- Pesawat Tempur Taktis P-51 Mustang “Cocor Merah” TNI-AU dibuat di Amerika Serikat dan bergabung ke Angkatan Udara RI (AURI) pada 1951 sebagai hibah dari Belanda. Pada 1951, Skadron Udara-3 AURI diperkuat 54 Pesawat Tempur ini.
- Dalam sejarahnya, pesawat P-51 Mustang AURI “Cocor Merah” aktif dilibatkan dalam sejumlah operasi, seperti Operasi Penumpasan PRRI/PERMESTA, Operasi RMS, Operasi Trikora, dan Operasi Dwikora.
ZONA PERANG (zonaperang.com) – Pada awal kemerdekaan hingga saat ini, bangsa Indonesia banyak mengalami peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada terjadinya diintegrasi bangsa. Hal tersebut terjadi karena beberapa sebab diantaranya adanya ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan pusat terhadap daerah. Sebab inilah yang memicu terjadinya pemberontakan Permesta di Sulawesi.
PERMESTA
Pada tanggal 2 Maret 1957, bertempat di kantor Gubernuran Ujungpandang(Makassar) telah diadakan pertemuan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh militer maupun sipil. Pertemuan tersebut telah menghasilkan apa yang disebut dengan “Piagam Perjuangan Semesta” (Permesta).
Pada tahapan selanjutnya, pemberontakan ini telah mendapat bantuan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Salah satu bukti adanya dukungan dari luar negeri adalah adanya keterlibatan kekuatan udara asing adalah ketika Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang ketika itu mengambil peran dalam upaya penumpasan pemberontakan Permesta berhasil menembak jatuh sebuah pesawat B-26 yang ternyata dipiloti oleh Allen Pope yang berkewarganegaraan Amerika Serikat.
Angkatan Udara Revolusioner yang lebih dikenal dengan AUREV merupakan kekuatan udara yang dibentuk oleh Permesta dalam rangka merebut dan menguasai wilayah udara Indonesia. Dengan menguasai wilayah udara tentunya akan mempermudah pasukan Permesta untuk melancarkan serangan-serangan ke seluruh wilayah Indonesia bagian Timur.
Pada awal pembentukkan AUREV, yang dijadikan sebagai pusat kekuatannya adalah Pangkalan Udara Tasuka(pinggiran danau Tondano). Kapten Udara Rambing ditunjuk sebagai Komandan Kesatuan Darat (Ground Unit). Keadaan semakin berubah ketika bergabungnya Petit Muharto dan Hadi Sapandi yang datang dengan membawa dua Pesawat P-51 Mustang dan tiga Pembom B-26 Invander yang merupakan bantuan dari Amerika, diterbangkan langsung dari pangkalan udara Clark Field di Philipina Selatan.
Muharto kemudian diangkat sebagai Kepala Staf AUREV dengan pangkat “Komodor Muda Udara“ sedangkan wakilnya Hadi Sapandi dengan pangkat “Mayor Udara”.
Baca juga : 16 Juni 1948, Dakota RI-001 Seulawah : Dari Aceh untuk Republik Indonesia dan perampokan didalamnya
Baca juga : Insiden Bawean 2003 : Aksi Koboi F/A-18 US Navy Vs F-16 TNI-AU di Atas Laut Jawa
Import
Alutsista yang menjadi kekuatan utama AUREV secara keseluruhan didatangkan dari luar negeri. Tidak ada satupun pesawat AUREV yang merupakan milik AURI ataupun penerbangan sipil Indonesia. Pesawat yang menjadi kekuatan AUREV terdiri dari pesawat pembom (Attack) empat buah B-26, pesawat pemburu P-51 Mustang dua buah, pesawat angkut type Curtiss C-46 “Commando” dua buah, Lockheed 12, selain itu pesawat-pesawat DC-3/C-47 “Dakota” dan DC-4/C-54 “Skymaster”.
