“Menteri Kabinet Dwikora dan tokoh papan atas PKI. Menjabat sebagai Pimpinan LEKRA, organisasi kebudayaan underbouw PKI. Pencipta jargon PKI yg bermuatan penghinaan terhadap agama khususnya Islam. Namanya Njoto/Nyoto”
ZONA PERANG(zonaperang.com) Partai Komunis Indonesia atau PKI adalah partai politik yang dibentuk pada 23 Mei 1914. Adapun beberapa tokoh Indonesia yang tergabung dalam PKI salah satunya adalah Lukman Njoto atau Njoto.
Wakil Ketua PKI yang Dipecat Akibat Perselingkuhan
Njoto dipercaya untuk menjadi wakil ketua Comite Central PKI(CC PKI) pada 1951, mendampingi Ketua PKI DN Aidit. Selain itu, Njoto juga diangkat oleh Presiden Soekarno (nama lahir : Koesno Sosrodihardjo) sebagai Menteri Negara di Kabinet Dwikora, yang bertanggung jawab untuk mengawasi reformasi tanah pada 1964.
Baca juga : Presiden Sukarno Cocok dengan Tokoh PKI Nyoto
Baca juga : Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) : Sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua
Masa muda
Njoto atau yang bernama lengkap Lukman Njoto lahir di Jember, Jawa Timur, pada 17 Januari 1925.
Njoto tumbuh di dalam keluarga yang cukup kuat dalam bidang politik. Ayahnya, Rustandar Sosrohartono, disebut-sebut adalah anggota PKI. Sebelum Njoto dan keluarganya pindah ke Jember pada 1925, Rustandar sudah aktif di PKI Surakarta(Solo) sejak 1920-an.
Sejak kecil, Njoto sudah dikenal sebagai anak yang cerdas. Kecerdasannya dapat dilihat dari tulisan-tulisan Njoto selalu dijadikan contoh oleh guru di sekolahnya.
Njoto mengenyam pendidikan pertamanya di Hollands Inlandsche School /HIS(Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda yang disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri) di Jember dan tinggal bersama kakek serta neneknya di Kampung Tempean, Jember, Jawa Timur. Setelah lulus, Njoto melanjutkan sekolahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs /MULO(Sekolah Menengah Pertama) di Jember.
Namun, pendidikan Njoto harus terhenti setelah Jepang membubarkan sekolahnya pada 1942, bersamaan dengan kolonialisme Jepang ke Indonesia.
Kiprah dan Kehidupan Keluarga
Ketika Njoto berusia 17 tahun, dia tergabung sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Berawal dari organisasi tersebut, kiprah Njoto dalam bidang politik terus mengalami perkembangan.
Berbagai jabatan dia sandang mulai dari DPRD, menteri, hingga lembaga kebudayaan. Di tengah kesibukannya, Njoto menikah dengan seorang putri bangsawan Keraton Solo – Pura Mangkunegaran bernama Raden Ayu Soetarni. Pernikahan keduanya dikaruniai tujuh orang anak. Awalnya, pernikahan Njoto dan Soetarni berjalan sangat harmonis.
Selingkuh
Pria berkacamata tebal ini terdengar selingkuh saat menghadiri kunjungan kerja partai ke Uni Soviet pada tahun 1963-1964. Saat itu Njoto jatuh cinta pada Rita pendamping pribadinya di sana yang berasal dari Mahasiswi sastra Indonesia di negara tirai besi itu.
“Njoto pun pernah mengungkapkan latar belakang perselingkuhannya itu dengan mengatakan, memang istriku lebih cantik dari Rita, tapi Agen KGB ini lebih intelektual dari ibu anak-anakku”
Berita ini sampai pada telinga sang istri Soetarni. Ibu enam anak ini lantas mengadukan perilaku menyimpang suaminya pada Ketua C.C. PKI, D.N. Aidit. Tak lama dari laporan itu sampai ke Aidit, Njoto kemudian dipecat dari kepengurusan resmi PKI. Saat itu status berubah menjadi Mantan Wakil Ketua PKI. Aidit melucuti seluruh atribut jabatan Njoto akibat persoalan itu.
