Politik yang membutuhkan kambing hitam demi tercapainya kepentingan dengan mendiskreditkan umat Islam
ZONA PERANG(zonaperang.com) 3 yang juga dikenal sebagai 3: Alif Lam Mim adalah film laga futuristik pertama di Indonesia yang produseri oleh Raam Punjabi serta Arie Untung(Riko the Series). Dirilis pada 1 Oktober 2015 yang bercerita tentang persahabatan, persaudaraan, dan drama keluarga.
Film ini mendapat sambutan luas sebelum penayangan perdananya. Namun ternyata masa tayang di bioskop hanya singkat, membuat banyak orang menaruh kecurigaan film 3 sengaja dihambat karena mengganggu agenda kelompok kepentingan. Apalagi saat ditayangkan di televisi pertama kali oleh NET TV, banyak adegan penting yang dipotong setelah menjalani proses sensor.
Pada ajang Festival Film Indonesia 2015, film ini mendapatkan lima nominasi, yaitu Skenario Terbaik (Umbara bersaudara: Tersanjung the Series), Pemeran Pendukung Pria Terbaik (Tanta Ginting: The Raid 2 Berandal), Pemeran Anak Terbaik (Bima Azriel: Rudy Habibie), Tata Suara Terbaik (Khikmawan Santosa: Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! dan Novi DRN), serta Efek Visual Terbaik (Sinergy Animation).
Baca juga : Peristiwa Pemberontakan Kapal Tujuh(Zeven Provinciën), Perlawanan Kelasi Bumiputra di kapal Belanda
Baca juga : Film Training Day (2001) : Kisah Polisi Narkoba yang Korup
Sinopsis
Jakarta 2036, begitu banyak terjadi perubahan. Negara sudah kembali damai dan sejahtera sejak perang saudara dan pembantaian kaum radikal berakhir pada Revolusi tahun 2026.
“Menjadi satu-satunya film yang indonesia yang begenre futuristik, yakni sebuah tatanan sosial politik Indonesia di tahun 2036”
Hak asasi manusia menjadi segalanya. Penggunaan peluru tajam sebagai senjata sudah menjadi ilegal. Aparat menggunakan peluru karet untuk menangkap penjahat dan teroris yang masih tersisa. Satu dilema yang sangat menyulitkan bagi aparat mengingat beberapa kelompok radikal kembali bangkit dan berjuang untuk menganti wajah demokrasi sehingga aparat mengandalkan kemampuan bela diri yang tinggi untuk menumpas para penjahat.
Tiga sahabat dari satu perguruan silat
Alif, Lam, dan Mim adalah tiga sahabat dari satu perguruan silat yang dibesarkan bersama di padepokan Al-Ikhlas. Alif (Cornelio Sunny) yang lurus dan keras dalam bersikap memilih menjadi aparat negara. Ia bertekad membasmi semua bentuk kejahatan dan mencari para pembunuh kedua orang tuanya.
Lam (Abimana Aryasatya) yang sikapnya lebih tenang menjadi seorang jurnalis. Bertujuan untuk menyebarkan kebenaran dan menjadikan dirinya mata dari rakyat. Sementara Mim (Agus Kuncoro) yang bijak memilih mengabdi menjadi pengajar dan menetap di padepokan. Ketiganya dipertemukan kembali setelah terjadi kekacauan pasca ledakan bom di sebuah cafe.
Baca juga : 13 Februari 1755, Perjanjian Giyanti : Terbaginya Kerajaan Islam Mataram oleh Keserakahan dan Tipu daya
Baca juga : Penggunaan identitas agama oleh PKI : Meletusnya Pemberontakan Kaoem Merah 1926
“skenario” mendiskreditkan umat Islam
Bukti-bukti versi kepolisian dan investigasi mengarah pada keterlibatan Mim beserta anak-anak padepokan. Namun Lam sebagai jurnalis mendapat informasi dari agen misterius yang berisi rekaman CCTV kejadian sebelum ledakan yang terjadi disebuah cafe. Rekaman tersebut menunjukkan bahwa ledakan yang terjadi adalah “skenario” dari agen profesional yang bertujuan melakukan “framing” dan mendiskreditkan umat Islam.
“Agama dipinggirkan, dideskriditkan, dicitrakan sebagai sesuatu yang kuno. Sehingga hampir semua orang Indonesia di tahun 2036 akan meninggalkan ajaran agama.”
Alif yang menerima bukti-bukti prematur dari atasannya harus menghadapi sahabatnya sendiri dan menghancurkan padepokan yang telah membesarkannya. Lam yang terjepit di antara kedua sahabat berusaha mencari titik temu demi menghindari kehancuran yang lebih parah. Mim memilih menghadapi para aparat dan rela mengorbankan jiwanya tanpa kompromi.
Politik kambing hitam
Alif, Lam, dan Mim dipaksa bertempur satu sama lain dalam mempertahankan dan memperjuangkan kebenarannya masing-masing, seraya harus terus menjaga keluarga dan orang-orang yang mereka hormati dan cintai.
‘Ditampakkan kebengisan penguasa tanpa moral yang menghalalkan segala cara untuk membentuk tatanan liberal dan perdamaian semu. Itulah saat dimana liberalisme menjadi sangat radikal dan “teroris”.’
Film ini merupakan suatu bentuk visualisasi dari pergulatan politik yang membutuhkan kambing hitam demi tercapainya kepentingan suatu pihak, sehingga apapun dan siapapun akan dikorbankan demi tercapainya kepentingan tersebut; termasuk orang-orang yang tidak bersalah, hingga agama dan umatnya.
“Hak Asasi Manusia adalah barang dagangan orang-orang liberal. Sayangnya, lebih banyak orang liberal yang menggunakan HAM untuk menggebuk pihak lain. Mereka bicara HAM tentang Ahmadiyah, tapi bisu tentang penangkapan Densus 88 yang semena-mena. Mereka lantang bicara HAM tentang penutupan gereja, namun diam seribu bahasa tentang guru mengaji yang dianiaya. Itulah paradoksnya liberal.”
Baca juga : Kepunahan mayoritas Islam di Filipina, Penjajahan Spanyol dan Perjuangan Moro
Baca juga : Film The Raid : Redemption (2011)