AUREV juga telah menyiapkan 15 pesawat pengebom B-26 untuk Permesta yang merupakan bantuan dari pihak asing. Pesawat-pesawat tersebut disiagakan di sebuah lapangan terbang di Filipina.
Secara keseluruhan, warga negara asing yang mendukung AUREV adalah terdiri dari 14 orang dari Amerika (enam orang awak pesawat/penerbang dan telegrafis udara, enam orang pelayanan di darat/ montir pesawat dan dua orang petugas lain/perhubungan dan sandi), tujuh orang dari Philipina (dua orang penerbang dan lima orang pembantu montir pesawat) serta 18 orang warga China yang meliputi awak pesawat dan pelayanan di darat.
Secara umum, bangsa Indonesia yang terlibat dalam AUREV berada pada pekerjaan administrasi sedangkan pada awak pesawat hanya sedikit sekali yaitu sembilan orang sebagai telegrafis udara dan dua orang penerbang yaitu Petit Muharto dan Hadi Sapandi sisanya selain tenaga administrasi juga sebagai pasukan pertahanan pangkalan. Maka dapat kita simpulkan bahwa kegiatan operasi penerbangan AUREV sangat dikuasai oleh bangsa asing.
Serangan udara pertama
Serangan udara pertama yang dilakukan adalah serangan terhadap Mapanget(Sam Ratulangi) pada tanggal 12 April 1958. Serangan tersebut dilakukan dengan menggunakan pesawat pembom B-26 Invander yang tinggal landas langsung dari Pangkalan Udara Clark Field di Filiphina.
Keesokan harinya serangan udara kembali dilakukan, yang menjadi sasaran adalah kota Makassar dan Balikpapan. Allen Lawrence Pope menjadi aktor utama dalam penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh AUREV dengan menggunakan pesawat pembon B-26 Invander.
Pada tanggal 29 April 1958 sekitar jam 14.00, pesawat pembom B-26 AUREV dengan penerbang Allen Lawrence Pope telah melakukan serangan udara terhadap Detasemen Angkatan Udara Kendari. Pada tanggal 30 April 1958, Pope kembali menyerang dan kali ini yang menjadi sasaran adalah daerah Donggala dan Palu. Serangan dilakukan pada sekitar pukul 04.00 WITA.
Pada tanggal 1 Mei 1958, pesawat B-26 AUREV menyebarkan Pamflet yang isinya menyatakan bahwa Rakyat Ambon supaya menjauhi obyek-obyek militer karena Permesta akan melakukan serangan-serangan.
Serangan terhadap kota Ambon
Keesokan harinya, 2 Mei 1958 hal tersebut benar-benar terjadi yaitu ketika pesawat pembom AUREV benar-benar melakukan serangan terhadap kota Ambon. Serangan selanjutnya adalah pada tanggal 7 Mei 1958 sekitar jam 06.00, AUREV melakukan serangan udara terhadap Pangkalan Udara Ambon.
Pada tanggal 8 Mei 1958 pukul 17.00, kembali melakukan penyerangan terhadap Detasemen Angkatan Udara Liang/Ambon. Pada tanggal 15 Mei 1958 pukul 05.30, melakukan penyerangan terhadap sebuah kapal motor dipelabuhan Ambon. Pada tanggal 18 Mei 1958 pukul 06.00 penyerangan dilakukan tehadap Pangkalan Udara Pattimura/Ambon.
Satu momen bersejarah saat AURI menumpas pemberontakan Permesta adalah ketika seorang penerbang AURI dapat menembak jatuh sebuah pesawat B 26 Invander AUREV(klaim yang dibuktikan di pengadilan, sedangkan lainya adalah penembakan oleh kapal perang RI).
