ZONA PERANG (zonaperang.com) – Buku terbitan tahun 2010 yang ditulis oleh Ir. KGPH. Soeryo Goeritno, M. Sc, yang berjudul “Hitler Mati di Indonesia: Rahasia yang terkuak” ini ditulis berdasarkan pengamatannya terhadap figur dr. Sosro Husodo yang pada tahun 1980an melakukan penelitian karena terdorong akan ingatan pengalamannya dan merasa pernah bertemu sosok seperti Adolf Hitler di Sumbawa Besar saat ia bertugas pada tahun 1960an.
Seperti yang kita ketahui, bahwa menurut sumber-sumber primer dijelaskan bahwa Hitler mati karena bunuh diri di sebuah bunker di Berlin tahun 1945, kemudian mayatnya dibakar. Namun menurut penulis buku ini sumber itu tidak benar, karena berita tersebut dikatakan hanya untuk melindungi nama besar seorang pemimpin Jerman tersebut.
Buku setebal 121 halaman ini terbilang masih tidak teratur dalam meruntutkan konteks isinya, hal ini dinyatakan juga oleh penulis buku ini di dalam kata pengantar bahwa, “buku ini adalah bukan buku sejarah”, sehingga tidak begitu komprehensif dalam menuturkan peristiwa dr. Sosro dalam penelitiannya.
Namun, dinyatakan pula oleh penulis bahwa terdapat fakta-fakta baru tentang kematian Hitler yang ia nyatakan juga siap menerima kritik bagi pendapat yang menyangkal pendapat barunya ini.
Baca juga : 22 Juni 1940, Prancis menyerah kepada Hitler di Compiègne, tempat Jerman menyerah pada tahun 1918
Baca juga : 18 Mei 1943, Operation Alaric : Antisipasi Adolf Hitler jika Italia jatuh ke tangan Sekutu
Tentang Dokter Sosro Husodo
Dokter Sosro Husodo merupakan doktor militer berpangkat “kolonel”yang tinggal di Jl. Setiabudi, Bandung. Penelitiannya bermula saat tahun 1981, dr. Sosro membaca majalah Zaman No. 15 / thn / Minggu II – Januari 1980, yang di dalamnya terdapat artikel yang ditulis oleh Heinz Lingeyang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul, “Cerita Nyata Hari Terakhir Seorang Diktator”. Heinz Linge merupakan seorang Valet Service dari Hitler. Dinyatakan bahwa di dalam majalah tersebut digambarkan keadaan Hitler, yaitu:
- Beberapa orang di Jerman mengetahui, bahwa Fuhrer (Pangkat dr Adolf Hitler) menyeret kaki kirinya, penglihatannya sudah kurang terang, dan rambutnya hampir sama sekali tidak tumbuh.
- Ketika perang semakin hebat dan Jerman semakin terdesak, Hitler mulai menderita penyakit kejang urat. Di samping itu tangan kirinya mulai gemetar saat pertempuran di Stalingrad, ……dan ia mendapat kesukaran untuk mengatasi tangannya yang selalu gemetar itu.
- Tetapi aku bersyukur bahwa mayat dan makam Hitler tidak pernah ditemukan.
Artikel yang dibaca dr Sosro ini mengingatkannya kepada seorang doktor Jerman di daerah Sumbawa Besar yang ia pernah kenal, yang saat ia berkenalan, dokter Jerman tersebut mengaku bernama “Poch” yang oleh dr. Sosro dianggap merupakan sosok Adolf Hitler. Inilah yang mengawali dr. Sosro untuk mulai mencari tahu dan melakukan penelitian mengenai hal ini.
Kegiatan Penelitian dr. Sosro
Untuk melacak keberadaan dr. Poch, Sosro mencari nomor interlokal untuk Sumbawa Besar. Ia menghubungi nomor 21108 untuk menanyakan nomor telepon RSU (Rumah Sakit Umum) Sumbawa Besar.