“KGB/ Komitet gosudarstvennoy bezopasnosti atau Komite Keamanan Negara adalah badan keamanan utama Uni Soviet dari 13 Maret 1954 hingga 3 Desember 1991.”
Baca juga : Ketua PKI sebut Indonesia salah urus gara-gara presiden banyak kawin
Baca juga : Sukarno lebih percaya PKI yang memfitnah pimpinan TNI AD, Letjen Ahmad Yani geram
Bergabung dengan PKI
Selama bergabung dalam KNIP di Yogyakarta, Njoto tinggal di Hotel Merdeka, kawasan Malioboro. Di kota inilah Njoto bertemu dengan Dipa Nusantara Aidit(lahir Ahmad Aidit) dan MH Lukman(Muhammad Hatta Lukman) satu tahun setelahnya.
Hubungan Aidit, Lukman, Peris Pardede dan Njoto kemudian semakin dekat setelah keduanya bersama-sama menghidupkan majalah Bintang Merah(menyebut dirinya sendiri sebagai majalah politik dan teori Marxis-Leninis) di Jakarta tahun 1945.
Sejak saat itu, Njoto, Lukman, dan Aidit bersama-sama berkiprah dalam PKI. Ketiganya sering disebut sebagai Tiga Serangkai atau Three Musketeers(novel karangan Alexandre Dumas).
Penterjemah dan Peristiwa PKI Madiun 1948
Njoto dan Aidit kemudian masuk Komisi Penerjemah PKI pada awal 1948. Tugasnya adalah menerjemahkan Manifes Partai Komunis Indonesia karya orang Jerman Karl Marx/Karl Heinrich Marx dan Friedrich Engels seperti The Communist Manifesto, The Origin of the Family, Private Property and the State serta 4 volume Das Kapital .
“Bahasa Belanda mirip dengan bahasa Jerman karena keduanya adalah bahasa berkerabat, termasuk rumpun bahasa Jermanik Barat. Bahasa ini termasuk Inggris memiliki banyak kemiripan kosakata.”
Lebih lanjut, Aidit dan Njoto juga secara bersamaan menjadi anggota Commitee Central PKI pada Agustus 1949. Aidit bertugas mengurus agraria, sedangkan Njoto bertugas menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.
“Bahkan pada saat pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948-1949, Njoto merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil lolos dari kejaran militer saat itu. Karena lolosnya Njoto dari kejaran militer pasca peristiwa Madiun 1948, pemuda revolusioner ini muncul kembali di ranah politik Indonesia pada tahun 1950-an.”
Sewaktu Peristiwa PKI Madiun 1948 terjadi, Aidit dan Njoto secara diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Kondisi PKI yang kala itu karut-marut membuat Aidit dan Njoto lebih aktif dalam bidang jurnalistik. Njoto berusaha melawan para pesaing politiknya lewat Harian Rakyat(koran politik terbesar dan koran resmi partai) dan Bintang Merah sejak 1951.
Baca juga : (Buku Karya Julius Pour) Soekarno Memarahi Brigjen Soepardjo Ketika PKI Kalah pada Tahun 1965
Baca juga : Raden Mas Hadji Oemar Said Tjokroaminoto : Raja Jawa Tanpa Mahkota
Diangkat sebagai wakil ketua PKI yang bertanggung jawab untuk hasutan dan propaganda
Pada Oktober 1953, setelah Komite Sentral mengadakan pertemuan, Aidit dan Njoto diangkat sebagai petinggi PKI. DN Aidit menjadi Ketua PKI dan Njoto menjadi wakil ketuanya. Selama menjabat sebagai wakil ketua, dia bertanggung jawab atas agitasi dan propaganda.
“PKI berhasil menjadi partai terbesar keempat setelah PNI, NU, dan Masyumi. Capaian ini membuat nama Njoto berkibar dalam bendera PKI.”
Setelah itu, pada Agustus 1960, Aidit dan Njoto ditunjuk sebagai wakil PKI di Front Nasional/Orde Lama(dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 13 Tahun 1959).
