- Operation Gothic Serpent: Kegagalan Militer Amerika di Somalia
- Pada tahun 1993, dunia menjadi saksi kepada salah satu operasi militer paling tragis dan kontroversial dalam sejarah modern. Operation Gothic Serpent, yang dilaksanakan oleh pasukan Amerika Serikat di Somalia, menjadi contoh klasik bagaimana kesombongan dan penilaian yang salah bisa menghasilkan bencana besar.
- Kegagalan Operation Gothic Serpent kemudian menjadi inspirasi untuk film “Black Hawk Down” yang dirilis pada tahun 2001. Film ini, yang disutradarai oleh Ridley Scott, menggambarkan pertempuran Mogadishu dengan detail yang sangat akurat dan menjadi salah satu film perang paling terkenal.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Pada 3 Oktober 1993, sebuah operasi militer Amerika yang dikenal sebagai Operation Gothic Serpent berubah dari misi yang tampaknya sederhana menjadi salah satu peristiwa paling memalukan dalam sejarah militer AS. Operasi ini adalah upaya untuk menangkap para pemimpin milisi di Somalia yang dipimpin oleh Mohamed Farrah Aidid, namun berakhir dengan bencana besar di Mogadishu, ibukota Somalia.
Ketika pasukan elit AS, yang baru saja keluar dari kemenangan Perang Teluk, menganggap remeh milisi Somalia, mereka mendapati diri mereka terjebak dalam pertempuran sengit yang tak terduga, dikepung oleh milisi dan warga sipil yang bersenjata. Peristiwa ini kelak diabadikan dalam buku dan film terkenal “Black Hawk Down“.
“Pada 3 Oktober 1993, pasukan Amerika Serikat melancarkan Operasi Gothic Serpent di Mogadishu, Somalia, dengan tujuan untuk menangkap pemimpin milisi Mohamed Farrah Aidid. Namun, operasi ini berubah menjadi bencana yang memalukan bagi militer AS dan mengungkapkan kesombongan serta underestimate yang mereka lakukan terhadap kekuatan milisi Somalia. Insiden ini tidak hanya menimbulkan kerugian besar bagi pasukan AS tetapi juga menjadi pelajaran penting dalam sejarah intervensi militer.”
Pertempuran itu meninggalkan dampak yang bertahan lama, dengan gambar-gambar yang kuat dari massa Somalia yang menyeret mayat-mayat tentara AS yang tewas disiarkan ke seluruh dunia. Meskipun peluangnya sangat besar, pasukan yang terdiri dari sekitar 100 tentara Amerika menahan lebih dari 1.000 pejuang Somalia bersenjata dalam penyergapan yang intens dan terkoordinasi hingga mereka diselamatkan.
Baca juga : 7 Oktober 2023, Operation Al-Aqsa Flood: Simbol Perlawanan Rakyat Palestina terhadap Penjajahan Israel
Baca juga : Satgas Merah Putih: Operasi Pembebasan MV Sinar Kudus di Jantung Perompak Somalia
Latar Belakang Operasi
Operasi Restore Hope merupakan inisiatif AS yang dilakukan di bawah naungan pasukan multinasional yang disetujui PBB yang beroperasi di Somalia antara Desember 1992 dan Maret 1995. Operasi tersebut ditugaskan untuk melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB 794: menciptakan lingkungan yang terlindungi untuk melakukan operasi kemanusiaan di wilayah selatan Somalia. Selama Operasi Restore Hope, ODA dari Grup SF ke-5 dan ke-10 melakukan banyak operasi stabilitas.
Operasi Gothic Serpent sendiri dimulai pada tahun 1993 sebagai bagian dari upaya pasukan AS untuk mendukung misi kemanusiaan PBB di Somalia, serta merupakan bagian dari operasi besar Restore Hope, yang saat itu tengah mengalami krisis kelaparan dan perang sipil. Somalia pada masa itu dikuasai oleh panglima perang dan milisi yang berjuang memperebutkan kekuasaan, dengan rakyat Somalia yang terjebak di tengah kekacauan. Salah satu panglima perang yang paling kuat adalah Mohamed Farrah Aidid, yang militernya mengendalikan sebagian besar kota Mogadishu.
“Meskipun awalnya bertujuan untuk menghentikan kelaparan massal akibat perang saudara, misi tersebut beralih menjadi konflik bersenjata ketika milisi Aidid mulai menyerang pasukan penjaga perdamaian. Dalam konteks ini, pemerintah AS memutuskan untuk melakukan tindakan lebih agresif dengan membentuk Task Force Ranger, yang terdiri dari pasukan khusus dan unit elit lainnya.”
Setelah Aidid menargetkan dan menyerang pasukan penjaga perdamaian PBB, termasuk membunuh tentara Pakistan dalam serangan kejam, Amerika Serikat memutuskan untuk mengambil tindakan langsung. Operasi Gothic Serpent bertujuan untuk menangkap para pemimpin Aidid, termasuk Aidid sendiri, untuk memulihkan stabilitas di wilayah tersebut.
