ZONA PERANG(zonaperang.com) Banyak di antara kita tidak sepenuhnya sadar, bahwa karir peradaban Islam di India tidak jauh berbeda dengan karir hebat peradaban Islam di Andalusia. Ulama-ulama India di masa kejayaan Islam telah menyumbangkan berbagai karya di berbagai disiplin ilmu, terlebih dalam ilmu hadits, matematika dan sains. Hingga kini, bahkan masih ada Universitas Islam yang jadi muara ilmu hadits skala internasional di India.
Karir 800 tahun dakwah Islam di India tentu menyimpan kisah-kisah yang banyak, namun banyak juga yang terkubur dan luput dari perhatian kita. Salah satunya adalah yang terjadi ketika Abad 17, ketika Eropa sedang gencar-gencarnya mengirim ekspedisi militer untuk meruntuhkan Peradaban Islam di timur, baik India, Filipina, Indonesia dan wilayah lainnya.
Saat itu India dipimpin oleh Negeri Mughal, didirikan oleh seorang muslim berdarah Turki bernama Zahiruddin Babur. Setelah beberapa generasi sepeninggalnya, muncullah masa dimana raja-raja Islam di India tersentuh pemikiran sufi berlebihan, sehingga mereka banyak melakukan hal-hal yang tidak ada dalam syariat Islam.
Buta hati
Hal ini berlanjut sampai masa seorang raja bernama Shah Jahan. Dialah yang membangun Taj Mahal. Di usia pertama kepemimpinannya, Shah Jahan 1 atau Shihab al-Din Muhammad Khurram adalah seorang pemimpin heroik yang dapat memukul mundur serangan pasukan Portugis dari India. Ia tak sefanatik pendahulunya dalam ilmu sufistik, namun sebuah tragedi terjadi, dan mengubah hidupnya.
Istrinya, Mumtaz Mahal, wafat. Shah Jahan sangat sedih, ia jatuh dan sangat terpukul dengan kepergian istrinya. Namun rasa sedihnya berlebihan sehingga setiap hari ia selalu meratapi dan menangisi istrinya. Itulah yang membuatnya menjadi buta hati dan memerintahkan 20 ribu rakyatnya untuk kerja selama 7 tahun demi membangun kuburan Mumtaz Mahal.
Harta Negara Mughal ia habiskan untuk pembangunan. Tak sedikit pekerja yang dipaksa dan tidak dijagi. Banyak rakyat dizalimi dan dibebani pajak sejumlah 80 macam. India menjadi terpuruk, ditambah lagi serangan Portugis datang kembali dan semakin memecah kedamaian di negeri muslim itu.
Di saat yang krisis itu, muncullah para Ulama yang peka dengan problematika umat, kemudian mereka membimbing salah satu anak Shah Jahan untuk ditarbiyah menjadi penguasa shalih yang akan menggantikan ayahnya. Di antara Ulama itu adalah Syaikh Muhammad Mashum As Sarhawandi. Ia mendidik anak Shah Jahan yang bernama; Aurangzeb.
Baca juga : Muhammad bin Qasim Sang Penakluk India
Anak yang sama sekali berbeda
Aurangzeb tumbuh menjadi anak yang sama sekali berbeda dengan ayahnya. Syaikh Muhammad Mashum mengajarkan bahasa Arab, Persia, Turki, membimbing ilmu khat, sejarah, ilmu peperangan dan manajemen kenegaraan. Aurangzeb menjadi harapan masyarakat India ketika ayahnya sudah seperti lelaki gila yang setiap hari meratapi istrinya.
Di usia 42 tahun, Abul Muzaffar Muhiu ‘d-Din Muhammad Aurangzeb Alamgir menggantikan ayahnya sebagai sultan besar Mughal. Ayahnya dipenjara karena telah merugikan bangsa dan berbuat zalim pada rakyat kecil. Langkah pertama Aurangzeb adalah mengembalikan masyarakat muslim pada akidah yang benar dan murni.
“Muhi al-Din Muhammad / Muḥī al-Dīn Muḥammad; c. 1618-3 Maret 1707, umumnya dikenal sebagai adalah Kaisar Keenam Kekaisaran Mughal, yang memerintah dari Juli 1658 hingga wafatnya pada 1707. Di bawah kekuasaanya, Mughals menjadi yang terhebat di tahun 1707. dengan luas dengan wilayah yang mencakup hampir keseluruhan Asia Selatan. Secara luas dianggap sebagai penguasa Mughal yang efektif terakhir, Aurangzeb menyusun Fatawa ‘Alamgiri dan merupakan di antara beberapa raja yang telah sepenuhnya mendirikan Syariah dan ekonomi Islam di seluruh Asia Selatan.”
Dia hidupkan lagi jihad melawan Portugis dan musuh-musuh yang merongrong di batas wilayah Mughal. Selama hidupnya, 30 pertempuran besar terjadi dan 11-nya dipimpin langsung olehnya melawan agresi militer Portugis. Dakwah Islam negeri Mughal meluas dan jika dikonversi hari ini maka wilayahnya mencakup bagian dari 8 negara; India, Pakistan, Bangladesh, Afghanistan, Iran, Nepal, Bhutan dan Myanmar.
Menghapus pajak dan menyambutp anggilan jihad
Kesibukannya memerhatikan rakyat dan menghapus pajak, menyambut panggilan jihad, membuatnya tidak sempat berhaji ke Baitullah. Namun, beliau memiliki amalan khusus yang sangat istimewa; ia menulis Al Qur’an dengan khat tangannya sendiri dari awal sampai akhir. Sejarah India mengenangnya sebagai seorang kaligrafer yang ulung.
Di akhir hidupnya, Sultan Aurangzeb Alamgir mewariskan hartanya bagi anak-anaknya, namun ia berpesan agar sebagian besarnya diinfakkan untuk kaum dhuafa dan anak-anak yatim. Ia juga mewasiatkan pada keluarganya untuk mengkafaninya dengan kain sederhana yang bisa dibeli di pasar rakyat, juga berpesan agar dimakamkan tanpa harus dibangun monumen yang berlebihan.
Syaikh Ali Ath Thantawi menyifati Sultan Aurangzeb Alamgir dengan kalimat sederhana tapi mengena, “beliau adalah sisa-sisa Khulafaur Rasyidin”
Generasi Shalahuddin : Ketika dunia lupa, kita memilih untuk ingat
References :
1. Miah Udzama Ummatil Islam, Jihad Turbani
2. www.islamstory.com
3. Spear, Percival. “Aurangzeb”. Encyclopædia Britannica. Retrieved 6 April2016.
4. Sarkar, Sir Jadunath (1912). History of Aurangzib Vol. I. Calcutta: M.C. Sarkar & Sons. p. 61.