Dua tahun berselang, pada 1962, Presiden Soekarno mengangkat Njoto sebagai Menteri Negara di Kabinet Dwikora, yang bertanggung jawab untuk pengawasan reformasi tanah. Dengan demikian, Njoto merangkap jabatan sebagai wakil ketua PKI dan Menteri Negara.
Kiprah Njoto di PKI pun terus berlanjut. Antara tahun 1963 dan 1964, Njoto beberapa kali berkunjung ke Uni Soviet untuk menjalin hubungan baik antara PKI dengan Partai Komunis Uni Soviet.
Di dalam kunjungan tersebut, Njoto didampingi oleh Rita, seorang mahasiswi sastra Rusia di Moskwa. Perempuan inilah yang menjadi sebab dicopotnya jabatan Nyoto, setidaknya di hadapan publik.
Baca juga : Wajah-wajah pembunuh para jendral Pahlawan Revolusi (Pemberontakan G30S PKI)
Njoto dan Lekra
Lekra singkatan dari Lembaga Kesenian Rakyat, sebuah organisasi kebudayaan yg sukses mendulang massa untuk PKI. Melalui pertunjukan seni, Lekra menyebarkan doktrin komunisme kepada masyarakat, terutama kalangan buruh dan tani di pedesaan yang tertinggal secara ekonomi serta pendidikan.
“Njoto tercatat sebagai pelopor pendirian Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra) dan dipilih PKI menjadi salah satu kandidat penting dalam politik praktis PKI dalam Pemilihan Umum 1955.”
Lekra merupakan pabrik jargon serta propaganda PKI, dimana para seniman yg direkrut oleh Lekra ditempa menjadi seniman pembuat narasi provokatif. Produk-produk Lekra biasanya kental dengan nuansa konfrontatif terhadap lawan politik PKI.
Mengolok-olok Tuhan dan menistakan kitab suci
Njoto yg merupakan kader PKI tulen merupakan orang yg paling bertanggungjawab atas lahirnya propaganda jahat PKI. Propaganda yg sering disebarluaskan ke masyarakat biasanya bermuatan kata-kata yang mengolok-olok Tuhan. Menghina agama, menistakan kitab suci adalah budaya khas Lekra.
Tujuan dari penyebaran propaganda penghinaan terhadap agama adalah menjauhkan masyarakat dari nillai-nilai agama, sehingga bisa lebih mudah untuk dijadikan komoditas politik PKI. Menanamkan kebencian di hati masyarakat terhadap ulama yg dianggap sebagai penghalang cita-cita PKI.
Represifitas Lekra terhadap agama sering kali mendorong kader dan simpatisan PKI melakukan serangan fisik terhadap Ulama, santri serta pondok pesantren.
“Malaikat Kawin”
Njoto juga membidani pertunjukan sandiwara dan ludruk yg bertemakan olok-olok terhadap agama. Baik skenario, lakon serta plot dirancang oleh para seniman Lekra atas arahan Njoto.
Pada Juli 1965. Sebuah pertunjukkan ludruk di rumah kader PKI di Dampit, Kabupaten Malang menyulut kemarahan pemuda Banser NU. Ludruk yang mengambil lakon cerita “Malaikat Kawin”, memaksa sejumlah anggota Banser meloncat ke atas panggung dan mengobrak-abriknya.
Begitu juga di Desa Krenceng, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar. Pada tanggal 14 Oktober 1964, pentas ludruk Lekra yang mementaskan lakon “Lahire Gusti”/Lahirnya Tuhan, terpaksa digagalkan pemuda Ansor yang marah.
Matinya Tuhan
Atas arahan Njoto, Lekra juga menggelar pertunjukan ludruk yang judulnya tidak tanggung-tanggung ‘Matine Gusti Allah’. Ini terjadi di desa Nggronggo, Kediri, Jawa Timur pada tahun 1964.
Pentas serupa terus bergulir di berbagai kota di Indonesia meskipun mendapat penolakan dari umat Islam. Njoto juga yg mendorong para anggota Lekra untuk membuat dan menyebarluaskan jargon-jargon bermuatan hate speech terhadap ulama dan lawan politiknya.