Didapatkan beberapa keterangan dari RSU Sumbawa Besar bahwa, “doktor tua Jerman itu sudah meninggal dunia pada tahun 1970 di Rumah Sakit Karang Menjangan, Surabaya. Istrinya yang berkebangsaan Jerman sudah kembali ke Jerman, dan beliau menikah lagi dengan wanita dari Bandung, sebelum ia meninggal”
Dalam hal ini dr. Sosro Husodo yakin bahwa sosok yang pernah ia temui yang bernama dr. Poch itu merupakan Adolf Hitler. Hal ini didasarkan dari bukti-bukti otentik berupa barang-barang peninggalan dr. Poch yang dirawat oleh Sulaesih (Wanita yang dinikahi Poch selama di Indonesia). Peninggalan tersebut berupa, foto dan tulisan asli dr. Poch (dokumen-dokumen penting) yang dianggap sebagai Adolf Hitler.
Pada tahun 1960, dr. Sosro sempat beberapa kali bertemu dengan dr. Poch di Sumbawa Besar, bersama istrinya yang dari Jerman sebelum menikah dengan Sulaesih. Selain berdialog, dr. Sosro juga memeriksa kesehatan dr. Poch, karena tangannya yang suka bergetar seperti terkena parkinson. Pada awal perjumpaan dan perbincangan, dr. Sosro tidak mempunyai perasaan apapun dan dugaan tentang Adolf Hitler.
Namun pada tahun 1983, setelah memulai penelitiannya dan melihat beberapa dokumen yang ada di Sulaesih, ia terkejut dan yakin bahwa dr. Poch adalah Adolf Hitler yang meninggal pada tahun 1970. Dalam kegiatannya, dr. Sosro menulis penelitiannya di Koran Pikiran Rakyat tentang perjumpaannya dengan Hitler.
Banyak kritikan dan cemoohan terhadap tulisan dr. Sosro. Sebagian besar orang tidak percaya bahwa Hitler ada di Indonesia karena yakin bahwa Hitler tewas di dalam Bunker di Berlin tahun 1945.
Baca juga : 30 April 1945, Adolf Hitler bunuh diri di bunker bawah tanahnya
Baca juga : 15 Maret 1939, Cekoslowakia Jatuh ke Tangan Hitler
Tentang Paspor Roma No. 2624 / 51 dan Keputusan Presiden RI tahun 1967
Dikatakan oleh penulis buku ini bahwa “Stenografi” yang ditemukan Sosro Husodo dari Sulaesih dan yang juga ditulis di Majalah Mangle yang diberi judul “Kurze zeitliche Darstellung der personlichen Belangungen durc die Allierten und lokalen “Autoritaten” in Salzburg 1946″(Gelaran singkat, dikejar-kejar oleh Sekutu dan “Otoritas” lokal di Salzburg, 1946) menceritakan tentang kaburnya “orang yang dianggap” Hitler dari Salzburg ke Graz, menuju batas Austria lalu ke Yugoslavia.
Selanjutnya ke Beograd, lalu ke Sarajevo. Dari Sarajevo ke Roma lalu menerima paspor dengan nomor 2624 / 51. Menurut Sosro Husodo, paspor itulah yang digunakan “orang yang dianggap” Hitler untuk masuk ke Indonesia dan berganti menggunakan nama dr. Poch.
Menurut dr. Sosro, antara tahun 1951 – 1954 tidak diketahui keberadaan dr. Poch karena baru pada tanggal 6 Januari 1954, ia masuk ke Indonesia. Hal itu berdasarkan dokumen di dalam kartu izin masuk keimigrasian yang menerangkan bahwa dr. Poch tiba pada tanggal 6 Januari 1954, di Jakarta (Tanjung Priok). Dengan paspor No. 2624 / 51 yang diberikan di Roma.