Pagi itu, pada tanggal 18 Mei 1958 di Pangkalan Udara Liang, Kapten Udara Ignatius Dewanto tengah bersiap di kockpit P-51 Mustang. Dia ditugaskan menyerang pangkalan udara AUREV di Sulawesi Utara. Hanya beberapa saat sebelum Dewanto take off menuju Manado, dia menerima sebuah berita yang memaksanya membatalkan serangan ke Manado dan harus mengarahkan pesawat ke Ambon karena kota tersebut dibom oleh B-26 Invader AUREV.
Baca juga : Sejarah Tragedi Tanjung Priok(1984) : Kala Penguasa Menghabisi Umat Islam
Baca juga : Insiden Pulau Rote NTT 1999 : “Pertemuan” tidak seimbang Hawk TNI-AU VS F/A-18 Hornet Australia
Allen Lawrence Pope
Ketika berada di atas udara Ambon, Dewanto melihat asap mengepul di mana-mana. Puing-puing berserakan, menandakan baru saja terjadi serangan udara terhadap Ambon. Pesawat kemudian dibawa untuk berputar-putar sejenak, B-26 Invader AUREV tidak terlihat. Kemudian pesawatnya diarahkan ke barat. Ferry tank dilepas untuk menambah kelincahan pesawat.
Dewanto terbang rendah, saat pandangannya tertuju ke konvoi kapal ALRI, sekelebat dilihatnya pesawat B-26 Invader AUREV. Pesawat tersebut ternyata tengah melaju ke arah konvoi kapal ALRI tersebut. Dewanto terbang mengejar dan beruntung bisa menempatkan diri persis berada di belakang B-26 tersebut. Walau sempat ragu karena posisi musuh tepat antara kapal dan dia, Kapten Dewanto segera menembak dengan roketnya, tapi meleset yang kemudian disusul dengan tembakan 12,7 mm, karena tembakan rentetan dan jaraknya sudah lebih dekat kemungkinan kena lebih besar.
Alhasil, B-26 yang diterbangkan seorang serdadu bayaran bernama Allen Lawrence Pope beserta juru radio Hary Rantung (bekas AURI), terbakar dan tercebur ke laut. Posisi jatuhnya pesawat B-26 tersebut pada koordinat 03.40 LS dan 127.51 BT. Dewanto yakin peluru 12,7 mm nya mengenai sasaran, hal ini dikuatkan dengan adanya asap yang mengepul keluar dari badan pesawat.
Sementara dua awak pesawat B-26 kelihatan meloncat menggunakan parasut. Sewaktu berusaha mendarat payung Allen Pope menyangkut di pohon kelapa di Pulau Tiga, ketika hendak turun dari pohon kelapa ia terhempas ke batu karang sehingga kakinya patah dan badannya luka-luka. Sementara yang seorang lagi operator Radio Harry Rantung bekas anggota AURI juga jatuh ke laut kemudian dapat berenang ke tepi, akhirnya keduanya dapat ditangkap.
AUREV telah lumpuh, senjata berdatangan
Sejak tertangkapnya Allen Pope, kekuatan AUREV telah lumpuh serta keunggulan di udara di wilayah Indonesia Timur dikuasai AURI. Operasi-operasi pendaratan-pendaratan berhasil dilakukan diberbagai tempat oleh pasukan gabungan TNI.
Peristiwa ini telah berdampak kepada pemerintah Amerika Serikat untuk mengubah sikapnya terhadap Indonesia. Washington menjadi ramah dengan harapan Indonesia itu akan diam. Bola politik benar-benar dimainkan oleh Presiden Soekarno. Penahanan Pope diulur untuk mendapatkan manfaat keramahtamahan diplomasi Amerika Serikat.
Embargo senjata terhadap Republik Indonesia dicabut. Pemerintah Amerika Serikat segera menyetujui pembelian senjata juga berbagai suku cadang yang dibutuhkan TNI termasuk suku cadang persawat terbang AURI.
