“Kemenangan itu,
Dirintis oleh orang-orang yang cerdas,
Diperjuangkan oleh mereka yang ikhlas,
Dan dimenangkan para pemberani…”
ZONA PERANG(zonaperang.com) Kita tahu setiap negara memiliki pahlawan mereka masing-masing, Prancis mengenal Napoleon Bonaparte dan Joan of Arc, Filipina mengenal sosok Lapu-lapu dan Jose Rizal, Amerika Serikat mengagumi Abraham Lincoln, atau Turki yang sangat suka dengan heroisme Ertuğrul Gazi. Setiap tempat memiliki kisahnya, dan di setiap kisah itu selalu ada mereka yang memutuskan di hadapan sejarah untuk menjadi seorang pahlawan atau menjadi pecundang.
Ini bulan November, bagi kita bangsa Indonesia akan langsung ingat salah satu tanggalnya untuk diperingati sebagai hari pahlawan. Uniknya kita adalah: kita peringati hari-hari penting setiap tahun, tapi mengapa kebanyakan orang sekedar membuat pamflet digital ucapan selamat atau acara seremonial belaka?
Baca juga : 17 Agustus 1945, Dirgahayu Indonesiaku!
Baca juga : Pembantaian Etnis Melayu 1946: Kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Timur
Saatnya kita membuat perbedaan
Maka inilah saatnya kita membuat perbedaan. Tanggal-tanggal itu menjadi penting untuk diperingati agar kita mempelajari lebih serius, merenungkan lebih dalam dan bertanya lebih jauh pada diri kita sendiri: jika mereka bisa menjadi pahlawan, mengapa aku hanya jalan di tempat? Apa yang membuat aku bisa juga jadi pahlawan?
Salah satu hal yang membuat pahlawan itu hebat, adalah kenyataan bahwa mencarinya itu sulit. Semua orang ingin jadi pahlawan, namun tidak semuanya mampu. Karena memang jalannya berat; ia disebut pahlawan karena mampu melihat apa yang tidak dipikirkan oleh banyak orang. Ia berpikir jauh ke depan di saat banyak manusia sedang bermain-main.
Namun mungkin kalimat ini mampu menjadi pembuka bahasan kita, “heroes are ordinary people who make themselves extraordinary.” (Pahlawan, sebenarnya adalah manusia biasa yang mampu membuat diri mereka luarbiasa.) Selanjutnya, mari kita menjelajahi arus sungai kepahlawanan sepanjang zaman yang akan kita ringkas menjadi 3 titik pemberhentian. Apa saja itu?
Kepahlawanan sepanjang zaman
Pertama, pahlawan itu adalah orang-orang cerdas yang menebar optimisme di tengah masyarakat yang takut. Di saat hari-hari tak banyak perubahan, orang-orang tidak berani membuat keputusan besar; ternyata ada segelintir manusia yang mampu melihat harapan. Mereka bukan optimis berbekal khayalan. Bukan juga bukan yang asal melangkah tanpa ada rencana.
Para pahlawan bisa muncul dari kecerdasan yang digunakan untuk memikirkan orang lain. Menjadikan diri mereka “referensi” untuk ditanyai, dimintai saran dan diajak berdiskusi. Setiap orang yang bertemu mereka dan mengobrol selalu menemukan harapan, bertambah semangatnya, semakin dalam pemahamannya. Di saat banyak orang cerdas menggunakan kecerdasannya untuk egonya, para pahlawan menggunakan kecerdasannya untuk mengarahkan masyarakat yang nyaris putus asa. Itulah kenapa salah satu sifat Rasulullah ﷺ adalah “Fathanah”, karena agen perubahan tidak mampu menebar idenya jika tidak cerdas.
Dalam lintasan zaman, kita bisa melihat sosok cerdas yang merintis kebaikan ini dari Nizamul Mulk Ath Thusi, Imam Al Ghazali, dan KH Ahmad Dahlan. Mereka menjadi pahlawan karena merintis kebaikan dengan perencanaan matang dan karunia berupa kepintaran. Nizamul Mulk merintis kebangkitan umat dengan mendirikan madrasah Nizamiyah di Baghdad. Imam Al Ghazali menulis banyak buku dan mendirikan sekolah untuk menciptakan generasi Pembebas Al Aqsha, dan KH Ahmad Dahlan merintis amal usaha Muhammadiyah dari tadabbur panjang beliau pada Al Ma’un yang legendaris.
Hal kedua yang mendefinisikan kepahlawanan adalah: mereka yang ikhlas dalam berjuang di tengah orang-orang yang menghitung semua dengan takaran uang. Ikhlasnya mereka ini bukan berarti mereka tak mau digaji atau tak mau dibayar, karena itu tentu masalah profesionalisme.
Ikhlasnya mereka adalah karena sejak awal niat mereka untuk melakukan perubahan bukan tuntutan pekerjaan dan bukan suruhan atasan. Mereka menggulirkan amal-amal baik karena memang Allah dan Rasulullah ﷺ mengajarkannya. Mereka mendidik manusia karena memang itulah tugas warisan dari para anbiya(Nabi-Nabi). Mereka menjadi pemimpin di masyarakatnya karena memang itulah jalan menyuburkan kebermanfaatan. Sederhananya, ikhlasnya adalah buah dari ilmunya.
Maka keikhlasan itu tidak akan muncul sebelum ada pemahaman, “Al fahmu qabla Al ‘amal.” Itulah mengapa Umar bin Abdul Aziz suatu hari pernah menasihati, “siapa yang beramal tanpa ilmu, maka ia akan lebih banyak merusak dibandingkan memperbaiki.” Imam Al Ghazali juga pernah menulis di Risalah Ayyuhal Walad, “ilmu tanpa amal adalah tiada guna, dan amal tanpa ilmu adalah gila.”
Bagi para pahlawan, ikhlas adalah nafas teratur yang mampu membuat perjuangannya berumur panjang. Ada orang hebat dalam berjuang, tapi ikhlasnya tak kuat; maka ia lama-lama hilang. Tapi juga ada orang yang ikhlas dalam beramal, namun ia tak punya pengetahuan dan ide besar; maka ia hanya berjalan di tempat.
Dan hal ketiga yang mendefinisikan kepahlawanan adalah: mereka memutuskan untuk berani di momentum yang genting. Dan inilah yang menjadi puncak kemenangan sebuah proyek amal. Kecerdasan sebagai pembuka, ikhlas sebagai pengatur napas, ditutup dengan keberanian ketika menghadapi momentum yang genting biasanya akan menciptakan para pemenang.
Itulah yang bisa kita baca dari perjuangan Shalahuddin Al Ayyubi membebaskan Al Aqsha, Muhammad Al Fatih membebaskan Konstantinopel, dan para pahlawan Indonesia yang berani memutuskan merdeka di tengah saat-saat krusial. Ada yang bilang, momentum itu direbut, bukan ditunggu. Dan hanya orang-orang cerdas yang pemberani yang mampu melakukannya. Dan Mungkin itu kamu.
Generasi Shalahuddin : Ketika dunia lupa, kita memilih untuk ingat
Baca juga : 16 Juni 1948, Dakota RI-001 Seulawah : Dari Aceh untuk Republik Indonesia dan perampokan didalamnya
Baca juga : 22 Oktober 1945, Hari Santri : Fatwa Resolusi Jihad Ulama untuk Kemerdekaan Indonesia