Di dalam dokumen (foto ada di buku) terdapat keterangan berupa: Tempat kelahiran : Przmsyl, 1 November 1895. Nama Bapak: Poch Jesef. Nama Ibu: Poch Emma. Kedua orang tersebut merupakan terduga orang tua dari Poch dan keduanya telah meninggal.
Selain itu, terdapat pula dokumen tentang Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 075 / PWI TAHUN 1967 Tentang Pewarganegaraan diterangkan bahwa memutuskan permohonan dr. Med. Georg Anton Poch, dilahirkan di Przemsyl (Austria) pada tanggal 1 November 1895, bertempat tinggal di Kampung Bidji Sumbawa Besar untuk menjadi warga negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta, tanggal 20 Desember 1967 tertanda tangan Pejabat Presiden, Soeharto, dan Sekretaris Kabinet Republik Indonesia.
Tahun 1954, dr. Poch masuk ke Indonesia. Pada awalnya, dr. Poch tinggal di Dompu lalu pindah ke Bima, selanjutnya pindah ke Kabupaten Sumbawa Besar, kemudian bekerja menjadi doktor di Rumah Sakit Umum Kabupaten Sumbawa Besar. Dikatakan bahwa seluruh penduduk pulau Sumbawa kenal dengan dokter ini, yang di panggil “dokter Jerman”. Dikatakan juga bahwa di pulau tersebut tidak ada orang asing satupun kecuali dirinya.
Baca juga : 16 Desember 1944, Pertempuran Bulge/Ardennes: Serangan Besar Terakhir Adolf Hitler dalam Perang Dunia II
Kota Przemsyl: Salah satu yang menjadi kontroversial bagi dr. Sosro Husodo
Menurut penulis buku ini, telah dijelaskan di dalam Majalah Mangle bahwa, “dr. Med. G. A. Poch”mengaku lahir di kota Przemsyl, 1 November 1895. Sosro yakin bahwa kota tersebut berada di Polandia. Namun, di dalam surat permohonan menjadi WNI tahun 1966, menyebutkan bahwa Przemsyl berada di Austria. Dokter Sosro menyimpulkan bahwa paspor “dokter Jerman” tersebut palsu. Ia merujuk keterangan bahwa Przemsyl itu berada di Polandia
Diterangkan juga bahwa saat datang ke Indonesia, dr. Poch bersama dengan seseorang yang bernama “Gerda” dan anaknya bernama Frank G. Spisak. Kedua orang tersebut diterangkan bahwa pada tahun 1960 Frank G. Spisak berusia kurang lebih 7 tahun dan Gerda berusia kurang lebih 48 tahun. Pada tahun 1964, menurut informasi, kedua orang tersebut sudah tidak terlihat di pulau Sumbawa karena telah migrasi ke Amerika Serikat.
Pertemuan dan Percakapan dr. Sosro dengan dr. Poch
Asal mula dr. Sosro Husodo bertemu dengan dr. Poch adalah berawal pada bulan Oktober 1960, dr. Sosro Husodo baru lulus dari Fakultas Kedokteran UI. Kemudian ia ditugaskan oleh Departemen Kesehatan untuk membantu misi kesehatan pemerintah Amerika Serikat untuk para korban bencana yang terjadi di negara-negara Asia, dengan menggunakan kapal laut “Hope”(SS Hope-Voyage 1). Saat itu kapal “Hope” bersandar di pelabuhan Sumbawa Besar.
Pagi harinya, dr. Sosro dan kawan-kawannya datang ke Rumah Sakit setempat untuk berkenalan dengan dokter-dokter setempat. Disinilah dr. Sosro bertemu dengan seorang “dokter bule yang sudah tua, berperawakan tinggi, agak kurus, punggungnya agak bungkuk, wajahnya lonjong, kepalanya agak botak, hidungnya besar dan mancung dan berkumis model “Charlie Chaplin” yang sudah beruban”.
