ZONA PERANG(zonaperang.com) Ketika organisasi komunis pertama di Indonesia bernama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging /ISDV lahir oleh Henk Sneevliet, Alimin atau Alimin bin Prawirodirdjo bergabung di dalamnya. Belakangan organisasi itu berubah bentuk menjadi Partai Komunis Indonesia, sebuah partai komunis terbesar diluar Soviet dan Cina. Dia menjadi ketua wilayah Batavia sejak tahun 1918.
“Termasuk Anggota Sarekat Islam Merah dan menjadi anggota Partai Komunis Soviet uni (Bolshevik) di tahun 1925”
Menurut Robert Cribb dalam “Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949” (2010), Alimin yang bergerak di Pelabuhan Tanjung Priok (Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan) juga berhubungan dengan jawara Banten. PKI wilayah Jakarta dengan sadar merekrut para jawara itu dalam pergerakan.
Sikap militansi dan solidaritas kaum jagoan dari dunia hitam itu memberi perlindungan bagi PKI dari gangguan penjahat lain yang disewa oleh penguasa kolonial maupun kaum kapitalis industri sekitar Batavia atau Jakarta saat ini.
Baca juga : Lukman Njoto, Wakil ketua PKI : Dalang dibalik hasutan dan Propaganda kontroversial Partai Komunis Indonesia
Baca juga : Mengapa Chiang Kai-shek yang nasionalis kehilangan Cina? dan kemenangan berada di partai komunis?
Menyiapkan pemberontakan PKI 1926
Pada awal 1926, sebagai unsur pimpinan PKI Alimin pergi ke Singapura untuk berunding dengan Tan Malaka/ Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka dalam rangka menyiapkan pemberontakan di Hindia Belanda. Tapi sebelum Alimin pulang, pemberontakan sudah meletus 12 November 1926. Alimin dan Musso/Muso Manowar ditangkap oleh polisi Inggris atas permintaan Amsterdam.
Setelah ia keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskwa dan bergabung dengan Komintern / organisasi komunis revolusioner internasional yang anggotanya adalah perhimpunan partai-partai komunis dari seluruh dunia.
Alimin tidak lama di sana karena bertemu dengan seorang Marxis-Leninis Vietnam Ho Chi Minh/Nguyễn Sinh Cung dan diajak ke Guangzhou Cina. Pada saat itu ia terlibat secara ilegal untuk mendidik kader-kader komunis di Vietnam, Laos, dan Kamboja untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan dari tangan Prancis.
Bergabung kembali di PKI dan menjadi dewan perwakilan era Sukarno
Ketika Jepang melakukan pendudukan terhadap Cina, Alimin pergi ke daerah basis perlawanan di Yenan dan bergabung bersama tentara merah di sana. Ia pulang ke Indonesia pada tahun 1945 secara ilegal, setelah Republik Indonesia berhasil diproklamasikan. Dia kembali bergabung kembali dengan PKI, sebagai tokoh senior. Sempat menjadi anggota konstituante/dewan perwakilan pada era Orde Lama pimpinan Sukarno/Kusno periode 1955-1959.
Ketika D.N. Aidit mendirikan kembali PKI secara legal pada awal tahun 1950-an dan kemudian menjadi Ketua Komite Sentral, Alimin termasuk tokoh komunis yang tidak diberikan kursi. Namun Alimin masih banyak didatangi oleh para pengikut komunisnya sampai dengan saat meninggalnya pada tahun 1964.
Harian Rakyat, organ PKI, dalam berita kematian Alimin memuji jasa-jasanya dalam mendirikan PKI pasca Perang Dunia II dan perannya selama tahun 1950-an.
Baca juga : Penggunaan identitas agama oleh PKI : Meletusnya Pemberontakan Kaoem Merah 1926
Baca juga : Amir Sjarifoeddin, Tokoh komunis peristiwa Pemberontakan Madiun 1948
Gelar Pahlawan Nasional yang kontroversial
Menurut sejarawan Klaus H. Schreiner dalam “Penciptaan Pahlawan-pahlawan Nasional,” Sukarno mengangkat tokoh komunis, Alimin Prawirodirdjo menjadi pahlawan nasional, sehari setelah kematiannya pada 24 Juni 1964 dan dimakamkan di TMP Kalibata .
Menurut Schreiner, Sukarno mengangkat dua tokoh komunis (Tan Malaka dan Alimin) di antara 33 pahlawan nasional yang ditetapkannya, berdasarkan kepentingan strategis jangka pendek. Yaitu sebagai wakil dari ideologi yang sedang disatukannya: Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).
Oleh karena itu, lanjut Schreiner, “mengikuti pengangkatan Alimin pada tahun 1964, dua tokoh utama Muhammadiyah, Kiai Fachruddin/Muhammad Jazuli dan K. H. Mas Mansoer, secara serentak diangkat sebagai pahlawan nasional sehingga menjamin keseimbangan ideologis antara komunis dan Muslim.”
Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 4, Departemen Sosial sebagai lembaga yang menyelenggarakan seleksi pahlawan nasional, pernah mengajukan kepada Presiden Soeharto agar mencabut gelar pahlawan nasional Tan Malaka dan Alimin. Presiden Soeharto saat itu menyatakan bahwa pemberian gelar itu telah dilakukan oleh Presiden Sukarno dan tidak bisa dibatalkan.
Baca juga : Pembantaian Etnis Melayu 1946: Kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Timur