata Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Pope jelas sadar membantu Permesta.
“Ia memang pergi ke Manado untuk membantu Permesta yang sedang memberontak, ia melakukan perlawanan bersenjata (kepada) pemerintah Republik Indonesia sebagai pemerintah yang sah, yang menurut pengetahuannya adalah pemerintah yang komunis,” tulis Harian Rakjat (05/02/1960).
Sekedar informasi, Indonesia sedang gencar memusatkan kekuatan militernya di Indonesia Timur untuk merebut Irian Barat dari Belanda–dan berlanjut pada Operasi Trikora tahun 1960-an.
Alat Diplomasi
Saat ditangkap, Pope membawa dokumen-dokumen catatan misi terbang dan identitasnya sebagai pilot yang diperintah negaranya untuk membantu pemberontakan AUREV di Indonesia. Dokumen ini secara substansial bisa mempermalukan pemerintahan Eisenhower saat itu.
Dalam buku Membongkar Kegagalan CIA disebutkan, berita penangkapan Pope sampai ke Markas CIA di Amerika pada 18 Mei 1958 malam. Allen Dulles, Direktur CIA saat itu, langsung memerintahkan agen-agennya yang masih berada di Fipilina, Taiwan, dan Singapura untuk menghentikan seluruh aktivitas rahasianya dan pergi secara teratur.
Pada 29 April 1960, Pope dinyatakan bersalah dan dihukum mati atas pembunuhan 6 warga sipil dan 17 tentara Indonesia akibat misi pengembomannya. Eksekusinya tidak pernah dilakukan, ia menjadi ‘alat’ diplomasi Sukarno untuk tawar-menawar mendapatkan senjata dari Amerika Serikat.
Dibebaskan dan Ditukar Hercules
Sebelumnya, pada akhir 1959, Sukarno sudah bernegosiasi dengan Presiden Amerika John F. Kennedy soal pembebasan Pope. Kennedy yang tertarik juga menawarkan imbalan kepada Sukarno sebagai ‘pengganti’ Pope.
Saat itu, Sukarno sedang membangun kekuatan pesawat angkut AURI untuk Operasi Trikora. Alhasil, Indonesia diizinkan membeli 10 unit pesawat C-130 Hercules dan menjadi negara pertama yang mengoperasikan pesawat itu di luar Amerika Serikat.
Secara tidak langsung, Amerika Serikat harus membayar mahal dari pembebasan Pope karena juga mendukung Indonesia untuk merebut Irian Barat dari Belanda, yang tak lain merupakan sekutunya sendiri walaupun Amerika juga mendapatkan konsesi atas tambang emas di Papua(Free Port)
Dalam Angkasa Edisi Koleksi: Operasi Udara Trikora disebutkan, pengiriman unit Hercules–8 unit C-130B dan 2 unit KC-130 B tanker(walaupun saat itu belum ada pesawat tempur dalam inventaris AURI yang bisa melakukan pengisian bahan bakar di udara)-ke Indonesia dilakukan pada 18 Maret 1960. AURI baru menggunakan dua unit Hercules untuk Operasi Trikora pada Mei 1962.
John F. Kennedy
Februari 1962, Robert F. Kennedy yang saat itu menjabat sebagai penasihat kakaknya, John F. Kennedy, mengunjungi Sukarno untuk memperbaiki hubungan diplomasi dengan Indonesia–salah satunya membahas proses pembebasan Pope.
“Istri Pope juga(menghadap) ke Presiden. Dengan air mata ia meminta agar suaminya dibebaskan. Yah, Pope dibebaskan,” ujar Hasjim Ning dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986:214) yang disusun AA Navis.
“Setelah ia dihukum, saya sempat mengunjunginya di penjara di Yogya. Ia menyatakan bahwa ia akan dibebaskan berkat negosiasi pemerintah Amerika dengan Republik Indonesia, yakni ia akan ditukar dengan ratusan senjata untuk 20 batalion Tentara Nasional Indonesia dan enam pesawat angkut Hercules,” aku Priyatna Abdurrasyid, seperti dikutip Tempo (25/08/2008) Boediardjo, yang belakangan jadi Menteri Penerangan di awal Orde Baru, mengaku dapat tugas rahasia dari Presiden Sukarno.
Dengan sepengetahuan KSAU, ia menjemput Allen Pope dari Jakarta Timur. “Pope langsung saya bawa ke Bandara Kemayoran, dinaikkan ke pesawat terbang militer AS, dipulangkan ke negaranya.” Sebelum dibebaskan, Sukarno sempat berkata kepada Pope:
“Saya tidak ingin ada propaganda soal penangkapanmu. Pergi sekarang. Menghilanglah diam-diam. Jangan perlihatkan diri di depan umum. Jangan membagikan berita dan mengeluarkan pernyataan untuk surat kabar. Pulang saja, sembunyikan dirimu, dan kita akan melupakan semuanya,” pungkas Sukarno.
Baca juga : (Buku Karya Julius Pour) Soekarno Memarahi Brigjen Soepardjo Ketika PKI Kalah pada Tahun 1965
Baca juga : Apakah Sukarno juga bertanggung jawab untuk tragedi Romusha?