ZONA PERANG (zonaperang.com) – Senin malam, 29 Oktober 1984 pukul 21.15, terlihat asap mengepul dari gudang tersebut. Marinir yang berjaga pun segera bertindak. “Anggota jaga segera bertindak untuk memadamkannya dan berhasil. Namun tidak lama kemudian, asap timbul lagi yang diikuti oleh letupan-letupan kecil sehingga gudang tersebut ditinggalkan,” rilis Berita Yudha (5/11/1984) yang mengutip keterangan dari Komandan Jenderal (Danjen) Marinir, Brigadir Jenderal Moentaram.
Evakuasi pun mau tidak mau harus dilakukan. Selain personel organik, di perumahan Marinir juga ada keluarga-keluarga prajurit yang berstatus sipil. Seluruh penghuni komplek perumahan pun diberitahu untuk mengungsikan diri. “Semua petugas tetap tinggal di tempat hingga dini hari.
Dengan demikian meski rumah-rumah mereka hancur, tetapi penghuninya dapat diselamatkan,” kutip Berita Yudha (5/11/1984). Sebelum ledakan, menurut Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana M. Romly, terlebih dahulu terjadi kebakaran sekitar setengah jam.
“Usaha memadamkan api sudah dilakukan dengan mengerahkan unit mobil pemadam kebakaran TNI-AL dan Pemda DKI Jakarta, tapi keadaan memaksa petugas kebakaran mundur,” aku Romly seperti dikutip Berita Yudha (7/11/1984).
Setelahnya, timbul ledakan dari peluru-peluru berat yang menua di dalam gudang. Musibah yang menurut Romly “terjadi diluar kekuasaan kita” itu tak hanya mengganggu komplek korps Marinir. Masyarakat non-militer yang ada di luar ksatrian Cilandak juga terkena imbasnya. Menurut laporan Berita Yudha (31/10/1984),
Baca Juga : 17 Oktober 1968, Usman dan Harum Marinir Indonesia digantung di Singapura (Hari ini dalam Sejarah)
Hingga Depok dan Komdak
“Kebakaran gudang mesiu Ksatrian Marinir (TNI-AL) di Cilandak, Jakarta, Senin malam cukup mencekamkan penduduk sekitar lokasi kebakaran.” Banyak warga yang tinggal di Jagakarsa dan Lenteng Agung terpaksa mengungsi. Beberapa orang bahkan mengungsi hingga ke Depok, Jawa Barat. Aula Kota Administratif Depok sempat beralih fungsi menjadi tempat penampungan.
kerusakan terasa hingga ke kaca-kaca di rumah sakit Umum Fatmawati yang berjarak cukup jauh(2,6km) hingga pasien harus diungsikan ke Rumah sakit Pusat Pertamina, bahkan banyak amunisi yang terlempar hingga melingkupi depok dan polda metro jaya(komdak)
Berita Yudha (2/11/1984) mencatat: dari 4821 pengungsi, 339 orang belum bisa pulang ke rumah akibat ledakan. Rumah mereka tak bisa dihuni lagi. Lima hari kemudian, Berita Yudha melaporkan, 3.714 rumah rusak, 224 orang terluka, dan 17 orang meninggal dunia.
Meski peristiwa ledakan terjadi hampir sepekan sebelumnya, daerah sekitar masih dalam bahaya. Banyak peluru yang terlempar ke daerah sekitar. “Wilayah dengan radius sekitar 200 sampai 300 meter dari pusat ledakan gudang mesiu Korps Marinir di Cilandak Jakarta Selatan dinyatakan sebagai: Wilayah Merah, karena masih banyak berserakan amunisi aktif,” catat Berita Yudha (07/11/1985).
Tidak amannya daerah itu pun ikut mencelakakan personel Marinir yang mengadakan pembersihan. “Pada 1 November, ada satu proyektil yang sedang diangkut oleh 4 anggota Marinir ternyata di dalam proyektil itu masih ada sisa isian yang mungkin karena goncangan waktu diangkat tiba-tiba mengeluarkan semburan asap panas, akibat semburan yang mengagetkan itu, 3 orang diantara 4 anggota Marinir tersebut mengalami luka ringan,” tulis Berita Yudha (03/11/1984).
Menurut M. Romly seperti dikutip Berita Yudha (07/11/1985), “pengamanan wilayah merah yang dibatasi dengan tali rafia akan memakan waktu satu bulan dan amunisi tersebut akan dikirim ke Marunda, kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.”
Baca Juga : Peristiwa Pemberontakan Kapal Tujuh(Zeven Provinciën), Perlawanan Kelasi Bumiputra di kapal Belanda
Baca Juga : 19 Desember 1961 – Operasi TRIKORA : Pembebasan Irian Barat(Papua) Dimulai
Diduga Karena Peluru Mortir
Ledakan tersebut, menurut laporan majalah Tempo (10/11/1984), telah meludeskan 2.000 ton amunisi yang terdiri dari peluru roket BM-14 (Rusia), howitzer 122 mm, mortir, granat dan lainnya ex Trikora. Dicurigai sumber penyebab ledakan adalah peluru mortir 80 mm buatan Yugoslavia. Sebab jenis peluru ini memakai mesiu cair.
Media yang terkait militer lainnya, Angkatan Bersenjata (01/11/1984), juga mencatat: “Semua korban baik yang luka-luka atau sakit maupun yang meninggal akibat kecelakaan kebakaran gudang amunisi Marinir Cilandak, akan mendapat bantuan dari pemerintah DKI Jaya berupa perawatan cuma-cuma atau gratis di rumah-rumah sakit umum maupun rumah sakit ABRI.”
Tahun 1984 ini pun akhirnya menjadi tahun tersibuk bagi dua sahabat: Benny Moerdani dan Try Sutrisno. Satu bulan sebelum ledakan, di Tanjung Priok, Jakarta Utara, orang-orang Islam terbunuh pada 12 September 1984 dalam kerusuhan berdarah yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Tanjung Priok.
Ketika ledakan terjadi, Letnan Jenderal Benny Moerdani adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang membawahi semua angkatan. Termasuk Angkatan Laut yang menaungi Korps Marinir. Sementara itu, Mayor Jenderal Try Sutrisno adalah Panglima Kodam Jakarta Raya (Jaya), yang wilayah teritorialnya meliputi Cilandak, Jakarta Selatan. Keduanya tentu sama-sama mengunjungi tempat kejadian.
Selain Benny dan Try, Presiden Soeharto juga berkunjung ke tempat kejadian. Seperti disiarkan TVRI dalam Dunia Dalam Berita, beberapa hari setelah kejadian, Soeharto datang dengan pakaian safari dan memegang tongkat. Duo Jenderal Benny dan Try tampak mendampingi Presiden. Kala itu, menurut Try selaku Pangdam Jaya, kerugian setidaknya mencapai Rp1,3 milyar.(kurs 1 usd= Rp970 saat kejadian)
Baca juga : Mengapa Pejuang Palestina & Hezbollah mengaburkan atau menyamarkan gambar lingkungan perang mereka?