ZONA PERANG(zonaperang.com)Pangeran Antasari adalah Pahlawan Nasional Indonesia, yang berasal dari Kalimantan Selatan. Ia berperan penting dalam perang Banjar melawan Belanda.
Beliau adalah Sultan Banjar yang tahun pada 14 Maret 1862, dia dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.
Perjuangan Pangeran Antasari
Mengutip dari buku Mengenal Pahlawan Indonesia, Pangeran Antasari merupakan sepupu Sultan Hidayatullah Khalilullah. Meski memiliki hubungan kekerabatan dengan Sultan Hidayatullah, sosok Pangeran Antasari sebelumnya tidak dikenal Belanda, karena tidak terlihat dalam lingkungan Istana Martapura, yang merupakan ibu kota Kesultanan Banjar.
Sebelumnya, pemimpin Kesultanan Banjar adalah Sultan Adam, yang telah melakukan hubungan diplomatik dengan Pemerintah Belanda. Ketika Sultan Adam wafat pada 1857 terjadi krisis suksesi kepemimpinan Kesultanan Banjar. Penyebabnya adalah, pihak Belanda menghendaki Tamdjid Illah sebagai penerus. Namun, hal ini bertentangan dengan wasiat Sultan Adam, yang menghendaki Pangeran Hidayatullah sebagai penerusnya.
Baca juga : Demang Lehman, Panglima dan Pahlawan Perang Banjar (1859-1905)
Pengangkatan secara sepihak
Campur tangan Belanda dalam Kesultanan Banjar semakin menguat. Terlihat dari pengangkatan Tamdjid Illah sebagai pemimpin, dengan gelar Sultan Tamjidillah. Pengangkatan secara sepihak ini menimbulkan pertentangan, karena berlawanan dengan norma yang berlaku di Istana Martapura dan wasiat Sultan Adam.
Oleh karena itu, rakyat Banjar mengadakan perlawanan yang dipimpin oleh Sultan Hidayatullah, yang merupakan pewaris sah Kesultanan Banjar. Setelah Sultan Hidayatullah ditangkap Belanda kemudian diasingkan ke Cianjur, Pangeran Antasari kemudian naik tahta menjadi pemimpin dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Di bawah kepemimpinan Pangeran Antasari, perlawanan Kesultanan Banjar berlanjut menjadi perang, yang dikenal dengan nama Perang Banjar, yang berlangsung sejak 1859 hingga 1905. Perang dimulai dari serangan Pangeran Antasari terhadap tambang batu bara milik Belanda di Pengaron pada 25 April 1859. Setelah itu, serangan terus dilakukan terhadap pos-pos Belanda yang tersebar di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, dan Tabalong.
Strategi gerilya
Merespons serangan ini, Belanda mengerahkan pasukan bantuan dari Batavia, yang dilengkapi dengan persenjataan modern. Serangan balasan dari Belanda ini membuat pasukan Pangeran Antasari semakin terdesak, hingga wilayah Muara Teweh. Di wilayah inilah, Pangeran Antasari membentuk pemerintahan darurat Kesultanan Banjar.
Mengutip Historia.id, segala cara telah dilakukan oleh Belanda untuk menaklukan Pangeran Antasari, namun gagal. Salah satu upaya yang pernah dilakukan adalah membujuk kerajaan-kerajaan di Kalimantan untuk membantu melawan Pangeran Antasari. Namun, upaya ini gagal, karena pasukan Pangeran Antasari tergolong mahir menerapkan taktik bertahan, serta selalu menjalankan strategi gerilya.
Tidak bisa ditaklukan oleh Belanda
Meski terdesak, hingga akhir hayatnya Pangeran Antasari tidak bisa ditaklukan oleh Belanda. Pangeran Antasari wafat pada 11 Oktober 1862, di usia 53 tahun karena terserang penyakit paru-paru dan cacar.
Perjuangan Pangeran Antasari kemudian dilanjutkan oleh anaknya, yaitu Sultan Muhammad Seman dan Pangeran Muhammad Said. Di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad Seman, rakyat Banjar terus melakukan perlawanan kepada Belanda. Perang Banjar secara resmi berakhir dengan gugurnya putra Pangeran Antasari, Sultan Muhammad Seman saat mempertahankan Benteng Baras Kuning dari serangan Belanda, pada 24 Januari 1905.
Baca juga : 18 Februari 2001, Tragedi Sampit : Kekerasan antar-etnis Dayak dan Madura pecah di Sampit, Kalimantan Tengah
Baca juga : 11 Januari 1942, Tarakan Kalimantan dan Kuala Lumpur Malaya Jatuh ke Tangan Jepang(Hari ini dalam Sejarah)