Kemudian mereka saling bersalaman dan berkenalan. Setelah mengelilingi semua ruangan dalam rumah sakit, dr. Poch mengajak dr. Sosro dan kawan-kawannya untuk bertemu Bupati di pendopo Kabupaten. Menurut dr. Sosro, “dokter Jerman” ini bercerita dengan tegas dan ramah dengan menggunakan bahasa Indonesia yang lancar.
Sebulan kemudian, terdapat pertemuan lagi. Setelah turun dari kapal “Hope” lalu naik sekoci menuju daratan, beberapa teman mengajak dr. Sosro untuk mengunjungi dokter Jerman.
Akhirnya mereka pergi ke rumahnya dan bertemulah dr. Sosro dkk dengan dr. Poch dan istrinya. Ketika mengunjungi rumah dr. Poch, terjadi percakapan antara dr. Sosro dan dr. Poch yang disaksikan oleh istri Poch dan salah satu teman dari dr. Sosro yang diruntut percakapannya seperti ini:
dr. Sosro : “Apakah dokter pernah mengalami pemerintahan Hitler?”
dr. Poch : “Iya”
dr. Sosro : “Lalu bagaimana menurut anda ?”
dr. Poch : “Tidak buruk, malah sebaliknya, Jerman pada saat itu mengalami kemajuan yang hebat. Rakyat Jerman hidup makmue dan jadi bangsa yang kuat. Karena peranglah yang menghancurkan kami, dan kami dipaksa untuk perang. Tapi selanjutnya rakyat Jerman bangkit kembali”
dr. Sosro : “Bagaimana dengan kamp Auszhwitz ?”
dr. Poch : “Tidak ada apa-apa”, “Itu hanya omongan yang dibesar-besarkan saja, yang ingin menghancurkan kami”
dr. Sosro : “Apa benar Hitler meninggal karena bunuh diri ?”
dr. Poch : “I don’t know, pada saat itu suasana di sekitar sangat kacau, semua orang menyelamatkan diri masing-masing”
dr. Sosro : “Menurut kabar, anda tidak ingin kembali ke Jerman, kenapa ?”
dr. Poch :“Saya tidak suka dengan iklim di Jerman, di sana jika sedang musim dingin, dinginnya terasa sampai ketulang-tulang, apalagi jika dibarengi ada angin, pohon-pohonan sampai bengkok. Saya yang sudah tua ini tidak tahan dengan iklim di Jerman. Kalau di Indonesia tidak ada musim dingin, udaranya hangat membuat saya betah tinggal di sini untuk selamanya”
(Kemudian dr. Poch menyodorkan tangannya)
dr . Poch : Coba lihat tangan saya, gemetar seperti ini, coba sebenarnya penyakit apa yang saya derita ?”
dr. Sosro : “Anda terkena Parkonsonism, karena usia anda yang sudah lanjut. Dan penyakit lainnya pun tidak bisa dihindarkan lagi, atau mungkin ini adalah Atherosceloris atau mungkin akibat tekanan darah tinggi (hemaparese), atau hanya trauma psikis saja”
dr. Poch :“Benar begitu !”
dr. Sosro :“Sejak kapan terasanya ?”
(dr. Poch mengalihkan pandangan kearah istrinya)
dr. Poch : “Kapan ya ?”
Istri dr. Poch : “Lebih dari lima belas tahun karena kamu menggebrak-gebrak meja, ketika tentara Jerman berada di Moskow”
(dr. Poch menganggukkan kepalanya)
Tentang Sulaesih dan Buku Catatan yang diwariskan
Sulaesih merupakan gadis Sunda yang berasal dari Cibadak, Sukabumi. Ia bukan berasal dari keluarga yang berada. Tahun 1956, setelah menyelesaikan sekolah SMPnya, ketika mendengar ada rombongan yang ingin pergi ke Sumbawa Besar untuk bekerja, Sulaesih ikut mendaftarkan diri.