Allen Pope kemudian dihadapkan ke pengadilan militer kemudian dijatuhi hukuman mati sedanggkan Harry Rantung diganjar hukuman 15 tahun. Setelah John F. Kennedy menjadi Presiden Amerika Serikat, hubungan Amerika Serikat dengan Presiden Soekarno mengalami perbaikan. Pemerintah Amerika Serikat berusaha juga untuk mebebaskan Allen Pope. Jaksa Agung Amerika Serikat diutus ke Jakarta untuk menemui Presiden Soekarno dengan mbawa surat Kepresidenan yang isinya agar Pope dibebaskan.
Baca juga : Sisi gelap politik Soekarno
PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia)
Demi Hancurkan Puluhan Ranpur Lawan, Pilot Tempur AURI Ini Nekat Jatuhkan Pesawatnya
Pemicu berdirinya PRRI di Sumatera yang ingin memisahkan diri dari Pemerintah RI adalah Mr Sjafrudin Prawiranegara yang sebenarnya merupakan tokoh yang sangat berjasa bagi Pemerintah RI waktu itu dan juga merupakan sosok yang dikenal baik oleh Presiden Soekarno.
Selama Perang Kemerdekaan (1948-1949), khususnya ketika berlangsung agresi Belanda yang kedua di Yogyakarta, setelah Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap serta diasingkan ke Pulau Bangka, Sjafrudin diangkat menjadi Ketua Pemerintah Darurat RI (1948).
Berkat usaha Pemerintah Darurat yang dipimpin Sjafruddin, Belanda yang semula mengedepankan kekuatan militer kemudian terpaksa berunding dengan Indonesia melalui Perjanjian Roem-Royen.
Hasil perundingan sangat menguntungkan RI karena Seokarno dan kawan-kawannya dibebaskan serta kembali lagi ke Yogyakrta.
Pemerintahan Darurat kemudian diserahkan lagi ke Soekarno-Hatta pada 14 Juli 1949 di Jakarta. Setelah itu, Sjafruddin menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan selanjutnya Menteri Keuangan serta Gubernur Bank Indonesia (1951).
Upaya pemisahan diri PRRI yang dimotori oleh Mr Sjafrudin itu jelas merupakan hal yang mengejutkan sekaligus menjadi ancaman serius bagi Pemerintahan Presiden Soekarno dan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta harus segera diambil tindakan tegas.
Pasukan PRRI menyerbu
Presiden Soekarno yang menyadari betapa besar jasa Sjafruddin kepada RI berusaha keras menyelesaikan masalah secara damai tapi tidak berhasil.
Mr Sjafruddin bahkan berkali-kali menolak upaya damai itu jika Presiden Soekarno tidak segera bisa melepaskan diri dari pengaruh PKI.
Sikap memberontak PRRI ditunjukkan dengan menyerbu markas-markas militer yang masih memberikan dukungan terhadap Pemerintah Pusat RI seperti Pangkalan Udara Polonia Medan yang dipertahankan oleh pasukan AURI di bawah pimpinan Kapten Udara Nico Juluw, satuan artileri di bawah pimpinan Mayor Hanafie, dan belasan personel Polri di bawah pimpinan Komisaris Polisi Hoegeng Iman Santosa.
Sebelum pasukan PRRI menyerbu Bandara Polonia, sejumlah pesawat AURI (TNI AU) telah terlebih dahulu duterbangkan menuju ke tempat yang aman sesuai perintah dari KSAU Laksamana Udara Suryadarma.
Pasukan PRRI sebenarnya menyadari jika untuk menyerbu Bandara Polonia harus menghadapi pasukan yang masih setia kepada Pemerintah Pusat dan terkenal pula sebagai pasukan pertahanan pangkalan yang terlatih baik.
Apalagi KSAU Komodor Udara Surjadi Surjadarma sebelumnya telah mengeluarkan perintah agar lapangan udara Polonia dipertahankan habis-habisan
Oleh karena itu pasukan PRRI hanya berani melakukan pengepungan sambil melakukan serangan dengan cara menembakkan mortir.
