Abdullah bin Saba’ al-Himyari / Abdallah ibn Saba atau Ibnu Saba’ (juga kadang-kadang disebut sebagai Ibnu Saudah, Ibnu Wahb, atau Ibnu Harb).
Menurut jewishencyclopedia, Abdullah bin Saba adalah seorang Yahudi suku Himyar dari Yaman. Ia hidup pada abad ketujuh, menetap di Yastrib (Madinah) dan memeluk Islam—sesuatu yang oleh sejarah kemudian dipertanyakan komitmen keislamannya.
Para ahli sejarah telah menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah tokoh nyata dan bukan fiktif belaka. Ia berperan menyebarkan fitnah di antara kaum muslimin mengenai kepemimpinan Utsman bin Affan.
Di akhir pemerintahan Utsman, Abdullah bin Saba’ menyebarkan fitnah di antara masyarakat. Ia membawa penafsiran baru dari ayat-ayat Al-Quran, diikuti kebanyakan orang-orang badui dan pengikut hawa nafsu.
Membuat Propaganda
Bukti kesesatannya, pernah ia berkata, “Hebat, ada orang yang meyakini bahwa Nabi Isa akan kembali (ke dunia), tetapi mendustakan bahwa Muhammad akan kembali. Padahal Allah swt. Berfirman, “Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Quran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.’ (QS. Al-Qashash:85) Muhammad lebih berhak untuk kembali (ke dunia) daripada Isa.” Ia pun membuat propaganda terhadap Rasul.
Baca Juga : Kisah Heroik Ja’far bin Abi Thalib, Bapak orang-orang Miskin dan Pemilik 2 Sayap di Surga
Dan sampailah hal itu kepada telinga orang jahil nan berpenyakit hatinya, ia mulai melemparkan ide-ide untuk merebut hak pewaris Nabi, yaitu Utsman. Buah pemikirannya ini disebar lewat pendukungnya ke kota-kota kaum muslimin saat itu. Hingga banyak kaum muslimin membenarkan kabar ini. Ditambah Abdullah bin Saba’ memprovokasi penduduk Syam(Siria, Lebanon, Yordania, Palestina)akan tetapi ada Muawiyah bin Abu Sufyan di sana, yang senantiasa sigap mengawasi gerak-geriknya.
Menabur Kebencian
Tak berhenti sampai di situ, Abdullah bin Saba’ melanjutkan aksinya dengan menabur benih-benih kebencian pada pemerintah Hukaim bin Jabalah. Secara diam-diam mengumpulkan pengikut, dan terdengar oleh gubernur Bashrah(Irak), sehingga ia diusir dari sana, namun meninggalkan para pengikutnya.
Ia pun berpaling ke Kuffah, dengan sambutan semarak sebab banyak orang-orang menyimpang di sana. Namun, kabar kedatangannya langsung terdengar oleh gubernur Kuffah(Irak). Sehingga ia diusir. Lantas, pergi ke Mesir dan menetap di sana. Juga berhubungan dengan para pengikutnya yang tersebar di beberapa kota.
Adapun saat itu, Mesir berada di bawah kendali gubernur ‘Amr bin al-‘Ash, sehingga para pemberontak tidak mendapat ruang menyebarkan pemikiran mereka. Namun, ketika ‘Amr digantikan oleh Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh, mereka lantang menyuarakan syubhat( tentang keadaan yang samar tentang kehalalan atau keharaman dari sesuatu).
Menerbarkan Fitnah
Pada awalnya, ia dikenal dengan penyebar ajaran Abdullah(dirinya sendiri). Ketika Ali memimpin, ia menjilat dengan mengatakan bahwa “Anda adalah Anda!” dengan maksud mengultuskan Ali bin Abi Thalib. Inilah metode paling jitu dalam menebarkan fitnah, yaitu menyebarkan desas-desus dari mulut ke mulut mengatasnamakan sahabat senior.
Dan itu terus berlangsung selama kurun waktu enam tahun, bersama pengikutnya menyebarkan makar. Hingga akhirnya pada tahun 35 H, ia berhasil mengeksekusi Khalifah Utsman. Fitnah kemudian menyeruak dari Kuffah.
