Apa itu Hak Veto di DK PBB Terkait Resolusi Palestina-Israel?
ZONA PERANG(zonaperang.com) Dewan Keamanan PBB menjadi sorotan usai gagal mengeluarkan resolusi di tengah perang kolonialisme Israel dan pejuang kemerdekaan Hamas di Palestina.
Sejumlah negara seperti Rusia dan Brasil menginisiasi resolusi untuk merespons perang di Timur Tengah itu. Namun, semua resolusi ditolak, salah satunya karena hak veto Amerika Serikat selaku anggota tetap DK PBB.
Hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang, atau resolusi. Hak veto biasanya melekat pada salah satu lembaga tinggi negara atau pada dewan keamanan pada lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Apa itu hak veto?
Hak veto adalah hak istimewa yang dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Dewan Keamanan PBB atau United Nations Security Council merupakan salah satu badan utama PBB yang diberi mandat untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Dilansir dari laman resmi Dewan Keamanan PBB, Piagam PBB Tahun 1945 memberikan kursi keanggotaan tetap Dewan Keamanan PBB kepada lima negara, yakni Cina, Perancis, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
Kelima negara tersebut jugalah yang memiliki hak veto dalam PBB.
Berikut bunyi pasal 27 Piagam PBB yang menyatakan tentang hak veto:
- Setiap anggota Dewan Keamanan memiliki satu suara
- Keputusan Dewan Keamanan mengenai hal-hal prosedural harus diambil dengan suara setuju dari sembilan anggota
- Keputusan Dewan Keamanan tentang semua hal lain harus diambil dengan suara setuju dari sembilan anggota termasuk suara setuju dari anggota tetap; dengan ketentuan bahwa, dalam keputusan berdasarkan Bab VI, dan berdasarkan ayat 3 Pasal 52, pihak yang bersengketa harus abstain dari pemungutan suara.
Baca juga : Mengapa Israel Kebal Hukum dan Selalu Dibela Amerika dalam Menindas Palestina?
Sejarah hak veto
Sejarah hak veto Hak veto diterapkan di organisasi internasional sebelum PBB, Liga Bangsa-bangsa (LBB).
Di LBB, setiap anggota punya hak veto terhadap keputusan non-prosedural.
Setelah LBB bubar, negara-negara kubu Sekutu dalam Perang Dunia II sepakat membentuk PBB.
Tiga negara pemrakarsa yakni Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet bertemu dan merumuskan pembentukan PBB di Dumbarton Oaks (Agustus-Oktober 1944) dan Yalta (Februari 1945).
Setelah Cina bergabung, keempat pempimpin negara sepakat prinsip konsensus.
Artinya, semua kebijakan yang dihasilkan harus berdasarkan persetujuan semua pihak.
Jurnal The American Political Science Review Volume 39 No 5 yang diterbitkan pada Oktober 1945 mencatat, hak veto sempat diperdebatkan dalam pembentukan PBB.
Di Konferensi San Francisco yang melahirkan Piagam PBB, delegasi Amerika Serikat bersikukuh prinsip konsensus harus dicantumkan dalam piagam.
Negara-negara kecil memprotes hak veto yang dimiliki oleh lima negara pemrakarsa PBB.
Penolakan Amerika
Senator AS Thomas Terry Connally merobek salinan Piagam PBB dan menyampaikan ke perwakilan-perwakilan negara-negara kecil, jika tak ada hak veto, maka tak ada PBB.
“Silakan jika itu (menolak hak veto) yang Anda mau. Pulang dari konferensi ini dan sampaikan bahwa Anda berhasil menolak hak veto. Tapi apa jawaban Anda ketika ditanya ‘Di mana Piagam PBB?” kata Conally.
Di Piagam PBB, hak veto tidak disebutkan secara eksplisit.
Namun di Pasal 27 disebut semua urusan prosedural Dewan Keamanan harus diputuskan bersama-sama oleh lima anggota tetap. Artinya, jika ada satu saja yang menolak, maka keputusan tidak bisa dibuat.
Baca juga : 13 Juni 1971, Pentagon Papers dirilis : Menguak Kebohongan Amerika Serikat di Perang Vietnam
Baca juga : 7 Hukum Israel yang Paling Rasis
Bisakah hak veto dihapus?
Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) sekaligus Executive Secretary ASEAN Study Center UI, Shofwan Al Banna, menuturkan bahwa penghapusan hak veto anggota tetap Dewan Keamanan PBB bisa saja dilakukan.
Namun, dia menggarisbawahi bahwa penghapusan itu bisa dilakukan asalkan negara-negara yang memiliki hak istimewa tersebut sepakat untuk melepaskannya melalui sebuah konsensus.
Kendati demikian, akan sulit bagi negara-negara yang memiliki hak veto untuk mau melepaskan hak istimewanya begitu saja.
Shofwan menambahkan, adanya hak veto ini bisa ditarik ke belakang sewaktu Liga Bangsa-Bangsa (LBB) masih eksis.
Sewaktu LBB masih berdiri, ke-15 anggotanya memiliki hak veto sehingga sangat sulit untuk membuat keputusan.
“Ketika Perang Dunia II sudah hampir selesai, ide (hak veto) ini masih bertahan (bagi negara pemrakarsa PBB),” kata Shofwan.
Hingga akhirnya, anggota tetap Dewan Keamanan PBB sebanyak lima negara tetap memiliki hak veto.
Kendati demikian, seruan untuk menghapus hak veto atau bahkan upaya reformasi di dalam tubuh PBB tak terpadamkan.
Dia bertutur, upaya reformasi di dalam tubuh PBB terbagi menjadi dua “aliran” yakni aliran idealis dan aliran realistis.
Negara-negara yang beraliran idealis ini menginginkan supaya PBB harus segera direformasi, termasuk penghapusan hak veto, karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Kritik terhadap hak veto
Di dalam perkembangannya, hak veto kerap digunakan untuk melindungi kepentinganan anggota Dewan Keamanan Tetap PBB itu sendiri.
Dalam 10 tahun terakhir, hak veto digunakan dalam menyelesaikan konflik di kawasan Timur Tengah.
Misalnya AS yang kerap memveto keputusan yang mendukung Palestina dan merugikan Israel.
Indonesia bersama banyak negara lain, berharap keistimewaan hak veto dihapus. Sebab, hak veto dinilai tidak demokratis.
Satu negara pemegang hak veto bisa mengacaukan kebijakan yang diputuskan Dewan Keamanan. PBB tak bisa menindak Israel sebab selalu diveto oleh Amerika Serikat.
Baca juga : Penduduk Palestina Hijrah? Justru itu Skenario yang diinginkan Zionis
Baca juga : 29 Desember 1890, Tentara Amerika membantai suku Indian Sioux di Wounded Knee