ZONA PERANG (zonaperang.com) – KH Noer Alie merupakan salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang ditakuti penjajah. Lahir di Babelan, Kabupaten Bekasi, pada tahun 1914.
Wawasan keislamannya tidak perlu diragukan, karena ia melanglang buana belajar kepada para ulama besar di Tanah Air hingga di Tanah Suci Makkah.
Belajar Dari Banyak Guru
Saat usia 8 tahun, KH Noer Alie telah belajar mengeja dan membaca bahasa Arab, mengaji dan menghafal surah-surah dalam Al-Quran kepada Guru Maksum di Kampung Bulak.
Baca Juga : Ahmad Lussy alias Mat Lussy(Kapitan Pattimura), Pahlawan Muslim dari Maluku
Memasuki usia dewasa, KH Noer Alie terus memperdalam ilmu agama ke Guru Mughni di Ujung Malang yang saat ini bernama Ujung Harapan.
Saat masa pendidikan memperdalam wawasan keislaman itulah KH Noer Alie beranggapan kondisi kehidupan bangsa dan masyarakatnya, terjadi ketimpangan antara ilmu keislaman diperolehnya dengan realita.
Adanya kesewenangan tuan tanah ke warga pribumi, kekejian aparat kolonial kala itu, ketidakadilan, maksiat dan lainnya. Semangat cinta Tanah Air berkembang dalam jiwa sang kiai.
Baca Juga : Laksamana Malahayati (Keumalahayati), Pahlawan Perempuan Penumpas Cornelis de Houtman
KH Noer Alie juga tercatat mengenyam pendidikan pesantren kepada Guru KH Marzuki.
Saat di pesantren inilah KH Noer Alie mulai mahir menggunakan senapan, sebab hobinya memburu bajing saat senggang.
Tahun 1934 KH Noer Alie berangkat ke Makkah untuk kembali meneruskan pencarian ilmu keislaman. KH Noer Alie berangkat ke Makkah dengan uang pinjaman.
Baca Juga : Demang Lehman, Panglima dan Pahlawan Perang Banjar (1859-1905)
Selama belajar pengetahuan keislaman di Makkah, KH Noer Alie banyak berguru kepada para Syaikh. Namun sesuai nasehat gurunya, KH Marzuki, agar mengutamakan belajar kepada Syaikh Ali Al Maliki sampai akhirnya KH Noer Alie jadi santri kesayangan Syaikh Ali Al Maliki.
Di Makkah, KH Noer Alie tetap mencari informasi soal kondisi Indonesia dan dunia. Informasi tentang Indonesia diperoleh KH Noer Alie dari surat orang tuanya serta koran-koran di Arab Saudi.
Berjuang Untuk Tanah Airnya
Hati dan semangat KH Noer Alie bergolak. Ia ingin ikut berkontribusi memerdekakan Tanah Airnya.
Baca Juga : Sukarno lebih percaya PKI yang memfitnah pimpinan TNI AD, Letjen Ahmad Yani geram
Kemudian KH Noer Alie bersama rekan lainnya dari Indonesia di Makkah membentuk organisasi Persatuan Pelajar Betawi (PPB). Tahun 1939 KH Noer Alie pulang ke Indonesia dan tahun 1940, KH Noer Alie mendirikan pondok pesantren.
Kedatangan KH Noer Alie kembali ke Tanah Air merisaukan para tuan tanah dan pemerintah kolonial. Sebab seluruh warga dengan sukarela memberikan tanahnya untuk pembangunan akses jalan di Ujung Malang, Teluk Pucung dan Pondok Ungu.
Baca Juga : 4 Juli 1187 M, Kemenangan Shalahuddin Al Ayyubi di medan Hittin
Hal yang membuat tuan tanah kehilangan perilaku jahatnya sebab selama ini kerap membeli tanah dengan harga yang merugikan warga.
Tahun 1942, nama KH Noer Alie masuk dalam daftar ulama yang harus bekerja sama dengan penjajah Jepang.
Di tahun yang sama, penjajah Jepang memintanya agar bersedia bekerja sama dengan Jepang melalui rekan sejawat KH Noer Alie asal Thailand saat menjadi santri di Makkah. KH Noer Alie dengan tegas menolaknya.
Baca Juga : 17 Oktober 1968, Usman dan Harum Marinir Indonesia digantung di Singapura (Hari ini dalam Sejarah)
Pada masa perebutan kemerdekaan, KH Noer Alie mempersiapkan santrinya untuk masuk ke latihan kemiliteran yang dibentuk Jepang. Ada juga yang disalurkan ke Pasukan Pembela Tanah Air agar ikut berperang di medan tempur.
KH Noer Alie bukan hanya berdiam diri sebagai ulama. Ia adalah “singa” medan perang. KH Noer Alie memimpin laskar-laskar rakyat untuk bertempur merebut kemerdekaan. KH Noer Alie bahkan pernah menjadi Komandan Bataliyon Tentara Hizbullah Bekasi.
Sejarah mencatat, tahun 1947 KH Noer Alie terlibat pada pertempuran sengit di Karawang-Bekasi dengan tentara penjajah Belanda.
KH Noer Alie kala itu memerintahkan warga dan pasukannya untuk membuat bendera merah putih ukuran kecil lalu dipasang di setiap pohon dan tiang. Tujuannya untuk mempertegas bahwa Indonesia masih ada dan siap mempertahankan kemerdekaannya.