Kesombongan Amerika Pasca Kemenangan Perang Teluk
Pada saat operasi ini berlangsung, militer Amerika berada di puncak euforia setelah kemenangan gemilang dalam Perang Teluk melawan Irak yang terkepung. Keberhasilan menghancurkan tentara Saddam Hussein dalam waktu singkat memberikan kepercayaan diri yang besar kepada pasukan AS. Mereka menganggap misi di Somalia sebagai tugas sederhana yang bisa diselesaikan dengan cepat dan tanpa banyak perlawanan.
Pasukan Rangers dan Delta Force, unit khusus yang dikenal sebagai pasukan elit AS, dikirim untuk menjalankan operasi ini. Namun, mereka meremehkan kemampuan milisi Somalia. Dalam pikiran mereka, milisi Somalia hanyalah kelompok bersenjata tak terorganisir yang tidak memiliki strategi militer yang canggih. Mereka menganggap bahwa teknologi militer superior, latihan yang ketat, dan pengalaman tempur mereka akan dengan mudah mengalahkan musuh.
Namun, anggapan ini terbukti sangat keliru.
Awal Bencana: Operasi yang Gagal
Pada 3 Oktober 1993, tim yang terdiri dari Delta Force dan Rangers dikerahkan untuk menangkap dua pejabat tinggi Aidid dalam sebuah gedung di Mogadishu. Awalnya, operasi ini tampak sederhana di atas kertas—mereka merencanakan penyerbuan cepat menggunakan helikopter UH-60 Black Hawk(termasuk varian operasi khusus) dan konvoi darat. Misi ini diperkirakan hanya akan memakan waktu satu jam.
Namun, segala sesuatu berjalan salah dengan sangat cepat. Dua helikopter Black Hawk ditembak jatuh oleh milisi Somalia menggunakan peluncur roket RPG-7 Soviet, membuat pasukan AS terjebak di wilayah musuh. Ketika helikopter jatuh, pasukan darat dan udara Amerika harus segera mengalihkan fokus mereka dari operasi penangkapan menjadi misi penyelamatan, berusaha mengevakuasi para korban yang terjebak di dalam kota.
Pasukan AS tidak hanya harus menghadapi milisi bersenjata Aidid, tetapi juga warga sipil Somalia yang ikut bersenjata dan berperan aktif dalam pertempuran ini. Mereka menguasai jalan-jalan sempit Mogadishu, yang ternyata menjadi medan tempur yang mematikan bagi militer AS. Apa yang seharusnya menjadi operasi cepat berubah menjadi pertempuran sengit selama hampir 18 jam, di mana pasukan AS dikepung dan berusaha bertahan hidup di tengah hujan tembakan dari segala arah.
Baca juga : Operation Prosperity Guardian: Akhir Kedigdayaan dan Pengaruh Amerika?
Rincian pertempuran
Pada tanggal 3 Oktober 1993, pasukan AS melancarkan misi penyergapan untuk menahan dua letnan utama Aidid, yang melibatkan 19 pesawat, 12 kendaraan, dan sekitar 160 tentara. Sekitar pukul 4:20 sore, tragedi terjadi ketika Super 61, helikopter Black Hawk yang dipiloti oleh CW3 Cliff “Elvis” Wolcott dan CW3 Donovan “Bull” Briley, ditabrak oleh RPG-7 dan jatuh. Kedua pilot tewas, dan dua kepala kru terluka parah.
Dua penembak jitu Operasi Khusus, Sersan Staf Daniel Busch dan Sersan Jim Smith, selamat dari kecelakaan itu dan mempertahankan lokasi tersebut. MH-6 Little Bird “Star 41,” yang dipiloti oleh CW3 Karl Maier dan CW5 Keith Jones, mendarat di dekatnya, dan Jones dengan berani membawa Busch ke tempat yang aman di helikopter di bawah tembakan hebat, sementara Maier memberikan perlindungan. Meskipun mengalami luka parah, Busch dengan heroik mempertahankan lokasi tersebut hingga evakuasinya; Namun, ia kemudian meninggal karena luka-lukanya.
Kecelakaan Super 64
Saat operasi penyelamatan Super 61 sedang berlangsung, miskomunikasi antara konvoi darat dan tim penyerang menyebabkan penundaan yang kritis. Selama kekacauan ini, Super 64, yang dipiloti Michael Durant, juga ditembak jatuh oleh RPG-7 sekitar pukul 4:40 sore. Sebagian besar tim penyerang bergegas menyelamatkan awak Super 61, membuat mereka terjebak dalam tembakan hebat sepanjang malam, meskipun mendapat dukungan udara.
