Buku ini memperlihatkan tidak hanya perjalanan etnis Cina di Indonesia, tetapi juga perjalanan hubungan antara Republik Rakyat Cina (RRC) dan Republik Indonesia dalam kurun waktu yang dipenuhi dengan gejolak (1945- 1967). Penelitian ini bersumber dari arsip Kementrian Luar Negeri RRT yang sempat dibuka untuk para sejarawan/peneliti diplomasi.
ZONA PERANG(zonaperang.com) – Buku berjudul “Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnik Tionghoa 1945-1947” karya Taomo Zhou memuat cuplikan dialog antara pentolan PKI DN Aidit dan tokoh komunis, sekaligus pendiri Republik Rakyat China, Mao Zedong. Demikian disampaikan Prof Dewi Fortuna Anwar saat bedah buku itu, di Jakarta.
“Yang menarik dari buku ini adalah transkrip dari percakapan Mao Zedong dengan Aidit pada tanggal 5 Agustus,” katanya.
Dewi Fortuna dihadirkan bersama Prof Asvi Warman Adam dan Johanes Herliyanto untuk membedah buku setebal 526 halaman itu.
Transkrip percakapan kedua sosok itu dihadirkan pada bab delapan yang mengangkat sub judul Tiongkok dan Gerakan 30 September, khususnya halaman 362-363 buku itu, dibuka dengan pertanyaan Mao Zedong.
Dari catatan di buku, transkrip percakapan itu bersumber dari arsip pusat Partai Komunis China, tertanggal 5 Agustus 1965.
Baca juga : Aidit, PKI atau Nasionalis Religius?
Baca juga : Profil 10 Pahlawan Revolusi yang gugur akibat G30S/PKI di Lubang Buaya Jakarta dan Yogyakarta
Mao mendukung
Menurut Dewi Fortuna, pembahasan dalam buku yang dilengkapi dengan transkrip percakapan Aidit dengan Mao Zedong itu menunjukkan bahwa Beijing tidak terlibat langsung dengan G30S/PKI.
“Tetapi, bukan berarti Beijing tidak mendukung upaya PKI suatu saat untuk merebut kekuasaan, baik melalui jalan partai atau jalan revolusioner,” katanya.
Sementara itu, Prof A Dahana selaku penerjemah ahli buku itu mengakui buku tersebut merupakan yang pertama mengungkapkan secara langsung percakapan antara Aidit dengan Mao Zedong.
“Dari percakapan ini membuktikan bahwa Aidit mengatakan akan melakukan tindakan yang kemudian menjadi G30S/PKI. Mao mendukung, tapi Mao tidak pernah tahu kapan Aidit akan melakukan itu. Itu menurut buku ini,” katanya.
Tertangkapnya Dipa Nusantara Aidit(Ahmad Aidit)
DN Aidit sebagai Ketua Committee Central Partai Komunis Indonesia tertangkap pada 22 November 1965 di Solo. Ia diinterogasi di Markas Brigif IV dan rencananya akan dibawa ke Semarang untuk diadili. Namun, nyawa Aidit justru melayang di Markas Batalyon 444(saat ini Batalyon Infanteri Mekanis Raider 411/Pandawa/6/2 Kostrad), di tepi sumur tua.
Dilansir dari Buku “Seri Buku Tempo: Aidit”, setelah tertangkap, malam itu juga Kolonel Yasir Hadibroto selaku Komandan Brigade IV Infanteri menginterogasi Aidit di Markas Brigif IV Loji Gandrung, Solo. Dalam pemeriksaan verbal ini, Aidit mengaku bertanggung jawab atas peristiwa G30S/PKI.
“Saya adalah satu-satunya orang yang memikul tanggung jawab paling besar dalam peristiwa G30S/PKI yang gagal dan yang didukung oleh anggota-anggota PKI yang lain, dan organisasi massa di bawah PKI,” kata Aidit dalam surat pemeriksaan yang ditandatanganinya.
Pada dini hari setelah interogasi itu, Aidit berkali-kali meminta untuk bertemu dengan Presiden seumur hidup Sukarno. Yasir jelas menolaknya. “Jika diserahkan kepada Bung Karno, pasti akan memutarbalikkan fakta sehingga persoalannya akan jadi lain,” kata Yasir seperti dikutip oleh Tempo dari Buku Abdul Gafur “Siti Hartinah Soeharto: Ibu Utama Indonesia”.
Rencananya, dari Solo Aidit akan dibawa ke Semarang, yaitu Markas Kodam Diponegoro. Tetapi, Aidit tak pernah sampai ke Semarang atau bahkan diadili. Sewaktu meninggalkan Solo. Aidit diiringi dengan tiga buah mobil jip. Yasir berada di jip paling belakang bersama Aidit dengan tangan terborgol.
Di tengah perjalanan, alih-alih membawa Aidit ke Semarang, Yasir justru membawa Aidit ke Markas Batalion 444 tanpa sepengetahuan kedua jip yang lain.
Di sana, Yasir bertanya apakah ada sumur di markas tersebut. Mayor Trisno, yang merupakan komandan batalion kemudian menunjukkan sebuah sumur tua di belakang rumahnya. Aidit kemudian dibawa ke sumur tua tersebut.
Di tepi sumur tua itu, Yasir mempersilahkan Aidit untuk mengucapkan kata terakhir. “Aidit berteriak kepada saya, daripada saya ditangkap lebih baik kalian bunuh saja,” kata Yasir seperti dikutip oleh Tempo dari Buku Julius Pour “Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang”
Setelah itu Aidit sempat berpidato dengan berapi-api yang diakhir dengan teriakan “Hidup PKI!”. Yasir dan beberapa tentara yang berada di sana kemudian marah. Sejurus kemudian, “dor!. Dada Aidit berlubang dan kemudian tubuhnya terjungkal masuk ke dalam sumur tua. DN Aidit meninggal sebelum sempat diadili.
Sumber:
*Republika & Tempo
Baca juga : Surat Perintah 11 Maret 1966(SUPERSEMAR)
Baca juga : Operasi Trisula, saat rakyat dan TNI menumpas kekuatan PKI di Blitar Selatan