Misteri Pembantaian di Banyuwangi 1998-1999: Ulama, Dukun Santet, dan Transisi Politik yang Mencekam
- Teror di Ujung Timur Jawa: Mengurai Benang Merah Tragedi Banyuwangi
- Pembantaian dukun santet di Banyuwangi antara 1998-1999 adalah salah satu peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia yang melibatkan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh melakukan praktik ilmu hitam. Peristiwa ini terjadi dalam konteks ketidakstabilan politik dan sosial setelah lengsernya Presiden Soeharto, yang menandai berakhirnya Orde Baru.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Pada pertengahan tahun 1998 hingga 1999, serangkaian pembunuhan misterius mengguncang Banyuwangi dan sekitarnya. Korban yang tercatat mencapai ratusan orang, mayoritas adalah mereka yang dituduh sebagai dukun santet. Namun, yang mengejutkan, di antara korban juga terdapat sejumlah tokoh agama dan guru ngaji. Peristiwa ini menyisakan tanda tanya besar: apakah ini murni konflik sosial ataukah ada motif politik di baliknya? Dan apakah kejadian ini sama seperti saat jaman PKI?
Latar Belakang Peristiwa
Pada akhir 1990-an, Indonesia mengalami masa transisi yang penuh gejolak. Krisis moneter yang melanda pada tahun 1997-1998, disusul dengan keruntuhan Orde Baru pada tahun 1998, menimbulkan kegelisahan besar di masyarakat. Di tengah situasi ini, muncul desas-desus mengenai keberadaan dukun santet yang konon menjadi biang kerok dari berbagai kemalangan di masyarakat. Banyuwangi, sebuah wilayah di ujung timur Pulau Jawa, menjadi pusat dari isu ini, dan terjadilah pembantaian besar-besaran yang menargetkan para “dukun santet.”
“Dalam situasi yang kacau ini, ketakutan dan kecurigaan masyarakat terhadap dukun santet—yang dianggap memiliki kekuatan gaib untuk mencelakai orang lain—semakin meningkat.”
Baca juga : Sukarno dan Bom Atom: Ketika Indonesia Berusaha Menjadi Kekuatan Nuklir
Baca juga : Konflik Poso: Luka yang Dalam di Sejarah Indonesia
Kronologi dan Pola Pembunuhan
Pembunuhan pertama tercatat pada Juli 1998, hanya beberapa bulan setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri. Pola pembunuhan menunjukkan kesamaan:
- Korban dibunuh pada malam hari
- Pelaku umumnya berkelompok dan bertopeng
- Target awal adalah mereka yang dituduh dukun santet
- Kemudian meluas ke tokoh-tokoh agama
Analisis: Apakah Ada Hubungan dengan Politik Pasca-Orde Baru?
- Polarisasi dan Ketidakstabilan Politik: Pasca-Orde Baru, situasi politik sangat rentan, dengan banyaknya kekuatan politik yang mencoba mengambil kesempatan untuk memperkuat posisi. Di tengah ketidakstabilan ini, isu-isu mistis seperti “dukun santet” dimanfaatkan untuk menciptakan suasana mencekam di masyarakat. Dugaan muncul bahwa peristiwa ini mungkin digunakan untuk mengalihkan perhatian publik dari krisis dan kekacauan politik yang sedang berlangsung.
“Di tengah kekacauan ini, sebagian masyarakat Banyuwangi, yang dikenal dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU)kental, mulai mengaitkan berbagai masalah sosial dan ekonomi dengan praktik santet. Pembunuhan dukun santet dimulai sebagai respons terhadap ketakutan akan ilmu hitam, yang dipicu oleh propaganda yang menyebutkan bahwa dukun santet adalah penyebab berbagai kesulitan yang dihadapi masyarakat”
- Isu Ulama sebagai Korban Pembantaian: Isu pembunuhan terhadap tokoh agama, khususnya ulama, juga mencuat dalam tragedi ini. Beberapa korban yang dicap sebagai “dukun santet” ternyata adalah tokoh agama atau kiai yang dihormati di masyarakat. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa ada motif tertentu untuk melemahkan kelompok ulama, terutama mereka yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Dalam suasana yang masih penuh dengan sisa-sisa kekuasaan Orde Baru, ulama berpotensi dianggap sebagai ancaman bagi kekuatan politik tertentu.
- Apakah Mirip dengan Tragedi Tahun 1965? Banyak yang mengaitkan peristiwa ini dengan tragedi 1965-1966, ketika gerakan anti-komunis melanda Indonesia dan menyebabkan ribuan orang dibunuh secara massal karena dituduh sebagai anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sama seperti kejadian tahun 1998-1999, kekuatan mistis dan sentimen agama digunakan untuk menciptakan ketakutan kolektif, yang berujung pada pembunuhan massal. Jika pada tahun 1965-1966 korbannya adalah mereka yang dianggap komunis, pada tahun 1998-1999 korbannya adalah mereka yang dituduh sebagai dukun santet atau yang melanggar norma masyarakat tertentu.
Motif Sosial dan Psikologis di Balik Pembantaian
Dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil, ketakutan masyarakat seringkali meningkat dan menjadi mudah diprovokasi. Krisis ekonomi dan kejatuhan Orde Baru menciptakan suasana yang menakutkan. Isu “santet” menjadi sarana pelepasan kecemasan kolektif, di mana masyarakat mencari kambing hitam atas berbagai kesulitan hidup yang mereka hadapi.
Siapa yang Diuntungkan dan Bagaimana Masyarakat Menghadapi Kenangan Kelam Ini?
Peristiwa pembantaian “dukun santet” Banyuwangi menunjukkan betapa rentannya masyarakat di tengah transisi politik dan ekonomi yang tidak stabil. Ada dugaan kuat bahwa pembantaian ini bukan semata-mata masalah keyakinan terhadap praktik mistis, tetapi juga berkaitan erat dengan agenda politik tersembunyi. Kenangan ini menjadi pengingat betapa pentingnya membangun masyarakat yang adil dan menghargai hukum agar peristiwa serupa tidak terulang kembali di masa depan.
Baca juga : Jabat Tangan Rahasia: Freemasonry, Teosofi, dan Sumpah Pemuda Indonesia
Baca juga : 18 Februari 2001, Tragedi Sampit : Kekerasan antar-etnis Dayak dan Madura pecah di Sampit, Kalimantan Tengah