- Malari 1974: Ketika Mahasiswa Melawan Dominasi Modal Asing
- Malari: Refleksi Sejarah dan Relevansinya bagi Demokrasi Indonesia
- Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah demonstrasi mahasiswa yang berujung pada kerusuhan besar pada 15-16 Januari 1974. Peristiwa ini dipicu oleh kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, ke Indonesia. Mahasiswa memprotes korupsi, tingginya harga, dan ketidaksetaraan investasi asing. Aksi demonstrasi berubah menjadi kerusuhan yang menyebabkan kerusakan dan korban jiwa
ZONA PERANG (zonaperang.com) Pada 15–16 Januari 1974, Jakarta menjadi saksi sebuah gelombang protes mahasiswa yang berujung pada kerusuhan besar, dikenal sebagai Peristiwa Malari atau Malapetaka Lima Belas Januari. Peristiwa ini bukan sekadar demonstrasi biasa, tetapi mencerminkan ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru dan masuknya modal asing, terutama dari Jepang.
Kerusuhan ini juga menandai babak penting dalam sejarah politik Indonesia, yang membawa perubahan signifikan terhadap kebijakan pemerintahan Presiden Soeharto.
Mengungkap Peristiwa Malapetaka Limabelas Januari
Pada awal tahun 1970-an, Indonesia berada dalam fase pembangunan ekonomi yang pesat, dengan investasi asing, khususnya dari Jepang, mendominasi berbagai sektor industri. Namun, banyak kalangan, terutama mahasiswa dan kaum intelektual, menganggap bahwa kebijakan ekonomi ini hanya menguntungkan segelintir elite tanpa memberikan kesejahteraan bagi rakyat kecil. Kesenjangan ekonomi yang semakin nyata menimbulkan ketidakpuasan, yang kemudian berkembang menjadi gerakan protes.
Puncak ketegangan terjadi pada 14 Januari 1974, ketika Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, mengunjungi Indonesia. Kunjungan ini memicu demonstrasi besar-besaran yang dipimpin oleh mahasiswa Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan berbagai kampus lainnya. Mereka menuntut kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada rakyat serta mengkritik praktik korupsi di pemerintahan.
Baca juga : Percobaan Kudeta Maroko 1972: Upaya Gagal untuk Menggulingkan Raja Hassan II yang Pro-Zionis
Baca juga : 13 Mei 1969, Kerusuhan besar antara suku Cina dan Melayu di Malaysia
Dari Salemba ke Senen: Tragedi Mahasiswa di Bawah Bayang Jepang
Pada 15 Januari 1974, demonstrasi yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi aksi kekerasan. Sejumlah kelompok yang tidak diketahui identitasnya mulai melakukan pembakaran, perusakan, dan penjarahan di berbagai sudut kota Jakarta. Sejumlah mobil, bangunan, serta pusat-pusat perdagangan yang terkait dengan modal asing menjadi sasaran utama.
Situasi semakin tidak terkendali pada 16 Januari, memaksa pemerintah untuk menerjunkan militer guna mengendalikan keadaan.
1974: Hari Jakarta Terbakar demi Tiga Tuntutan
Bayangkan suasana Jakarta pada malam 14 Januari 1974. Udara terasa tegang, lampu-lampu kota menyala redup, dan bisik-bisik keresahan bergema di kalangan mahasiswa. Esok harinya, Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma untuk kunjungan kenegaraan. Namun, apa yang seharusnya menjadi pertemuan diplomatik biasa berubah menjadi salah satu babak paling kelam dalam sejarah Orde Baru: Peristiwa Malari—Malapetaka Limabelas Januari. Demonstrasi mahasiswa yang awalnya damai membara menjadi kerusuhan besar, meninggalkan jejak asap, puing-puing, dan pertanyaan yang belum terjawab hingga kini.
Peristiwa ini berpuncak pada 15–16 Januari 1974, saat ribuan mahasiswa dari Universitas Indonesia, Trisakti, dan berbagai kampus lain turun ke jalan. Mereka bukan sekadar berteriak; mereka membawa tiga tuntutan besar—dijuluki Tritura Baru: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi yang didominasi modal asing, dan pembubaran Asisten Pribadi Presiden (Aspri) Soeharto.
Kunjungan Tanaka menjadi simbol yang sempurna bagi kemarahan mereka. Jepang, dengan investasinya yang menguasai 40% modal asing di Indonesia, dianggap sebagai predator ekonomi yang memeras rakyat dan membunuh pengusaha lokal. Mobil-mobil Toyota dan Honda, toko-toko berbau Jepang, bahkan proyek Pasar Senen senilai Rp2,6 miliar, menjadi sasaran amuk massa.
Long march & Pasar Senen
Aksi dimulai dengan long march dari kampus UI di Salemba menuju Trisakti di Grogol. Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa UI, memimpin dengan penuh semangat. Pada tengah hari, ribuan mahasiswa dan pelajar berkumpul, membakar patung Tanaka sebagai lambang penolakan.
Namun, sore itu, situasi berubah drastis. Provokator misterius—yang hingga kini identitasnya debatable—menyusup, mengubah unjuk rasa menjadi chaos. Sebanyak 807 mobil dan 187 motor dibakar, 144 bangunan rusak, 160 kilogram emas dijarah, 11 orang tewas, dan ratusan lainnya luka-luka. Jakarta berubah menjadi lautan api dan kepanikan.
“Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Sutopo Juwono juga dicopot”
Pemerintah Orde Baru bertindak cepat. Soeharto, yang malu di depan tamu negara, mengantar Tanaka pulang dengan helikopter demi keamanan. Aparat menangkap 775 orang, termasuk Hariman, yang akhirnya divonis 6,5 tahun penjara atas tuduhan subversi. Jenderal Soemitro, Panglima Kopkamtib, dicopot dari jabatannya, diduga karena rivalitas dengan Ali Moertopo, Aspri Soeharto yang juga Kepala Operasi Khusus. Pemerintah menuding mahasiswa sebagai biang keladi, tapi Hariman dan kawan-kawan bersikeras: “Kami berdemo damai di Thamrin, kerusuhan terjadi di Senen—siapa dalangnya?”
Baca juga : Merdeka atau Mati: Legasi Bung Tomo dalam Sejarah Indonesia
Baca juga : 21 April 1989, Mahasiswa China protes di Lapangan Tiananmen
Dokumen Ramadi
Malari bukan sekadar kerusuhan; ia adalah cermin ketegangan sosial dan politik di awal Orde Baru. Mahasiswa melihat investasi Jepang—yang mendominasi tekstil, elektronik, hingga otomotif—sebagai neokolonialisme baru. Mereka juga muak dengan korupsi elit dan ketimpangan ekonomi. Namun, ada dugaan lain: peristiwa ini dimanfaatkan untuk adu domba di kalangan militer. “Dokumen Ramadi,” yang diserahkan Ali Moertopo ke Soeharto, mengisyaratkan rencana kudeta oleh “jenderal berinisial S”—entah benar atau sekadar propaganda untuk menyingkirkan Soemitro.
Dampak Malari terasa panjang. Pemerintah membubarkan Aspri, tapi aliran modal Jepang tak surut. Kebebasan pers dan mahasiswa ditekan lebih keras—12 surat kabar ditutup, tokoh seperti Mochtar Lubis ditahan tanpa pengadilan. Bagi Soeharto, Malari adalah tamparan yang membuatnya semakin paranoid terhadap kritik. Bagi mahasiswa, ini adalah pengorbanan yang tragis: Hariman kehilangan ayah dan anak kembarnya selama dipenjara, istrinya jatuh sakit.
Konsekuensi
Peristiwa Malari memiliki dampak yang luas, baik dalam aspek politik, sosial, maupun ekonomi. Beberapa akibat utama dari peristiwa ini antara lain:
1. Pengetatan Pengawasan terhadap Gerakan Mahasiswa
Pemerintah Orde Baru merespons dengan membatasi ruang gerak mahasiswa melalui pembubaran Dewan Mahasiswa dan penguatan kontrol terhadap kampus.
2. Munculnya Kebijakan yang Lebih Sentralistik
Setelah peristiwa ini, Soeharto memperkuat kendali politiknya dengan membatasi oposisi serta memperketat pengawasan terhadap media massa dan organisasi kemasyarakatan.
3. Reformulasi Kebijakan Investasi Asing
Meski investasi asing tetap berlanjut, pemerintah mulai lebih berhati-hati dalam menyusun kebijakan ekonomi agar tidak memicu ketidakpuasan publik.
4. Penindakan terhadap Tokoh-tokoh Kritikal
Sejumlah tokoh yang dianggap bertanggung jawab, termasuk Jenderal Sumitro dan beberapa aktivis mahasiswa, ditangkap dan diperiksa. Hal ini semakin memperlihatkan pendekatan keras pemerintah dalam menangani oposisi.
Makna Historis dan Pelajaran dari Peristiwa Malari
Peristiwa Malari menjadi simbol ketidakpuasan terhadap kebijakan pembangunan yang tidak merata. Ini juga menjadi pengingat bahwa stabilitas politik dan ekonomi harus selalu disertai dengan pemerataan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Selain itu, peristiwa ini menunjukkan pentingnya kebebasan berekspresi dalam kehidupan demokrasi serta bagaimana peran mahasiswa sebagai agen perubahan.
Kini, lebih dari lima dekade sejak peristiwa ini terjadi, refleksi terhadap Malari tetap relevan dalam memahami dinamika sosial-politik di Indonesia. Sejarah ini mengajarkan bahwa kritik terhadap kebijakan pemerintah adalah bagian dari demokrasi yang sehat, dan penting bagi pemerintah untuk mendengarkan aspirasi rakyatnya guna menghindari ketidakstabilan yang serupa di masa depan.
Referensi:
- Crouch, Harold. The Army and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press, 1978.
- Siregar, Hariman. Malari: Sebuah Kesaksian. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994
- Intisari.grid.id – Artikel “Mengungkap Peristiwa Malari 1974, Sejarah Kelam yang Terlupakan oleh Bangsa Indonesia
- Tempo.co – Artikel “50 Tahun Peristiwa Malari, Salah Satu Ikon Demonstrasi Mahasiswa”4 dan “Mengenang Malari 1974: Apa yang Menjadi Penyebab Rusuh Demonstrasi Mahasiswa”
Baca juga : Kekuatan Rakyat: Ketika Demonstrasi Meruntuhkan Rezim dan Godaan Kekuasaan Menciptakan Diktator Baru
Baca juga : The Night Comes for Us: Kekerasan Tanpa Batas dalam Dunia Kejahatan Jakarta