Di lokasi kecelakaan Super 64, Sersan Mayor Gary Gordon dan Sersan Satu Randy Shughart, keduanya penembak jitu elit, mengajukan diri untuk ditempatkan guna melindungi lokasi kecelakaan. Setelah ditolak izin dua kali, permintaan ketiga mereka disetujui, dan mereka dengan heroik menahan laju milisi Somalia, yang menimbulkan banyak korban. Super 62 memberikan dukungan tembakan hingga rusak oleh RPG, dan berhasil mendarat dengan selamat setelahnya.
Ketika Gordon terbunuh, Shughart menyerahkan senjatanya kepada Durant dan terus menahan massa selama sekitar 10 menit sebelum diserbu dan dibunuh. Milisi Somalia menangkap Durant, yang hampir dipukuli hingga tewas sebelum ditawan. Atas keberanian luar biasa mereka, MSG Gary Gordon dan SFC Randy Shughart dianugerahi Medali Kehormatan secara anumerta — yang pertama kali diberikan sejak Perang Vietnam.
Bantuan dari Penjaga Perdamaian PBB
Setelah menyadari bahwa mereka tidak bisa mengendalikan situasi, Amerika Serikat harus meminta bantuan dari pasukan Penjaga Perdamaian PBB yang terdiri dari berbagai negara, termasuk Pakistan dan Malaysia. Pasukan ini akhirnya memainkan peran penting dalam membantu mengevakuasi pasukan AS yang terjebak di kota. Bantuan ini membantu mengurangi jumlah korban, tetapi tidak dapat mengubah kegagalan operasi secara keseluruhan.
“Dalam situasi kritis ini, pasukan penjaga perdamaian dari negara lain, termasuk Malaysia dan Pakistan, turut membantu dalam upaya penyelamatan. Meskipun mereka tidak terlibat langsung dalam operasi, keberadaan mereka memberikan dukungan tambahan bagi pasukan AS yang terjebak dalam pertempuran.”
Keterlibatan pasukan PBB dalam penyelamatan ini menunjukkan bahwa meskipun Amerika Serikat memiliki pasukan elit dan teknologi canggih, mereka tidak dapat menyelesaikan misi ini tanpa bantuan sekutu mereka. Ironisnya, operasi ini yang awalnya direncanakan sebagai demonstrasi kekuatan AS malah menjadi contoh ketergantungan mereka pada kekuatan multinasional untuk menyelesaikan krisis.
Akhir yang Memalukan
Pada akhir pertempuran, 18 tentara Amerika tewas, 73 terluka, dan ratusan milisi serta warga sipil Somalia juga kehilangan nyawa. Lebih dari itu, citra militer AS sebagai kekuatan tak terkalahkan ternoda. Gambar-gambar tentara AS yang terbunuh dan diseret di jalanan Mogadishu tersebar di media internasional, memicu kemarahan publik di Amerika Serikat dan memaksa pemerintah untuk meninjau ulang kehadiran mereka di Somalia.
Operasi Gothic Serpent menjadi simbol kesalahan perhitungan militer dan politik yang berujung pada bencana. Alih-alih menunjukkan keunggulan militer mereka, Amerika Serikat terjebak dalam situasi yang tidak mereka prediksi, dan harus mundur dari Somalia tanpa mencapai tujuan mereka, seperti yang akan mereka lakukan di Vietnam serta kelak di Afganistan.
Inspirasi Film “Black Hawk Down”
Tragedi Mogadishu ini kemudian diabadikan dalam buku dan film “Black Hawk Down” yang rilis pada tahun 2001. Film ini menggambarkan betapa brutalnya pertempuran tersebut, sekaligus menyoroti keputusasaan dan keberanian para tentara AS yang terjebak di medan pertempuran. Film ini juga menjadi pengingat bagi militer AS tentang bahaya meremehkan lawan dan pentingnya strategi yang matang dalam setiap operasi militer, khususnya di wilayah konflik yang kompleks seperti Somalia.
Kesombongan militer dapat berujung pada bencana
Operation Gothic Serpent adalah contoh klasik bagaimana kesombongan militer dapat berujung pada bencana. Amerika Serikat, yang datang ke Somalia dengan anggapan bahwa mereka bisa dengan mudah menyelesaikan misi mereka, akhirnya dipermalukan oleh milisi lokal dan rakyat yang jauh lebih terorganisir daripada yang mereka duga.
Tragedi ini mengajarkan pelajaran penting tentang perencanaan, ketahanan, dan penghormatan terhadap musuh, bahkan ketika musuh tersebut dianggap tidak sebanding secara militer. Meski gagal, peristiwa ini tetap memberikan pandangan yang mendalam tentang betapa rumitnya operasi militer dalam konteks perang gerilya dan konflik internal.
Baca juga : Berapa Banyak Anggota Militer Amerika Dibayar di Setiap Tingkat Gaji
Baca juga : 13 Juli 1977, Ogaden War : Somalia menyatakan perang terhadap Ethiopia