Mengkultuskan Ali
Tidak hanya berada di balik pembunuhan Ustman, Abdullah bin Saba pun berperan besar atas pembunuhan Ali. Ketika Ali sudah terbunuh, ia mengatakan Ali masih hidup, dan tak pernah terbunuh, bahwa sebagian dari Ketuhanan itu tersembunyi di dalam dirinya, dan bahwa setelah waktu tertentu, Ali akan kembali ke bumi untuk menegakkan keadilan.
Dalam konteks ini, Abdullah bin Saba telah meletakkan konsep Ali(dianggap Nabi terakhir dan Al Quran tidak lengkap) sama sepertinya Mesias dalam keyakinan Kristen. Keyakinan ini sampai kini terus melekat dalam sebagian pengikut Syi’ah.
Politik
Abdullah Bin Saba’ telah menggulirkan isu politik dalam bungkus agama, antara lain:
1. Ali Bin Abi Talib telah menerima wasiat Rasulullah sebagai pengganti beliau (An-Naubakhti, Firaq as-Syi’ah, hlm. 44).
2. Umat Islam yang membaiat ketiga khalifah yang ia anggap zalim dan merampas hak kekhilafahan (yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman) sebagai kafir (Loc. Cit.)
3. Ali Bin Abi Talib sebagai Pencipta dan Pemberi rizki semua makhluk (Ibnu Badran, Tahdzibut-Tarikh Ad-Dimasyqy, VII/430)
4. Nabi Muhammad akan hidup kembali sebelum kiamat (Op.Cit. 428).
5. Imam Ali tidak wafat (Abd. Thahir Bon Muhammad al-Baghdadi, Al-Firaq Bainal Firaq, hlm. 234).
6. Inkarnasi Ruh Quds ke dalam para Imam Syi’ah (Al-Bad’u wat-Tarikh, 1996, Juz V/129).
Ujaran Kebencian
Dari ujaran kebencian (hate speech) inilah kudeta berdarah terhadap khalifah Utsman Bin Affan tetjadi. Akan tetapi jika dianalisis secara sederhana saja, faktor intrinsiklah yang telah berpeluang untuk diintervensi, yaitu:
a. Lahirnya embrio partai politik dengan platform utamanya suksesi sejak wafatnya Nabi Muhammad. Apalagi ketika pelantikan Khalifah Utsman Bin Affan, Abu Sufyan mendatangi kubur sahabat Hamzah seraya berkata: “Hamzah, lihat siapa yang sekarang berkuasa?” sebagai indikator telah transparannya intrik-intrik politik waktu itu.
b. Penurunan imunitas umat tersebut akibat kontestasi politik yang belum mapan, sehingga Abdullah Bin Saba’ yang sesungguhnya tidak termasuk bilangan orang istimewa, mampu memorakporandakan sistem politik. Hal itu karena dia secara intelektual maupun nominal, orang Yahudi yang seperti dia hanyalah sehitungan jari.
c. Akibatnya, umat gampang dimainkan oleh Abdullah Bin Saba’. Jual mainan dari Si Yahudi hitam ini dibeli oleh fraksi muslim yang sedang berdiri pada barisan orang kecewa. Di antara mereka adalah Muhammad Bin Abu Bakar As-Siddiq, gubernur Mesir yang diangkat oleh khalifah Umar Bin Khatthab dicopot oleh Khalifah Utsman Bin Affan.
d. Beredarnya hadis-hadis dha’if dan maudhu’ tentang politik yang mulai mewarnai kontestasi perpolitikan dan menambah panasnya iklim politik saat itu.
e. Ambisi pribadi dengan ijtihad politik yang ingin mengubah sistem yang pro demokrasi (syura) menjadi sistem kerajaan yang feodalistik. Tatanan ini berlanjut hingga era pra modern.
f. Bergesernya sistem politik era Nabi yang berdasar “Kitab An-Nabi=Piagam Madinah” dengan berpayung al-Quran ayat Makiyah yang kemudian dikuatkan oleh ayat Madaniyah, menuju tatanan yang secara perlahan semakin eksklusif kekabilahan.
https://www.youtube.com/watch?v=y0e76gVXA3c
Baca Juga : Daftar Nama Besar Para Pejuang Islam Sepanjang Masa
Baca Juga : Kisah Sahabat Nabi: Saad bin Muadz, Kematian yang Mengguncang Arsy