- Ketika memperhatikan semakin menajamnya perdebatan yang terjadi di kalangan awam dan seakan para ahli ilmunya membiarkan seakan menikmati keadaan hingga mengarah kepada pertikaian dan permusuhan, kita saat ini yakin bahwa kebangkitan peradaban itu bukan dari negeri kita: Indonesia.
- Menurut data Dewan Masjid Indonesia, pada 2019 sebanyak 65% dari umat Islam di Indonesia belum mampu membaca Al-Qur’an. Sementara pada tahun 2022, menurut riset dari Institut Ilmu Al Quran (IIQ) jumlah tersebut naik menjadi 72,25%. Apakah tren ‘naik’ ini akan terus kita biarkan?
- Semoga seluruh muslim dan muslimah segera sadar, bisa menerima perbedaan dan bersatu demi kebaikan umat
ZONA PERANG(zonaperang.com) Pada tahun 2003, ada dokumen studi dan rekomendasi yang dipublikasikan oleh Divisi Riset Keamanan Nasional RAND Corporation, sebuah lembaga kajian kebijakan global di Amerika Serikat yg didirikan tahun 1948 oleh Douglas Aircraft Company, sebuah perusahaan kedirgantaraan dan persenjataan, untuk membantu Angkatan Bersenjata Amerika Serikat di bidang penelitian dan analisa strategis yang berjudul Civil Democratic Islam: Partners, Resources, and Strategies. Dokumen ini kemudian disampaikan kepada Badan Keamanan Nasional AS dan juga Presiden George W. Bush secara langsung pada saat itu. Studi ini disponsori oleh Smith Richardson Foundation dan disupport oleh American Israel Public Affair Commitee (AIPAC).
Pada dokumen tersebut, disebutkan langkah strategis yang harus dilakukan untuk ‘menghadapi’ umat Islam saat ini (Apendix C: Strategy In Depth hal. 63). Dari sekian banyak, mari kita fokuskan kepada dua hal ini, antara lain:
“Support the traditionalists against the fundamentalists, by:
1. Publicizing traditionalist criticism of fundamentalist violence and extremism and encouraging disagreements between traditionalists and fundamentalists.
2. Preventing alliances between traditionalists and fundamentalists.”
Perhatikan kalimat yang dicetak miring yakni: ‘encouraging disagreements between traditionalists and fundamentalists’ dan ‘preventing alliances between traditionalists and fundamentalists’. Mendorong perselisihan antara kaum tradisionalis dan fundamentalis dan mencegah aliansi antara kaum tradisionalis dan fundamentalis.
Ya, perselisihan kita ini by designed dan ke-tidak bersatu-an kita adalah by planed. Bahkan, mereka bukan saja membuat klusterisasi dan melebarkan jurang pemisah dan perpecahan umat Islam antara tradisionalis, fundamentalis, modernis atau apa pun istilahnya yg mereka gunakan, dalam dokumen tersebut ada rekomendasi untuk memecah intra-tradisionalis itu sendiri dengan diksi: “…discriminating between different sectors of traditionalism” , (diupayakan untuk) membeda-bedakan (baca: memecah belah) berbagai sektor dalam (penganut) tradisionalis (Appendix C: Strategy In Depth hal.64).
Ijinkan kami bertanya, “Relakah kita? Sampai kapan kita akan terus menjadi objek rekayasa demi kepentingan mereka?”
Jika dianalogikan umat Islam dengan segala sumber dayanya adalah kesebelasan sepak bola. Maka sejatinya masing-masing pribadi walaupun berbeda posisinya tetap satu tim, satu arena dan satu lawan. Ada yang menjadi kiper, yang bertugas untuk menjaga gawang dari serangan lawan. Ada yang pemain bertahan yang menjaga pertahanan dan mencegah lawan mencetak gol. Ada pemain tengah, yang bertugas untuk menguasai bola dan mengatur serangan. Ada pemain depan, yang bertugas untuk mencetak gol ke gawang lawan.
Seandainya klasifikasi atau klusterisasi umat Islam ini memang sebuah hal yang tidak bisa diubah lagi (tradisionalis, fundamentalis, modernis, dll), maka jadikan ini satu tim yang mempunyai tugas dakwah dan perjuangan masing-masing namun dalam bingkai satu perjuangan. Jangan masing-masing pemain justru melemahkan yang akhirnya yg kerap terjadi adalah carut marutnya tim kesebelasan ini sehingga, musuh dengan mudah mengecoh dan melakukan serangan membobol gawang kita. Lebih parahnya lagi, kita jangan-jangan bahkan lebih seringgol bunuh diri, gol ke gawang sendiri.
Sekali lagi, mau sampai kapan kita terus begini? Tak usah dijawab. Kita fokus saja memberikan bukti.
Pemimpin dan perbedaan
Pemimpin yang shalih itu ‘dibuat’. Dia tidak turun dari langit dan tidak muncul dari dasar bumi secara tiba-tiba.
Shalahuddin Al Ayyubi itu lahir dari kerja dakwah panjang lintas generasi sejak lebih dari 80 tahun prosesnya. Beliau lahir dari sebuah proses pendidikan dan pembinaan intensif yg dilakukan oleh banyak pihak secara simultan dan terencana. Muhammad Al Fatih demikian juga. Beliau lahir dari panjangnya proses melahirkan kepemimpinan yg bahkan ratusan tahun lama prosesnya.
Kita mau yang instan? Mustahil.
Berbeda beda tetapi tetap satu
Keterpecahan kita yang dipertontonkan ke khalayak ramai tidak sedikit pun menguatkan. Sebaliknya, melemahkan. Mereka yang tidak suka dengan Islam dan kaum Musliminnya tertawa gembira. Bertepuk tangan bersuka ria. Karena mereka tidak perlu berupaya sekuat tenaga mengalahkan kita. Kita sendirilah yg telah ‘bunuh diri’ secara terbuka di hadapan mereka.
Baca juga : Kisah Dalam tentang Bagaimana zionis Israel Membuat Senjata Nuklir (bagian 1)
Baca juga : Sebab Peradaban di Andalusia Punah