ZONA PERANG(zonaperang.com) Gerakan Aceh Merdeka atau GAM adalah gerakan merebut kembali dan mempertahankan kemerdekaan atau separatisme bersenjata yang ingin melepaskan diri dari negara kesatuan Indonesia/NKRI dari sisi kacamata Jakarta.
Geurakan Acèh Meurdèka berpendapat bahwa Aceh adalah negeri yang sudah berdaulat penuh jauh sebelum akhirnya dikuasai oleh penjajah Belanda dan akhirnya digabungkan bersama dengan wilayah-wilayah lain di nusantara yang berhasil terlebih dahulu dikolonialisai.
Ketimpangan pemerataan pembangunan yang berkeadilan juga dianggap sebagai faktor pemicu rasa ketidakpuasan rakyat yang telah banyak berkorban bagi kemerdekaan Indonesia.
Baca juga : 26 Maret 1873, Perang Atjeh : Hindia Belanda menyatakan perang terhadap negara berdaulat Aceh
Baca juga : 16 Juni 1948, Dakota RI-001 Seulawah : Dari Aceh untuk Republik Indonesia dan perampokan didalamnya
Hasan di Tirto
GAM dibentuk pada 4 Desember 1976 dan dipimpin oleh Hasan di Tirto (25 September 1925 – 3 Juni 2010) yang merupakan Wali Nanggroe Aceh ke-8. Hasan Tiro adalah keturunan ketiga pahlawan nasional Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman dan Teuku Umar bersama Cut Nyak Dhien.
Tahun 1946 bersama sejumlah rekan ia berangkat kuliah ke Yogyakarta. Jejaring nasionalis di Yogyakarta mendekatkannya dengan Wakil Perdana Menteri RI Syafruddin Prawiranegara. Hasan Tiro turut menemani Syafruddin Prawiranegara menyelinap ke Aceh untuk mempersiapkan pemerintahan darurat Indonesia setelah agresi militer Belanda II pada Desember 1948.
“Senjata itu perkara kecil bagi satu gerakan kemerdekaan. Jika kemerdekaan tidak jua dimiliki Aceh, maka bukan karena senjata tapi sebab orang Aceh tidak paham sejarah mereka” (Hasan Tiro, ca. 1986).
Menghapus Provinsi Aceh dari peta
Atas rekomendasi Syafruddin Prawiranegara, Hasan Tiro mendapat beasiswa belajar ke Columbia University, Amerika Serikat, pada tahun 1950. Di tahun yang sama hubungan Jakarta-Aceh mulai memburuk. Sukarno tiba-tiba menghapus Provinsi Aceh dari peta. Jabatan Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dibekukan.
Gelagat Sukarno itu dipandang oleh mayoritas orang Aceh sebagai pengkhinatan. Karena kecewa, Daud Beureueh dan pengikutnya menyeberang ke bawah komando DI/TII dan memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) pada September 1953.
Korespondensi Hasan Tiro di New York dengan Daud Beureueh di pergunungan Aceh berlanjut di tengah pergolakan DI/TII. Posisi Hasan Tiro di luar dianggap strategis untuk menyuplai logistik perang melawan Jakarta. Berkilo-kilo emas dan uang untuk membeli senjata dikirim kepada Hasan Tiro melalui Singapura (M. Hamzah, 2014). Murka Hasan Tiro terhadap Jakarta memuncak setelah menerima berita pembunuhan massal oleh “Tentara Pancasila”, istilah lokal untuk TNI, di kawasan Pulot dan Cot Jeumpa, Aceh Besar.
Peristiwa yang menewaskan 99 orang termasuk perempuan dan anak-anak di awal tahun 1955 itu menggerakkan Tiro berkampanye di PBB. Di sana ia berpidato tentang proyek genosida Indonesia di Aceh. DI/TII mengangkatnya sebagai menteri luar negeri sekaligus duta besar untuk PBB. Hasan Tiro menjadi suara sumbang bagi republik yang belum berdiri.
Menawarkan format federasi bagi Indonesia yang majemuk
Tahun 1958 dia menulis satu risalah berjudul Demokrasi untuk Indonesia, menawarkan format federasi bagi Indonesia yang majemuk. Menurutnya, jika negara kesatuan hanya satu-satunya pilihan bagi Indonesia, maka dominasi suku Jawa adalah keniscayaan. Aksi-aksi politik Hasan Tiro di luar negeri membuat Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo gerah dan membekukan paspornya.
Meski menyokong gerakan Darul Islam, dia sebenarnya memendam kekecewaan terhadap Daud Beureueh. Bagi Hasan Tiro, Daud Beureueh terlalu terpaku dengan gagasan Indonesia. Keputusan bergabung dengan DI/TII dinilainya sebagai kesalahan susulan Beureueh yang masih percaya Indonesia.