Baca juga : Peristiwa 17 Oktober 1952 : Ketika “moncong” meriam mengarah ke Istana Merdeka
Baca juga : Operation HAIK : Kisah Petualangan Allen Pope dan C-130 Hercules AURI(TNI-AU)
Memblokade semua jalur keluar masuk Bandara
Selama gempuran mortir tidak kurang tiga lubang bekas jatuhnya peluru hampir merusakkan landasan.
Salah satu mortir bahkan jatuh di sebelah kanan kantor pegawai sipil persenjataan dan jaraknya lebih kurang sepuluh meter dari gudang senjata. Mujur peluru mortir tidak meledak.
Kendati mendapat gempuran sengit PRRI, namun pasukan yang bertahan berhasil memperkuat parimeter pertahanannya sehingga serangan musuh dapat ditahan.
Namun, mereka tetap dalam kondisi terkepung rapat, mengingat pasukan PRRI memblokade semua jalur keluar masuk Bandara Polonia.
psywar
Sehari setelah terjadinya serangan pemberontak ke Bandara Polonia, Medan keesokan paginya pasukan PRRI secara diam-diam ternyata sudah mengundurkan diri.
Alasannya, karena mendapat berita bahwa pasukan APRI akan melaksanakan serbuan secara besar-besaran.
Berita serbuan itu diumumkan oleh Kolonel Nasution melalui radio yang juga bisa didengar PRRI dengan tujuan psywar.
Kolonel Nasution mengatakan bahwa pasukan APRI telah berhasil mendarat di Sumatra melalui Palembang dan terus bergerak menuju kota-kota yang menjadi basis para pemberontak.
Medan bahkan akan diserbu oleh 3 Batalyon Lintas Udara, padahal yang menyerbu sebenarnya cuma ada dua kompi pasukan.
Taktik Psywar ini sengaja disampaikan untuk menekan moral tempur para pemberontak agar mental mereka merosot.
Perang urat syaraf itu ternyata berhasil. Pasukan RI di bawah pimpinan Kapten Benny Moerdani yang hanya berkekutan dua kompi ketika melaksanakan serbuan udara (linud) ternyata tidak mendapat perlawanan sama sekali.
Baca juga : Umat Islam, PKI dan Militer : Babak Akhir Jelang Pemberontakan Komunis September 1965
Baca juga : Daniel Alexander Maukar, Pilot AURI yang Nekat Menembaki Istana Negara
Letkol Ahmad Husein
Sewaktu pasukan RPKD bergerak menguasi Bandara Polonia, mereka malah menemukan pasukan PRRI yang bersembunyi di parit dan kemudian memilih menyerahkan diri bersama sejumkah senjata-senjata canggihnya
Dalam waktu singkat Bandara Polonia pun bisa dikuasai oleh pasukan APRI.
Sementara itu pasukan APRI yang bergerak mundur terus dikejar dan pasukan AURI pun melancarkan serangan balasan dengan mengerahkan pesawat-pesawat tempur P-51 Mustang.
Esok harinya dilaksanakan serangan balasan oleh AURI dengan membombardir tempat pengunduran pasukan pemberontak di jalan Binjai, tepatnya di sekitar stasiun pemancar RRI meggunakan tiga pesawat Mustang.
Salah satu penerbangnya adalah Letnan Udara II (Lettu) Soewondo. Mendapat gempuran udara, pasukan pemberontak di bawah pimpinan Letkol Nainggolan akhirnya lari menuju daerah Tapanuli.
Mereka kemudian bergabung dengan pasukan pemberontak lainnya di Sumatera Barat dibawah komando Letkol Ahmad Husein, pimpinan militer PRRI dan juga pendiri PRRI.