Ia berangkat dari Bandung bersama Pak Kosasih yang merupakan seorang tentara. Saat meninggalkan kampung halamannya, Sulaesih tidak pamit kepada keluarganya, karena takut tidak diberi izin.
Sesampainya di Sumbawa Besar, Sulaesih diterima bekerja di Pemda Kabupaten. Di pulau ini, Sulaesih bertemu dengan seorang pemuda yang masih keponakan dari Sultan Sumbawa.
Dua tahun berkenalan, akhirnya mereka menikah dengan menggunakan wali hakim karena selama di Sumbawa, Sulaesih tidak mempunyai sanak saudara dan tidak pernah memberitahukan rencana pernikahannya dengan orang tuanya, sampai ketika bapaknya meninggalpun Sulaesih tidak tahu.
Setahun menikah, suami Sulaesih mengalami sakit yang sangat parah. Kemudian ia membawa suaminya berobat ke tempat dr. Poch, Kepala Dinas Kesehatan Sumbawa. Berawal dari sinilah, ia kenal dengan dr. Poch. Kesetiaan Sulaesih dalam mengurus suaminya membuat dr. Poch sering memuji Sulaesih.
Menikah
Tetapi, ia tidak mempunyai perasaan apapun terhadap dr. Poch karena menganggap dokter Jerman itu adalah kakeknya sendiri, karena usia yang terpaut jauh. Sementara itu, penyakit dari suami Sulaesih tidak kunjung sembuh dalam beberapa tahun setelahnya. Semua keluarga dari suami sepakat agar Sulaesih berpisah dengan suaminya dengan alasan kasihan melihat Sulaesih repot dan juga ia bukan gadis asli Sumbawa.
“Padahal saya tidak mempunyai perasaan seperti yang mereka katakan,” kata Sulaesih yang berdialog dengan dr. Sosro. Setelah dua tahun berpisah dengan suami, dr. Poch mengajukan diri untuk melamarnya. Setelah melamar Sulaesih, dr. Poch memeluk Agama Islam di tahun 1964 yang disaksikan oleh Ketua Kantor Agama di Sumbawa dan mengganti namanya dari dr. Poch menjadi “Abdul Kohar”.
Akhirnya Sulaesih menikah pasa usia 34 tahun sedangkan dr. Poch berusia 64 tahun. Setelah menikah, Sulaesih tidak lagi bekerja di Pemda karena bersama dr. Poch mengurusi pasien dan rumah tangga mereka.
Baca juga : 06 Juni 1944, Operation Overlord/D-Day : Sekutu menyerbu pantai Normandia Perancis
Eva Braun
Sebelum menikah, Sulaesih suka berkunjung ke rumah dr. Poch. Dituturkan olehnya bahwa di rumah Poch ia melihat seorang wanita yang sudah berumur yang menurut dr. Poch itu adalah istrinya.
Sulaesih menerangkan bahwa, istri dr. Poch memberi amanah kepadanya untuk menitipkan “Gi” (panggilan dr. Poch / kependekan dari Georg Anto)dan diuruskan segala keperluannya. Sulaesih berkata, “Mungkin artinya saya harus menikah dengan dr. Poch”
Dituturkan oleh dr. Sosro yang mencatat cerita Sulaesih bahwa, dr. Poch selalu menyembunyikan rahasia kepada dirinya dan tidak terbuka. Pada tahun 1964, ketika baru pulang dari Bali, “dokter Jerman” bercerita pada Sulaesih bahwa ia baru saja bertemu dengan Kondrad Adenaueryang saat itu sebagai Kanselir Jerman Barat yang datang ke Bali sebagai tamu negara.
Catatan
Menurut dr. Sosro bahwa dr. Poch mempunyai peninggalan berupa catatan kecil berwarna cokelat ukuran 9×16 cm dan tebal 44mm. Seperti yang diterangkan dr. Sosro, ia yakin bahwa buku ini adalah punya Adolf Hitler karena : 1. Tulisannya sama antara dr. Poch dengan Hitler. 2. Materi yang dituliskan mempunyai hubungan tentang peristiwa yang terjadi di Jerman di masa Nazi, serta di dalam buku tersebut terdapat nama dan alamat yang merupakan mata rantai urutan buronan Nazi dan organisasinya.