Terlebih lagi jelang G30S/PKI, setelah mendapat restu dukungan dari Subandrio selaku ketua Badan Pusat Intelijen (BPI) yang juga Menteri Luar Negeri dan Wakil Perdana Menteri Pertama Indonesia, Njoto semakin gencar melakukan agitasinya. Bahkan Njoto pula yg menginisiasi serangan fisik terhadap tokoh ulama serta lawan politiknya.
Baca juga : 5 Maret 1960: Presiden Sukarno Bubarkan DPR Hasil Pemilu Pertama yang demokratis
Baca juga : Tiga Pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno Pasca Pemberontakan G30S/PKI
Cerita rekayasa ketidakharmonisan hubungan antara Njoto dan DN Aidit
Meskipun banyak literatur yg mengisahkan ketidakharmonisan hubungan antara Njoto dan DN Aidit jelang G30S/PKI, namun mustahil rasanya jika selaku orang nomor 2 di PKI tersebut tidak dilibatkan dalam rencana besar kudeta G30S/PKI.
Seperti diketahui bahwa dalam aksi kudeta G30S, PKI mengerahkan seluruh potensi yg ada termasuk kader dan simpatisannya di daerah-daerah. Maka sangat mustahil jika Nyoto selaku pengurus pusat PKI disebut tidak dilibatkan oleh Aidit dalam menyusun skenario G30S/PKI.
Dan dalam pengakuan Sudisman maupun MH Lukman di persidangan Mahmilub menegaskan bahwa Njoto hadir dalam rapat-rapat Politbiro PKI yg membahas rencana G30S/PKI. Bahkan Njoto pula yg ikut menyusun daftar nama-nama tokoh yg menjadi Sasaran G30S/PKI di Jakarta dan daerah-daerah.
Pemecatan Njoto dari struktur kepengurusan total PKI terbantahkan
Kepergian Njoto bersama Aidit di bulan Juli 1965 dalam rangka menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Partai Komunis, kontan menganulir isu renggangnya hubungan antara Aidit dan Njoto, apalagi isu yang mengatakan pemecatan Njoto dari struktur kepengurusan total PKI, otomatis terbantahkan.
Bukti lain yg menguatkan keterlibatan Njoto dalam kudeta G30S/PKI adalah perjalanan Njoto bersama Subandrio ke Medan pada tanggal 28 September 1965 dalam rangka pembentukan Dewan Revolusi Daerah Sumatera.
Baca juga : Peristiwa 17 Oktober 1952 : Ketika “moncong” meriam mengarah ke Istana Merdeka
Baca juga : (Kebiadaban PKI) Kesaksian Anak-anak Pahlawan Revolusi yang Ayahnya Dibantai PKI
Mengobarkan aksi perlawanan bersenjata kaum Komunis
Njoto kembali ke Jakarta pada tanggal 2 Oktober 1965, dia langsung mengajak anak dan istrinya untuk bersembunyi di rumah salah satu kader PKI di daerah Kebayoran. Tanggal 5 Oktober 1965, Njoto bersama tokoh PKI lainnya termasuk MH Lukman menggelar rapat tanpa dihadiri Aidit.
Aidit berhalangan hadir karena sudah melarikan diri ke Jateng. Dalam kurun waktu antara 6 Oktober 1965 hingga 11 Maret 1966 Njoto terus menggelar rapat konsolidasi PKI guna mengobarkan aksi perlawanan bersenjata kaum Komunis di daerah-daerah.
Akhir hidup
Ketika G30S PKI terjadi, Njoto menjadi salah satu orang yang dituduh terlibat dalam peristiwa tragis tersebut tetapi Njoto dengan tegas membantah keterlibatan dirinya atau PKI dengan mengatakan bahwa PKI tidak bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Satu tahun berselang, pada 11 Maret 1966, sekembalinya dari sidang kabinet, Njoto diculik oleh segerombolan orang(tim khusus angkatan darat). Dia kemudian dieksekusi di salah satu tempat di Kepulauan Seribu Jakarta dengan peluru kaliber 7,62 mm.
Baca juga : Pembantaian Etnis Melayu 1946: Kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Timur
Baca juga : Film Pengkhianatan G30S/PKI : Waktu terkelam bagi bangsa Indonesia