Mengkamuflase senjata berat
Setelah melakukan konsolidai, Kekuatan PRRI kemudian menyusun pertahanan yang diperkuat oleh meriam-meriam penangkis serangan udara yang berada pada posisi tersembunyi.
Begitu pintarnya pasukan Nainggolan mengkamuflase senjata berat mereka, sehingga tidak satupun yang berhasil dimusnahkan dalam pemboman yang dilancarkan pada sorti pertama.
Setelah Mustang kembali ke pangkalan untuk mengisi ulang amunisi dan bahan bakar gempuran kedua pun dilaksanakan terhadap posisi pasukan artileri PRRI.
Sejumlah meriam dan kendaraan lapis baja pun berhasil dihancurkan. Tapi serangan balasan dari bawah juga sangat gencar.
Nasib kurang mujur akhirnya menimpa Lettu Udara Soewondo.
Karena terbang terlalu rendah ketika melancarkan gempuran pada sorti kedua, sayap Mustang tersambar peluru senjata penangkis serangan udara PRRI.
Serangan ala kamikaze
Hantaman peluru meriam menyebabkan asap hitam mengepul., tapi Lettu Udara Soewondo memutuskan untuk terus bertempur.
Namun sepak terjang Lettu Soewondo dalam bertempur justru membuat heran pasukan Pemerintah Pusat yang bertempur di darat.
Setelah tertembak, Mustang tidak terbang ke selatan (basis militer Pusat), melainkan tetap nekat terbang ke utara sambil tidak henti-hentinya menumpahkan amunisinya ke daratan, menyapu pertahanan pasukan Nainggolan.
Meski pesawat Mustang yang diterbang Soewondo masih stabil dan tetap bertempur, gencarnya tembakan meriam-meriam penangkis udara PRRI membuat P51 menjadi bulan-bulanan.
Sebelum jatuh hancur berkeping-keping ke daratan, Soewondo masih sempat mengarahkan Mustangnya ‘’untuk melancarkan serangan ala kamikaze’’.
Serangan nekat menuju konsentrasi meriam-meriam dan tank lapis baja Arhanud PRRI itu selanjutnya menyebakan Mustang meledak dahsyat, bersama-sama hancurnya meriam-meriam penagkis serangan udara PRRI yang berlokasi di Desa Tangga Batu, Tapanuli Utara.
Sebanyak 60 ranpur lapis baja PRRI berhasil dihancurkan oleh Soewondo.
Jenazah Soewondo yang selanjutnya dikeluarkan oleh pasukan PRRI dari reruntuhan Mustang ternyata diperlakukan secara baik dan diserahkan ke pasukan Apri.
Banyak pasukan PRRI yang memberi salut dan hormat terhadap kegigihan dan keberanian Soewondo.
Setelah diserahkan kepada pasukan APRI, jenasah Lettu Udara Soewondo kemudian di bawa menuju Bandara Polonia untuk selanjutnya diterbangkan menuju Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Baca juga : Simfoni Maut: Efek Teror Psikologis dan Ikon Ketakutan Junkers Ju 87 Stuka Jerman
Baca juga : Sukarno dan Bom Atom: Ketika Indonesia Berusaha Menjadi Kekuatan Nuklir
P-51 Mustang Indonesia
Indonesia memperoleh North American P-51D dari Angkatan Udara Hindia Belanda setelah penterahan kedaulatan tahun 1950. Mustang juga digunakan untuk melawan pasukan Persemakmuran (RAF, RAAF, dan RNZAF) selama konfrontasi Indonesia pada awal 1960-an.
Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) memiliki puluhan pesawat jenis ini. Pesawat buatan Amerika Serikat itu adalah pesawat buru sergap jarak jauh yang sangat handal pada era Perang Dunia II.