Buku ini sebagian ditulis dengan bahasa latin, dan sebagian lagi ada yang ditulis dengan bahasa steno sistem Gabelsberger. Bagian yang ditulis dengan steno menceritakan ketika dr. Poch dan istrinya (keduanya dianggap sebagai Hitler dan Eva) yang melarikan diri dari Jerman menuju Salzburg, ke Grasz, ke Tapelwates Austria, Yugoslavia, ke Beograd lalu ke Sarajevo.
Kemudian dari Sarajevo ke Roma. Disinilah ia menerima paspor dengan identitas “dr. Poch”. Tulisan tentang pelarian dirinya diberi judul “Kurze zeitliche Darstellung der personlichen Belanguen durch di Allierten und lokalena “Autoritation” im Salzburg 1946″, (Gelaran singkat ketika dikejar-kejar oleh sekutu dan “otoritas” lokal di Salzburg, 1946)
Sementara, catatan yang ditulis dalam latin, adalah tentang daftar alamat beberapa nama-nama anggota Nazi yang disebutkan menjadi buronan.
Pengakuan sebagai Hitler
Menurur dr. Sosro, berdasarkan penuturan Sulaesih, beberapa percakapan antara Sulaesih dan dr. Poch terdapat makna yang menurutnya berhasil memperkuat keyakinannya bahwa dr. Poch adalah Adolf Hitler.
Sulaesih bercerita, pada saat ia bertanya, “Gi, kenapa kumisnya seperti Hitler?”. Dokter Poch menjawab, “Memang saya Hitler”. Kemudian di obrolan yang lain (Pengakuan Sulaesih kepada Risnawati, wartawan Majalah Mangle) terjadi percakapan antara Sulaesih dan dr. Poch:
dr. Poch : “Esih tahu hitler?”
Sulaesih : “Tentu saja saya tahu, dia itu penjahat perang kan ?”
dr. Poch : “Kata siapa ?”
Sulaesih : “Kan banyak warga yang meninggal karena dibunuh, di-gas, karena perintah Hitler !”
dr. Poch : “Namanya juga perang, itu wajar saja”
Sulaesih : “Tapi ada yang bilang Hitler itu masih hidup, ada yang bilang Hitler sudah meninggal, dimana ya dia ?”
dr. Poch : “Esih ingin bertemu dengan Hitler ?”
Sulaesih : “Tentu saja saya ingin sekali bertemu, tetapi rasanya itu tidak mungkin”
(dr. Poch tersenyum)
dr. Poch : “Nah ini Hitler itu” (sambil menepuk dada)
(Sulaesih tersenyum tidak percaya)
dr. Poch selalu memberi amanat pada setiap akhir pembicaraannya dengan Sulaesih jika menyangkut hal-hal politik agar obrolannya tidak boleh dibicarakan kepada siapa pun dan Sulaesih tidak boleh ikut berpolitik.
Sifat dan karakter dr. Poch
Poch dikenal mempunyai watak yang keras dan tegas terhadap pasien, serta disiplin kepada seluruh pegawai rumah sakit. dr. Poch dikenal juga sering memberikan resep atau obat dengan gratis. Menurut beberapa warga yang sempat dekat dengan dr. Poch, diterangkan bahwa dalam kesehariannya, “dokter Jerman” tidak lepas dari hal-hal yang berbau politik.
Dikatakan bahwa dr. Poch senang dengan sosok Bung Karno. Diterangkan menurut bekas pelayannya bernama Syamsuddin yang adalah orang Bima bahwa setiap Bung Karno pidato, “dokter Jerman” ini selalu mendengarkan melalui radio, dan tidak boleh terganggu. Dikatakan juga di dalam buku ini bahwa dr. Poch mempunyai hobi memotret dan mengkoleksi kupu-kupu yang ia tangkap sendiri lalu diawetkan.
