- 23 Desember 2002: Ketika UAV Pertama Kali Menghadapi Realitas Perang
- Dogfight Tanpa Pilot: Saat MiG-25 Irak Menembak Jatuh MQ-1 Predator Amerika
Pertempuran Udara Pertama: Ketika MiG-25 Irak Menjatuhkan MQ-1 Predator AS
ZONA PERANG (zonaperang.com) Pada 23 Desember 2002, sebuah peristiwa bersejarah terjadi di langit Irak. Sebuah pesawat tempur MiG-25 Foxbat milik Angkatan Udara Irak berhasil menembak jatuh sebuah pesawat nirawak (Unmanned Aerial Vehicle/UAV) MQ-1 Predator milik Angkatan Udara Amerika Serikat dan Badan Intelijen Pusat (CIA). Kejadian ini menjadi catatan pertama kalinya dalam sejarah pertempuran udara yang melibatkan kendaraan udara tak berawak.
Kejadian ini bukan sekadar insiden biasa, melainkan simbol perubahan dalam strategi perang udara. MQ-1 Predator bukan sekadar drone pengintai biasa; pesawat ini dilengkapi dengan rudal udara-ke-udara Stinger dan diperintahkan untuk melawan jet tempur Irak. Namun, dalam duel udara yang tidak seimbang, teknologi tanpa awak kala itu masih belum mampu menandingi kecepatan dan kemampuan manuver pesawat tempur berawak.
MQ-1 Predator
MQ-1 Predator sendiri adalah pesawat pengintai tanpa awak yang oleh Angkatan Udara AS digambarkan sebagai sistem kendaraan udara tak berawak ketinggian menengah dengan daya tahan tinggi. Pesawat ini memiliki kemampuan untuk membawa dan menggunakan misil anti tank AGM-114 Hellfire dan telah digunakan dalam berbagai operasi militer di Afganistan, Bosnia, Kosovo, Irak, dan Yaman sejak 1995. Predator mampu terbang dengan kecepatan 217 per jam hingga ketinggian 7,600 m dan menempuh jarak 1,250 km.
Mig-25 Iraqi Air Force (IQAF atau IrAF)
Pada tanggal 17 Januari 1987, sebuah MiG-25PDS Irak menembak jatuh sebuah F-14A Tomcat Iran dengan rudal R-40. Pilot Iran Mayor Bahram Ghaneie diselamatkan, dan operator Letnan Reza Vadtalab tewas. Untuk waktu yang lama, diyakini bahwa kemenangan udara ini telah dicapai oleh MiG-23ML Flogger-G.
Selama Perang Teluk Persia 1991, sebuah F/A-18 Hornet Angkatan Laut AS, yang dipiloti oleh Letnan Komandan Scott Speicher, ditembak jatuh pada malam pertama perang di dini hari tanggal 17 Januari 1991 oleh rudal yang ditembakkan oleh MiG-25.
Pada tanggal 30 Januari 1991, sebuah MiG-25 milik IQAF hanya dianggap merusak(oleh Barat) sebuah F-15C Eagle milik USAF dengan rudal R-40 dalam Pertempuran Udara Samurra. Irak mengklaim bahwa pesawat itu ditembak dan jatuh berserakan di padang pasir Arab Saudi.
Baca juga : Samurra Air Battle 1991: Duel Legendaris MiG-25 vs F-15 di Langit Irak
Baca juga : Radar Smerch MiG-25: “Mata” yang Dibangun untuk Menembus Jamming berat
Awal Insiden: Misi Pengintaian di Wilayah Irak
Menjelang invasi AS ke Irak pada 2003, ketegangan antara kedua negara semakin meningkat. AS mengandalkan drone Predator untuk mengawasi wilayah udara Irak, mengumpulkan intelijen tentang pergerakan militer Saddam Hussein. Namun, Irak juga tidak tinggal diam. Jet tempur Soviet MiG-25, yang dikenal karena kecepatannya yang luar biasa dan radarnya yang kuat, masih menjadi ancaman bagi pesawat-pesawat AS di wilayah udara mereka.
Pada hari itu, sebuah General Atomics MQ-1 Predator yang sedang melakukan misi pengintaian terdeteksi oleh sistem pertahanan Irak. Sebuah MiG-25PDS kemudian dikirim untuk mencegat drone tersebut.
Duel Singkat di Langit
Alih-alih menghindar, operator Predator yang berbasis jauh di tanah Amerika memutuskan untuk melawan. Drone itu melepaskan rudal udara-ke-udara pencari panas Stinger ke arah MiG-25. Namun, FIM-92 Stinger bukanlah senjata yang dirancang untuk menghadapi jet tempur dengan kecepatan tinggi seperti Foxbat. Rudal itu gagal mencapai targetnya.
Sebaliknya, MiG-25 membalas dengan meluncurkan rudal raksasa R-40 (AA-6 Acrid), sebuah rudal masif yang dirancang untuk menghancurkan pesawat berkecepatan tinggi(North American XB-70 Valkyrie). Predator tidak memiliki peluang untuk menghindar. Dalam hitungan detik, drone itu meledak di udara, menjadikannya korban pertama dalam sejarah pertempuran udara antara pesawat nirawak dan jet tempur berawak.
“MQ-1 Predator adalah salah satu drone paling ikonik yang digunakan oleh AS dalam operasi pengintaian dan serangan. Dilengkapi dengan kemampuan untuk terbang dalam waktu lama dan membawa persenjataan, Predator menjadi simbol transformasi militer modern yang mengandalkan teknologi tanpa awak. Namun, pada hari itu, Predator menghadapi lawan yang tangguh: MiG-25, pesawat tempur berkecepatan dan berkemampuan tinggi yang dirancang oleh Uni Soviet pada era Perang Dingin.”
Drone belum mampu menggantikan peran pesawat tempur berawak dalam pertempuran udara saat itu
Meskipun Predator hancur, peristiwa ini memberikan pelajaran berharga bagi militer di seluruh dunia. Pertama, drone, meskipun efektif dalam misi pengintaian dan serangan terbatas, tetap rentan dalam pertempuran udara langsung. Kedua, peristiwa ini menegaskan bahwa teknologi tinggi tidak selalu menjadi jaminan kemenangan di medan perang; faktor manusia, strategi, dan kecepatan respon masih memainkan peran krusial.
Insiden ini menunjukkan bahwa pada saat itu, drone belum mampu menggantikan peran pesawat tempur berawak dalam pertempuran udara. Namun, peristiwa ini juga menandai era baru dalam peperangan, di mana teknologi tanpa awak mulai digunakan dalam skenario tempur yang lebih agresif.
Dua dekade setelah kejadian itu, drone kini memainkan peran dominan dalam peperangan modern, dari serangan presisi hingga misi pengintaian di zona konflik seperti Ukraina dan Timur Tengah. Namun, pertempuran udara antara drone dan pesawat tempur berawak tetap jarang terjadi, meskipun kemungkinan besar akan meningkat seiring dengan berkembangnya teknologi kecerdasan buatan dan otonomi pesawat nirawak.
Baca juga : Ketika jet tempur Mig-25 Foxbat India terbang tanpa perlawanan di atas Islamabad
Baca juga : 15 Juli 1849, Serangan Udara dan penggunaan drone tidak berawak pertama kali dalam sejarah oleh Austria