- Dari Perang Dingin ke Perang Ukraina: Kegagalan Integrasi Eropa
- Ukraina dan Inkompetensi Diplomasi Eropa: Sebuah Pembelajaran dari Asia Tenggara
- Perang di Ukraina: Hasil dari Egoisme dan Polarisasi Geopolitik
ZONA PERANG (zonaperang.com) Perang di Ukraina menguak sebuah kenyataan pahit: inkompetensi para pemimpin Eropa dalam merajut persatuan dan harmoni pasca Perang Dingin. Alih-alih belajar dari sejarah panjang penuh konflik, Eropa Barat, Eropa Timur, dan Rusia memilih jalan perpecahan.
Invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai pada tahun 2022 menjadi bukti nyata bahwa para pemimpin Eropa gagal mengelola hubungan regional mereka. Ketegangan yang terjadi bukan sekadar konflik antara Rusia dan Ukraina, tetapi juga mencerminkan inkompetensi para pemimpin Eropa dalam merancang strategi keamanan dan diplomasi jangka panjang.
Di tengah derasnya arus modernisasi dan kemajuan, mengapa Eropa justru terjebak dalam lingkaran permusuhan yang seharusnya bisa dihindari?
Baca juga : 30 Juni 1977, Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO) dibubarkan
Harapan agar Eropa dapat bersatu
Setelah Perang Dingin berakhir pada tahun 1991, dunia menyaksikan kejatuhan Uni Soviet dan harapan baru bagi stabilitas Eropa. Seharusnya, ini menjadi momen bagi Eropa Barat, Eropa Timur, dan Rusia untuk bersatu, melupakan sejarah konflik panjang, dan membangun masa depan yang lebih damai dan sejahtera. Namun, kenyataannya justru sebaliknya.
Sejarah kelam yang membentang selama ratusan tahun seharusnya menjadi pelajaran berharga untuk mencapai perdamaian. Namun, kenyataan berbicara lain. Perpecahan politik, ketidakpercayaan, dan egoisme(misal: ekspansi NATO ke timur) memperparah situasi, menghantarkan kita pada perang di Ukraina yang menghancurkan kehidupan dan stabilitas regional.
Belajar dari keberhasilan ASEAN
Jika menengok ke Asia Tenggara, kita bisa belajar dari keberhasilan ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Terlepas dari perbedaan budaya, bahasa, dan sejarah kolonial, negara-negara di Asia Tenggara berhasil membangun kerjasama yang kuat dan berdialog tanpa batasan. ASEAN adalah contoh nyata bagaimana persatuan dapat dicapai dengan saling menghormati dan mengutamakan kepentingan bersama.
Ketika Eropa terus terpecah oleh konflik kepentingan dan rivalitas geopolitik, Asia Tenggara menunjukkan pendekatan yang lebih pragmatis dan kolaboratif melalui ASEAN. Meskipun terdiri dari negara-negara dengan latar belakang sejarah, politik, dan ekonomi yang sangat beragam, ASEAN berhasil membangun kerja sama yang relatif stabil tanpa intervensi militer antaranggota.
Seharusnya, setelah Perang Dingin, Eropa menempuh jalur yang sama dengan ASEAN:
- Mengutamakan dialog dan diplomasi, bukan konfrontasi dan ekspansi militer.
- Membangun kerja sama ekonomi untuk memperkuat kestabilan regional.
- Menjaga netralitas dan kedaulatan masing-masing negara tanpa tekanan dari blok besar.
Namun, Eropa justru semakin membangun blok militer seperti NATO yang memperuncing ketegangan dengan Rusia. Kebijakan ekspansi NATO ke Eropa Timur memperburuk hubungan dan memicu respons agresif dari Rusia, yang akhirnya meledak menjadi perang di Ukraina.
Egoisme dan Polarisasi yang Memperburuk Situasi
Di balik konflik ini, ada elemen keegoisan dan kepentingan politik yang lebih besar:
- Rusia melihat NATO sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya.
- Uni Eropa dan Amerika Serikat terus mendorong Ukraina lebih dekat ke Barat tanpa mempertimbangkan keseimbangan geopolitik.
- Para pemimpin Eropa lebih mementingkan aliansi militer dibandingkan dengan membangun mekanisme diplomasi yang inklusif.
Akibatnya, Eropa kembali ke pola lama: konflik berkepanjangan, sanksi ekonomi, dan ketidakstabilan regional, sesuatu yang seharusnya bisa dihindari.
Dialog menjadi kunci utama
Eropa seharusnya mencontoh model ASEAN, di mana dialog menjadi kunci utama dalam menyelesaikan konflik. Tanpa adanya sekat-sekat yang memisahkan, para pemimpin Eropa bisa berbicara dari hati ke hati, menghargai perbedaan, dan mencari solusi bersama. Keegoisan harus dihilangkan demi kemajuan dan perdamaian yang hakiki.
Cerminan kegagalan Eropa dalam mencapai persatuan
Seandainya Eropa mengutamakan diplomasi dan membangun kerja sama seperti ASEAN, perang di Ukraina mungkin bisa dihindari. Namun, keputusan yang dibuat oleh para pemimpin Eropa selama tiga dekade terakhir telah mengarah pada kebuntuan yang berujung pada perang.
Saat ini, perang masih berkecamuk, dan dunia hanya bisa berharap bahwa akal sehat akhirnya akan menang, menggantikan ambisi politik dan egoisme yang telah menghancurkan banyak kehidupan.
“Perang di Ukraina bukan hanya tragedi bagi negara tersebut, tetapi juga cerminan kegagalan Eropa dalam mencapai persatuan. Mari kita belajar dari ASEAN, berdialog tanpa batas, dan membangun masa depan yang lebih baik untuk generasi mendatang. Eropa harus bangkit dari bayang-bayang masa lalu dan mewujudkan mimpi persatuan yang telah lama diidamkan.”
Referensi
- “The Cold War: A New History” oleh John Lewis Gaddis
- Judt, Tony. Postwar: A History of Europe Since 1945.
- Plokhy, Serhii. The Gates of Europe: A History of Ukraine.
- Snyder, Timothy. The Road to Unfreedom: Russia, Europe, America.
- Acharya, Amitav. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order.
- Zielonka, Jan. Is the EU Doomed?
- Krastev, Ivan. After Europe.
- Katzenstein, Peter J. A World of Regions: Asia and Europe in the American Imperium.
Baca juga : Terusan Kra Thailand: Pengubah Peta Maritim Asia Tenggara
Baca juga : HAM dan Standar Ganda Barat: Ketika Prinsip Universal Menjadi Alat Politik