RRC masa Xi Jinping coba satukan etnis Cina di seluruh dunia
ZONA PERANG(zonaperang.com) Kebijakan terkini Republik Rakyat Cina (RRC) dinilai mengganggu kohesi/keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya antar warga negara Indonesia. Mengancam munculnya kembali anggapan bahwa etnis Cina di Indonesia memiliki kesetiaan ganda terhadap Tanah Air dan Cina Daratan.
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto yang juga dosen di UPH/Universitas Pelita Harapan Program Studi Ilmu Komunikasi mengungkap kekhawatiran atas kebijakan Presiden Cina Xi Jinping yang mulai merangkul etnik Cina di perantauan. Johanes mengamati kebijakan Presiden Xi Jinping terhadap orang-orang Cina seberang lautan (Chinese Overseas) jauh berbeda dari kebijakan para pemimpin Cina sebelumnya.
Baca juga : (Melawan Lupa)Pao An Tui, Sisi Kelam Masyarakat Cina pendukung Belanda di Indonesia
Baca juga : Mengapa Chiang Kai-shek yang nasionalis kehilangan Cina? dan kemenangan berada di partai komunis?
Perbedaan yang semakin kabur
Pada masa lalu terdapat pembedaan antara orang-orang Cina yang disebut huaqiao (warga negara Cina yang tinggal di perantauan) dan mereka yang disebut sebagai huaren (etnik Han Cina/etnis mayoritas di Cina) serta huayi (keturunan Cina). Dua yang disebut belakangan merujuk pada orang-orang Cina yang tidak berkewarganegaraan Cina. Tapi pada era Xi Jinping, pembedaan tersebut menjadi kabur.
“Xi Jinping sendiri maupun para pejabat tinggi di bawah kepemimpinannya seringkali menggunakan istilah-istilah yang menegaskan kembali hubungan antara negara Cina dan orang-orang Cina yang tersebar di seluruh dunia, tanpa memandang apapun kewarganegaraan mereka,” kata Johanes dalam keterangan yang diterima Republika, Senin (27/2).
Padahal saat masih berada di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping(Desember 1978 hingga November 1989), RRC telah secara tegas melepaskan pengakuannya atas orang Cina Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Pengakuan tersebut tertuang dalam undang-undang kewarganegaraan yang diterbitkan pada tahun 1980.
“Impian Cina” (China Dream)
Johanes menganalisa perubahan kebijakan terkait orang-orang Cina di luar Cina terlihat jelas tak lama setelah Xi dikukuhkan sebagai pemimpin tertinggi RRC untuk pertama kalinya melalui konsep “Impian Cina” (China Dream) yang bertujuan pada peremajaan kembali bangsa Cina.
“Dalam upaya peremajaan kembali bangsa Cina inilah Xi mempopulerkan konsep ‘satu keluarga besar Cina’ (Zhonghua da jiating), yang merujuk pada seluruh orang-orang Cina tak peduli apapun status kewarganegaraan mereka,” ucap Johanes.
Xi Jinping juga menggunakan istilah ‘saudara sebangsa dari seberang lautan’ (haiwai qiaobao) untuk merujuk etnik Cina di berbagai belahan dunia. Johanes mensinyalir pernyataan yang seolah menegaskan kembali hubungan antara negara Cina dan etnik Cina di luar Cina dapat menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah dan elit politik di negara tempat orang-orang Cina tersebut tinggal.
Johanes mengatakan pernyataan-pernyataan yang seolah menegaskan kembali hubungan antara negara Cina dan etnik Cina di luar Cina dapat menimbulkan kekhawatiran. Namun menurutnya, kekhawatiran itu bukanlah tanpa jalan keluar.
“Dalam kasus Indonesia, makin kuatnya akar kebangsaan Indonesia di kalangan seluruh etnik Cina kiranya dapat menjadi sebuah penangkal yang jitu baik terhadap kecurigaan yang muncul di kalangan non- Cina,” ucap Johanes.