Selama menjadi dokter, Poch mempunyai hubungan baik dengan para petinggi sipil maupun militer. Diterangkan juga bahwa dr. Poch aktif dalam kegiatan sosial dan selalu hadir di upacara-upacara resmi Pemda Kabupaten, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten DT II Sumbawa Besar serta Kepala Rumah Sakit Umum di Kabupaten.
Menurut Ny. Omik Koswarayang juga bersahabat dengan Sulaesih, dikatakan bahwa dr. Poch jika bertamasya di pesisir pantai, ia selalu memisahkan diri dan memilih untuk bersantai dan berjemur. Ny. Omik mengingat percakapannya dengan dr. Poch ketika dia ingin melahirkan anak pertama, saat itu usia Ny. Omik 23 tahun.
Saat Dokter Poch menjenguk, ia berkata sambil juga berkata pada Sulaesih, “Kasihan, masih anak-anak kok sudah melahirkan!”. Jika mengingat kejadian itu, terasa lucu bagi Ny. Omik. Menurut Ny. Omik, dr. Poch juga sangat terkenal.
Sumbawa terdiri dari 3 kabupaten, Sumbawa Besar, Bima dan Dompu. Penduduknya juga tak terlalu banyak, sehingga hubungan antara pejabat satu dengan yang lain sangan dekat sekali, apalagi seorang dokter yang berasal dari luar negeri dan mempunyai jabatan yang penting. Persahabatan antara Ny. Omik dan Sulaesih sangat akrab karena masing-masing merupakan istri pejabat setempat dan sama-sama berasal dari Sunda.
Menurut majalah Mangle seperti yang dituturkan penulis buku ini, bahwa setelah berumah tangga dengan Sulaesih, dr. Poch menganut ajaran Islam dan selalu bertanya tentang Agama Islam kepada Sulaesih.
Ia pun rajin shalat, dan menurut informasi bahwa di rumah dr. Poch terdapat Al-Quran berbahasa Jerman. Jika ditanya dari mana ia punya itu, dituturkan bahwa ia membawa dari negaranya, karena sejak dulu sudah mengenal agama Islam. Dokter Poch menerangkan, “Malah orang tua saya memberikan amanat, jika ingin memilih agama, pilih agama Islam”.
Sulaesih juga menuturkan bahwa jika waktu luang, dr. Poch suka mendongengkan ketika dia memimpin perang di Jerman. Dikatakan bahwa tangannya menjadi gemetar karena ketika perang dia sering menggebrak meja. Bahkan dr. Poch sering mengaku bahwa dirinya adalah Hitler. Ia berkata demikian disebabkan karena sudah terlalu percaya pada Sulaesih.
Begitu penuturan ia yang dituturkan dr. Sosro. Tiga bulan setelah menikah, Sulaesih menuturkan bahwa dr. Poch mengajaknya untuk pergi ke Bali untuk bertemu Konrad Adenauer(Konrad Hermann Joseph Adenauer, 5 January 1876 – 19 April 1967) . Dituturkan oleh Sulaesih, “Tidak tahu bagaimana caranya dr. Poch bisa bertemu dan berjabat tangan erat dengan tamu negara tersebut, yang dilanjutkan ngobrol dengan bahasa Jerman”.
Sulaesih menanyakan kepada dr. Poch tentang apa yang dibicarakannya, dr. Poch hanya menjawab, “Pokoknya hati saya senang, karena Konrad Adenauer ingat siapa saya”
Masih mengenai sifat dan karakter dr. Poch, sesuai penuturan Sulaesih yang diterangkan dr. Sosro bahwa semenjak menikah dengan Sulaesih, dr. Poch jarang tampil di muka umum. Jika diminta pidato di acara-acara resmi, selalu diwakilkan oleh Sulaesih.
