ZONA PERANG (zonaperang.com) – Hari Nusantara yang diperingati setiap tanggal 13 Desember secara resmi ditetapkan oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri lewat Keputusan Presiden (Keppres) No.126/tahun 2001. Tanggal itu dipilih bertepatan dengan Deklarasi Juanda 13 Desember 1957.
Sebenarnya, pada 1999 Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sudah mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Namun pengukuhan secara resmi baru terlaksana saat Gus Dir digantikan oleh Megawati. Sejak itu tanggal 13 Desember sebagai hari perayaan nasional tidak libur.
Deklarasi Djuanda
Hari itu diperingati untuk mengenang jasa Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum adanya deklarasi itu, wilayah negara Republik Indonesia masih mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan pemerintah kolonial ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut. Setiap pulau hanya berhak atas 3 mil wilayah perairan yang terhitung dari garis pantai.
Baca Juga : [Breaking News] EKSKLUSIF China memprotes pengeboran dan latihan militer Indonesia !!!
Dengan aturan itu, kapal-kapal asing bebas berlayar di Laut Jawa, Laut Makassar, Laut Banda atau Laut Arafuru yang berada di dalam wilayah RI. Untuk itu Djoeanda menegaskan, Indonesia menganut prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang ketika itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas.
Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tetapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Baca Juga : Kapal ‘Hantu’ Riset China yang Terus Melanggar di Laut Natuna Utara
Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut. Namun setelah melalui perjuangan panjang, Deklarasi Djuanda baru diakui dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Convention On the Law of the Sea/UNCLOS 1982.
Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Isi dari Deklarasi Juanda yang ditulis pada 13 Desember 1957, menyatakan:
- Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
- Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan.
- Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
Ada pun tujuan yang hendak dicapai Deklarasi Djuanda meliputi, pertama, mewujudkan bentuk wilayah kesatuan Indonesia yang utuh dan bulat, kedua, menentukan batas-batas wilayah negara Republik Indonesia yang sesuai dengan azas negara kepulauan, dan ketiga, mengatur pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan negara Republik Indonesia.
Dampak Deklarasi Djuanda
Dikutip dari Laut, Teritorial dan Perairan Indonesia: Himpunan Ordonansi, Undang-undang dan Peraturan Lainnya (1984), deklarasi ini menuai protes dari negara lain.
Beberapa negara yang mengirimkan surat protes yakni Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Perancis, dan Selandia Baru.
Baca Juga : 1 Maret 1949, Serangan Umum di Yogyakarta yang Menghinakan Belanda
Adapun negara yang mendukung Deklarasi Djuanda yakni Filipina, Equador, dan Yugoslvia. Sembilan tahun sesudah lahirnya UU mengenai perairan Indonesia, pemerintah mengeluarkan pengumuman tentang “Landasan Kontinen Indonesia” pada 17 Februari 1969.
Pengumuman itu menegaskan bahwa sumber kekayaan dalam landas kontinen Indonesia adalah milik eksklusif negara Indonesia. Setelah saat itu, perjanjian telah diadakan dengan Malaysia, Thailand, Australia dan Singapura mengenai batas-batas wilayah lautnya.
AS tetap mempertahankan posisinya menolak Deklarasi Djuanda hingga 1982.
Baca Juga : Ketika Amerika Menginvasi Aceh pada 1832
Sulit dibayangkan apa yang terjadi sekarang apabila Ir. Djuanda Kartawidjaja dalam kurun pemerintahannya yang singkat tidak pernah mendeklarasikan batas-batas negara kesatuan Republik Indonesia.
Maka tidak terlalu berlebihan apabila deklarasi itu dianggap sebagai Deklarasi Kemerdekaan yang ke-2. Sebab dengan begitu Indonesia tidak sepenuhnya mewarisi wilayah yang ditetapkan berdasarkan Ordonasi Hindia Belanda 1939.
Djoeanda Kartawidjaja
Insinyur lulusan ITB itu lahir di Tasikmalaya, 14 Januari 1911. Bapaknya Raden Kartawidjaja adalah seorang mantri guru. Sebelum kuliah dan lulus dari di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) tahun 1933 atau sekarang ITB, Djoeanda terlebih dahulu sekolah di sekolah menengah atas yang dikhususnya untuk orang Eropa, yaitu Hoogere Burgerschool te Bandung (HBS) Bandung yang sekarang menjadi gedung SMA 3 Bandung dan SMA 5 Bandung dan lulus tahun 1929.
Semasa mudanya Djoeanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhammadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhammadiyah. Karier selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.
Baca Juga : Sunan Gunung Jati, Ulama Berkuasa yang Kharismatik
Namun karir politik Insinyur teknik sipil ini menanjak pesat. Setelah Kabinet Ali Sastraamidjaja jatuh lewat mosi tidak percaya, Presiden Soekarno menunjuk Ir. Djoeanda yang tidak berpartai politik sebagai Perdana Menteri hingga lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Djoeanda adalah Perdana Menteri ke-10 sejak Indonesia Merdeka, dan jabatan yang dipegangnya selama 2 tahun relative lama dibandingkan ke-9 Perdana Menteri sebelumnya.
Setelah tidak menjabat Perdana Menteri, Presiden Soekarno pun masih mempercainya memegang jabatan Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I. Sumbangan terbesar selama menjabat Perdana Menteri adalah Deklarasi Djuanda 1957. Namanya juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara Internasional di Surabaya, Jawa Timur, karena sosok ini dianggap turut merintis berdirinya bandara terbesar ketiga setelah Soekarno-Hatta dan Ngurah Rai itu.
Selain itu namanya juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung dengan nama Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Di taman itu ada museum dan monumen Ir. H. Djuanda. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah kota besar Indonesia, dan nama stasiuncommuter line di Jakarta Pusat, tepatnya memang di Jl. Djuanda.
Baca Juga : Sejarah Perkembangan Kerajaan Kesultanan Mataram Islam
Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djoeanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional. Dan pada 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan Djoeanda di pecahan uang kertas rupiah baru NKRI, pecahan Rp50.000.
Padahal, Djoeanda bukan seorang politisi. Melainkan seorang birokrat cemerlang yang sangat dikagumi oleh Presiden Soekarno. Dia pun hidup sederhana dan tinggal di lingkungan masyarakat kebanyakan. Sosok Djoeanda yang juga pernah mengajar di SMA Muhammadiyah ini yang tampaknya semakin sulit ditemukan sekarang