Baca juga : 15 Desember 1978, Amerika Serikat mengumumkan akan mengakui Cina komunis
Baca juga : Singapura : Negeri melayu yang “hilang”, sebuah pelajaran dan ancaman demografi yang sangat menghantui
Laksamana Cheng Ho
Sementara itu, Co-founder Roemah Bhineka, Michael Andrew yang juga Anggota Jaringan GUSDURian Jawa Timur, guru sekolah menengah dan pendukung setia Basuki Tjahaja Purnama/Ahok saat kompetisi pemilihan gubernur Jakarta berpandangan dalam kasus di Indonesia, etnik Cina telah mengalami berbagai peristiwa kontekstualisasi sehingga memiliki nasionalisme keindonesiaan yang mengakar. Apalagi Cina Indonesia menurutnya sudah berpisah sangat lama dengan Cina dan masyarakatnya. “Sehingga memiliki kebudayaan yang saling berbeda,” ujar Michael.
Etnis Cina diketahui sudah sejak lama berdiam di tanah Air. Para pencatat sejarah yang tergabung dalam armada Laksamana Cheng Ho pada abad ke-14 telah merekam keberadaan mereka di wilayah pesisir Jawa.
Jan Pieterszoon Coen
Wartawan Republika Alwi Shahab menuliskan, ketika menaklukkan Jayakarta pada 30 Mei 1619, Gubernur Jenderal JP Coen mengusir penduduknya yang kemudian hijrah ke Jatinegara Kaum di Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Untuk mengisi kekosongan Kota Batavia yang baru dibentuknya, ia mendatangkan warga Cina dari Banten, tempat yang ia pernah datangi pada 1611 di masa Gubernur Jenderal Pieter Both, yang saat itu berkedudukan di Maluku.
Di Banten, JP Coen berkenalan dengan Souw Beng Kong, saudagar besar yang memiliki perkebunan lada yang luas dan sekaligus orang yang berpengaruh. Atas bujukannya, Souw Beng Kong beserta sejumlah masyarakat Cina meninggalkan Banten menuju Batavia.
Kala itu, orang Cina sudah banyak berdatangan ke Batavia dan mereka tinggal di perkampungan dekat muara Ciliwung. Berkat pimpinan Souw, jumlah penduduk Cina di Batavia melonjak dari 400 orang menjadi 1.000 orang pada akhir 1622.
Baca juga : (Buku) Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi-antara Sukarno-Aidit-Mao Tse Tung (Cina)
Baca juga : Sejarah Panjang Sunan Kuning Semarang: Raja Jawa-Tionghoa Penentang VOC
Hirarki status
JP Coen telah mengangkatnya sebagai kapiten Cina. Dia memiliki seorang sekretaris bernama Gouw Tjay yang beragama Islam. Pada 1625, ia mendirikan sebuah masjid di Kampung Bebek, Angke, yang hingga 1965 masih berdiri. Itu membuktikan sejak dulu sudah berdatangan orang Cina yang beragama Islam.
Pemerintah kolonial Belanda kala itu juga menjauhkan penduduk “pribumi” dengan keturunan Cina dan Arab melalui hirarki status. Setelah kemerdekaan, hirarki ini kemudian dileburkan. Kendati demikian, sentimen lama masih kerap muncul.
Peristiwa G30S/PKI pada 1965
Selepas peristiwa G30S/PKI pada 1965, misalnya, etnis Cina kerap diasosiasikan dengan RRC yang dituding ikut mendalangi pemberontakan komunis. Hal ini membuat pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto melarang pertunjukan kebudayaan Cina. Penggunaan nama-nama Cina juga kemudian tak dianjurkan.
Bagaimanapun, penguasaan ekonomi etnis Cina tetap lestari pada masa Orde Baru. Saat terjadi krisis ekonomi pada 1997, hal itu jadi salah satu faktor yang digunakan memprovokasi warga untuk melakukan kekerasan rasial terhadap etnis Cina di berbagai daerah.
Selepas Reformasi pada 1998, Presiden KH Abdurrahman Wahid memulihkan ekspresi kebudayaan Cina. Perayan Tahun Baru Imlek kembali menjadi hari libur nasional. Terbukti pada tahun-tahun setelah Reformasi, peleburan etnis Cina masih terus jadi hal yang harus dijaga.
https://www.republika.id/posts/38027/bahaya-kebijakan-xi-jinping-rangkul-tionghoa-perantauan
Baca juga : 13 Mei 1969, Kerusuhan besar antara suku Cina dan Melayu di Malaysia
Baca juga : 21 Oktober 1950, Tentara Komunis Cina Menginvasi dan Menganeksasi Negara Merdeka Tibet