Baca juga : 22 Mei 1939, The Pact of Steel/Pakta Baja ditandatangani : Aliansi antara Jerman dan Italia resmi terbentuk
Jiwa Sosial
Walaupun begitu, dr. Poch mempunyai jiwa sosial yang besar, saat ada pasien yang menelepon tengah malam pun ia dengan cepat datang ke rumah pasien itu walau lokasinya jauh. Jika saat memeriksa pasien tetapi obat yang dibawanya salah, maka ia akan kembali ke rumah untuk mengambil obat. Diterangkan pula bahwa dalam setiap perjalanannya, dr. Poch selalu ditemani Sulaesih dengan menggunakan mobil jipnya dengan kecepatan tinggi. “Padahal usianya sudah tua” kata Sulaesih.
Selain itu Suleasih juga menerangkan bahwa sekali waktu ia mengajak pergi ke Sukabumi menemui orang tuanya. Tidak ada meja makan di tempatnya. Dokter Poch dihidangkan dengan telur mata sapi dan melahapnya di kursi tanpa banyak komentar.
Sulaesih juga menuturkan dr. Poch mempunyai kebiasaan yang menurutnya aneh yaitu, suka meramal umur pasiennya. Dikatakan bahwa ramalan itu benar terjadi. Ia menerangkan sewaktu dr. Poch terkena serangan jantung di Surabaya, saat itu pukul 12 malam, dr. Poch menolak untuk diberi tindakan medis.
Keesokan harinya pukul 12 siang dr. Poch berkata pada Sulaesih, “Ah Esih, tidak usah repot-repot mengobati saya, menurut perasaan saya umur saya tidak akan sampai besok”. Hal itu benar terjadi tepat pukul setengah delapan malam dr. Poch menghembuskan nafas terakhir.
Dokter Poch meninggal dunia
Pada bulan Januari 1970, dr. Poch bersama Sulaesih mengantar seorang pasien ke Rumah Sakit Karang Menjangan di Surabaya. Selama di Surabaya mereka menginap di rumah dr. Linaya.
Di Surabaya inilah dr. Poch terkena serangan jantung. Ia segera dibawa ke RS Karang Menjangan, namun tak tertolong. Pukul 19:29 pada tanggal 15 Januari 1970, Dokter Poch meninggal dunia. Dituturkan oleh Sulaesih, “Poch meninggal setelah mengucap kalimat Allahu Akbar”. Selama 5 tahun Sulaesih mendampingi dr. Poch. Setelah dokter Jerman itu tiada, Sulaesih pulang ke Bandung.
Semua barang berupa buku dan pakaian bekas peninggalan dr. Poch dibagikan dan disumbangkan kesalah satu yayasan di Sumbawa. Ia menuturkan, “Jadi saya tidak membawa apapun”. Sementara barang-barang pribadi dr. Poch seperti beberapa baju, buku, foto dan surat-surat ia bawa.
Penutup
Sampai saat ini terdapat beberapa pendapat tentang kematian Hitler. Salah satu diantaranya adalah catatan kontroversial dari Soeryo Guritno yang menuliskan kembali penelitian dr. Sosro Husodo yang yakin bahwa dr. Poch adalah Adolf Hitler.
Seperti yang diterangkan oleh penulis buku ini bahwa ia bersedia menerima kritik dan sangkaan atas pendapatnya. Manakah pendapat yang paling benar, siapakah sesungguhnya dr. Poch ? Inilah tugas bagi para sejarawan.
Literasi: Ir. KGPH. Soeryo Goeritno, M. Sc, “Hitler Mati di Indonesia: Rahasia yang terkuak”, (Titik Media Publisher, 2010)
Baca juga : 11 Mei 1919, Jerman bersiap untuk memprotes ketentuan Perjanjian Versailles
Baca juga : 10 Mei 1940, Jerman menginvasi Belanda, Belgia, Luksemburg dan Perancis