Setidaknya dua kali Hasan Tiro menyeru kepada Daud Beureueh untuk memproklamasikan kemerdekaan Aceh melalui gerakan mandiri yang tidak ada sangkut pautnya dengan Indonesia. Namun Daud Beureueh tidak mengindahkan ajakan tersebut. Menurutnya, kekeliruan tahun 1945 bergabung dengan Indonesia tidak kunjung ditebusnya. Meski kecewa, Hasan Tiro menunggu waktu yang tepat. Ia tidak ingin merebut (Tiro memakai kata “meuseunoh”) tampuk kepemimpinan Aceh dari Daud Beureueh.
Pemberontakan DI sendiri berakhir dengan perjanjian damai pada 1962/Ikrar Lamteh. Di bawah perjanjian tersebut, Aceh diberikan status daerah istimewa.
Baca juga : Pandangan Sejarawan Turki Soal Hubungan Ottoman(Kesultanan Utsmaniyah) dan Kerajaan di Nusantara
Gerakan Aceh Merdeka(GAM)
Saat tanggal 4 Desember 1976 itulah, inisiator Gerakan Aceh Merdeka, Hasan di Tiro dan beberapa pengikutnya mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap pemerintah RI yang dilangsungkan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie.
Di awal masa berdirinya GAM, nama resmi yang saat itu digunakan adalah AM, Aceh Merdeka. Pemerintah RI pada periode 1980-an sampai 1990-an menamai gerakan tersebut sebagai GPK-AM(Gerakan Pengacau Keamanan-Aceh Merdeka).
Akibat adanya perbedaan keinginan antara pemerintah RI dan GAM, konflik yang terjadi sejak 1976 hingga 2005 ini telah menjatuhkan korban lebih dari 15.000 jiwa.
Organisasi tersebut membubarkan diri setelah terjadi Perjanjian Damai 2005 dengan pemerintah Indonesia di Finlandia saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono(SBY). GAM/Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF) kemudian bersalin nama menjadi Komite Peralihan Aceh.
Perkembangan
1977
GAM pertama kali mengibarkan bendera perang dengan melakukan gerilya.
Namun, pemerintah pusat berhasil menetralisir kelompok tersebut. GAM mengalami kegagalan dalam perang gerilya.
1989
Pada 1989, GAM memperbarui aktivitasnya. GAM didukung oleh Libya dan Iran dengan mengerahkan sekitar 1.000 tentara.
Pelatihan yang diberi dari luar negeri ini berarti bahwa tentara GAM sudah jauh lebih tertata dan terlatih dengan baik. Melalui ancaman terbaru ini, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer Khusus(DOM).
“Jakarta berupaya dengan pelbagai cara untuk meredam GAM. Tawaran otonomi khusus, Syariat Islam, hingga meyakinkan rakyat bahwa GAM tak lebih dari kumpulan penjahat. Juga dengan rumor Hasan Tiro sudah wafat.”
Desa-desa yang diduga menampung para anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka diculik dan disiksa. Diyakini terdapat 7.000 pelanggaran hak asasi manusia terjadi selama DOM berlangsung.
1998
Tahun 1998, Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Presiden Jusuf Habibie.
Namun, pada 1999, kekerasan justru semakin meningkat. GAM memberontak terhadap pejabat pemerintah dan penduduk Jawa dan pendatang yang didukung oleh penyelundupan senjata besar-besaran dari Thailand oleh GAM.
“Dari corong-corong meunasah (surau) dan selebaran ke media, Biro menggalang dukungan rakyat Aceh dan masyarakat internasional. Terungkapnya sejumlah fakta kejahatan kemanusiaan selama operasi militer membuat GAM makin cepat memperoleh tempat di hati rakyat. Tahun 2000, nyaris semua orang Aceh ingin merdeka.”
Kemudian, memasuki tahun 2002, kekuatan militer dan polisi di Aceh juga berkembang menjadi kurang lebih sebanyak 30.000. Setahun kemudian, jumlahnya melonjak menjadi 50.000.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh GAM mengakibatkan beberapa ribu kematian warga sipil.
Untuk mengatasi GAM, pemerintah melancarkan serangan besar-besaran tahun 2003 di Aceh
“Namun nama Hasan Tiro punya tuah unik. Setiap kali diumumkan mati ia berbalik hidup dalam kepala orang Aceh. Layaknya seorang imam yang menghilang, mereka percaya dia akan pulang. Biro Penerangan mungkin sayap perjuangan GAM paling mengesankan dalam menghidupkan imajinasi tentang Wali, begitu orang gerakan menyebut Hasan Tiro.”
Penyelesaian
Pada 26 Desember 2004, bencana gempa bumi dan tsunami besar menimpa Aceh.
Kejadian ini memaksa para pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan atas inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional.
Selanjutnya, tanggal 27 Februari 2005, pihak GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Pada 17 Juli 2005, setelah berunding selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM di Vantta, Finlandia.
Penandatanganan kesepakatan damai dilangsungkan pada 15 Agustus 2005.
Kemudian, pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Dawood, menyatakan bahwa sayap militer Tentara Neugara Aceh (TNA) telah dibubarkan secara formal.
Baca juga : Marsose, KNIL dan Londo Ireng