Di lingkungan AURI, P-51 Mustang ditempatkan di satuan tempur buru sergap Skuadron ke-3 yang bermarkas di Pangkalan Udara Cililitan, Jakarta Timur(Sekarang Halim). Sebanyak 50 pesawat Mustang yang tersedia ternyata tidak sebanding dengan pilot tempur yang dimilki AURI. Wajar saja jika para penerbang Skuadron ke- 3 suka-suka saja berganti-ganti pesawat karena Mustang tidak boleh terlalu lama didiamkan.
“Dulu dari Pangkalan Halim kami suka terbang dengan Mustang ke berbagai pangkalan di Jawa Tengah atau Bandung hanya untuk beli sate atau es kopyor,” ujar Ashadi Tjahjadi, salah seorang penerbang tempur Skadron III dalam buku Pahlawan Dirgantara: Peranan Mustang dalam Operasi Militer di Indonesia suntingan Soemakno Iswadi.
Ashadi mengisahkan ruang tempat peluru yang ada di pesawat sering dikosongkan oleh para penerbang Mustang kalau sedang tidak bertempur. Ruang kosong itu kemudian kerap kali dijadikan tempat untuk mengangkut bermacam-macam barang, mulai dari beras sampai ayam kampung.
“Waktu istri saya ngidam, terpaksa saya harus terbang dengan Mustang ke Bandung padahal keluarga tinggal di Polonia Medan hanya untuk membeli tahu Bandung,” kenang Ashadi.
Tim aerobatik P-51 Mustang
Kendati punya tingkah dan kelakuan unik demikian, pilot tempur Mustang AURI ini dikenal lihai dalam manuver di udara. Beberapa penerbangnya seperti Leo Wattimena, Roesmin Noerjadin, Ignatius Dewanto, Mulyono, Hadi Sapandi dan Pracoyo, kemudian membentuk tim aerobatik kebanggaan AURI. Merekalah yang menjadi inspirasi bagi penerbang-penerbang AURI berikutnya untuk membentuk tim aerobatik sejenis.
“Sehingga tim aerobatik P-51D Mustang dapat dikatakan sebagai perintis atau the pioneer dari tim-tim aerobatik kebanggaan bangsa Indonesia, khususnya TNI Angkatan Udara,”
Beberapa di antara para pilot tempur tadi, kelak menjadi tokoh penting ketika AURI membangun angkatan perangnya sehingga menjadi yang terkuat pada dekade 1960. Leo Wattimena menjadi pilot tempur Mustang legendaris yang terjun di berbagai operasi militer.
Ignatius Dewanto merupakan penerbang Mustang yang menembak jatuh kapal bomber yang dikendalikan pilot Amerika, Allen Pope. Roesmin Noerjadi menjadi Kepala Staf Angkatan Udara antara 1966 hingga 1969. Ashadi Tjahyadi sendiri menjabat Kepala Staf Angkatan Udara periode 1977-1983.
Baca juga : 10 Pesawat Terburuk di Perang Dunia ke-2
Baca juga : (Buku) Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi-antara Sukarno-Aidit-Mao Tse Tung (Cina)
AIRCRAFT:
|
TF-51 Mustang
|
MANUFACTURER:
|
North American Aviation
|
ENGINE:
|
Rolls Royce Packard built V-1650-7 Merlin 12 cylinder liquid cooled power plant.
|
HORSEPOWER:
|
1490
|
MAX SPEED:
|
505 MPH
|
WINGSPAN:
|
37′ 0″
|
LENGTH:
|
32′ 2″
|
HEIGHT:
|
13′ 8″
|
MAX GROSS WEIGHT:
|
12,300 lbs.
|
MAX CEILING:
|
41,900 ft
|
CLIMB RATE:
|
3,475 ft/ minute 7.3 min to 20,000 ft. |
RANGE:
|
2,080 miles with two 110 gal. drop tanks
|
ARMAMENT:
|
6 X .50 caliber Browning machine guns
2 with 270 rounds per gun 4 with 400 rounds per gun |
FUEL CAPACITY:
|
184 imp. gal. internal, provision for two 62.5 gal. drop tanks.
|