Bo-105 adalah helikopter serbaguna, cepat dan sangat gesit serta sedikit dari heli di dunia yang memiliki sertifikat Aerobatik dari FAA(Federal Aviation Administration)
ZONA PERANG (zonaperang.com) MBB Bo 105 adalah helikopter serbaguna yang ringan, bermesin ganda, yang dikembangkan oleh Bölkow dari Stuttgart, Jerman. Produksi dimulai di bawah Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB), yang menjadi bagian dari Eurocopter pada tahun 1991. Eurocopter terus memproduksi Bo 105 hingga 2001, ketika lini produk digantikan oleh EC 135.
Keserbagunaan, kinerja, dan catatan keamanannya
Helikopter Airbus (sebelumnya Eurocopter / MBB) Bo 105 merupakan sistem helikopter utilitas ringan yang diakui di seluruh dunia karena keserbagunaan, kinerja, dan catatan keamanannya. Produk ini telah melayani (dan terus melakukannya) dalam kapasitas militer dan sipil sejak diperkenalkan pada awal 1970-an.
Operator seluruh dunia menggunakannya untuk transportasi umum, pengintaian, penilaian pertempuran, dan fungsionalitas over-battlefield Anti-Tank (AT) . Versi militer mampu dipasang sistem rudal anti-tank Euromissile (sekarang MBDA) HOT, Hughes BGM-71 TOW, Lockheed Martin AGM-114 Hellfire atau Raytheon Missile Systems FIM-92 Stinger yang dibuat untuk satu solusi medan perang yang mematikan.
Prototipe
Bo 105 terbang dalam bentuk prototipe pada 16 Februari 1967 dan dua prototipe lagi menyusul. Pesawat ini dilengkapi dengan 2 x mesin turboshaft Allison 250-C18 buatan Amerika(saat ini diakuisisi Rolls-Royce Inggris)yang menggerakkan rotor utama empat bilah dan rotor ekor dua bilah. Seiring perkembangan program, unit bilah rotor utama komposit digunakan dan mesin Allison sempat digantikan oleh unit 2 x MAN-Turbo 6022 series.
Produk Revolusioner Jerman
Heli Bo-105 merupakan salah satu mahakarya Ludwig Bölkow (30 Juni 1912 – 25 Juli 2003) yang mengarahkan langsung pengembangannya bersama tim MBB mulai 1964. Heli tersebut revolusioner di masanya karena sebagai heli ringan pertama di dunia yang ditenagai dua mesin, serta penggunaan sistem rotor tanpa engsel.
“Tujuan Bölkow adalah menciptakan rotor yang lebih simpel dan kokoh dengan mengeliminasi semua peredam (getaran) dan engselnya. Penghubung rotor utama (heli) MBB hanyalah satu kepingan titanium tempa besar untuk memberikan kekuatan yang cukup, dan bilah rotor serat kompositnya memberikan fleksibilitas. Tanpa engsel, kepala rotornya dikuci dengan baut langsung ke rangka heli,” demikian Flying Magazine edisi Maret 1990 menulis.
Varian
Operasional layanan diikuti pada tahun 1970 dan pembuatannya sudah sekitar 1.500 helikopter pada tahun 2001 (dari Messerschmitt-Bolkow-Blohm – “MBB”). Model layanan awal adalah Bo 105A dan Bo 105C, yang terakhir muncul pada tahun 1972 dan membawa mesin Allison 250-C20. Bo 105Cb menggabungkan fungsi pengamatan ringan dan sifat transportasi utilitas ganda dan muncul pada tahun 1976 dengan mesin -C20B.
Bo 105CBS menjadi model transportasi yang diperluas. Bentuk khusus lainnya segera muncul termasuk model Inggris Bo 105D untuk pekerjaan platform lepas pantai, helikopter Anti-Tank Bo 105ATH dari Angkatan Darat Spanyol. Bo 105P/PAH-1A1 untuk angkatan darat Jerman Barat dan sistem patroli maritim Bo 105MSS (membawa radar pencarian).
Di Indonesia
Menukil World Air Forces edisi 2022, militer Indonesia masih mengoperasikan 22 Bo-105. Delapan unit berada di Pusat Penerbangan TNI AL (Puspenerbal), 12 unit di Pusat Penerbangan TNI AD (Puspenerbad), dan dua unit di TNI AU dioperasikan Badan SAR Nasional (Basarnas).
Bacharuddin Jusuf Habibie(kelak presiden RI ketiga) kepincut. Kala dikaryakan di Divisi Advance Technology dan Teknologi Penerbangan (ATTP) PT Pertamina pada 1974, BJ Habibie mencanangkan penguasaan teknologi penerbangan baik untuk fixed-wing atau pesawat maupun rotary-wing atau helikopter.
“Jadi yang memulai itu Pertamina, belum IPTN. Waktu itu Pak Habibie mengajukan ke Presiden Soeharto untuk mulainya industri penerbangan. Konsep beliau mulai dari assembling, terus akhirnya produksi. Pak (Harsono Juned) Pusponegoro menangani pesawat, saya diminta Pak Habibie menangani helikopter,” kata eks-Menristek/Ketua BPPT Kabinet Pembangunan VII Rahardi Ramelan kepada Historia.
Baca juga : Peran Suharto dan Sultan HB IX dalam Serangan Umum 1 Maret 1949
Baca juga : Tiga Pesan Soeharto kepada Presiden Soekarno Pasca Pemberontakan G30S/PKI
Tempat Habibie berkarier
Untuk pesawat, yang mengembangkan pesawat turboprop NC-212, program itu merangkul Construcciones Aeronáuticas SA (CASA) dari Spanyol. Sementara, untuk program helinya Habibie mengincar Bo 105 yang diproduksi MBB, tempat Habibie berkarier antara tahun 1965-1973. Keduanya merupakan program produksi dan perakitan dengan lisensi CASA dan MBB.
Akan tetapi, menurut pengamat industri strategis Fajar Harry Sampurno, mulanya tiada yang sudi bekerjasama dengan Indonesia. Airbus, Boeing, maupun MBB sama semua. Berkat kegigihan Habibie yang terus mengupayakannya sejak 1974, CASA berhasil dirangkul untuk program pengembangan pesawat turboprop C-212 pada 1976.
“Mereka akhirnya mau karena bukan gratis. Maunya barter. CASA mau bantu pesawat terbang tapi kita harus menggunakan teknologi hydrocracking(proses mengubah umpan berupa minyak berat menjadi produk-produk minyak yang lebih ringan) mereka yang untuk kilang minyak. Pak Harto (8 Juni 1921 – 27 Januari 2008) setuju dan setelah CASA mau, kemudian MBB baru mau,” ujar Fajar Harry Sampurno kepada Historia dalam kesempatan berbeda.
Kerjasama dengan MBB mengikuti tak lama kemudian. Kerjasama tersebut bertujuan untuk produksi dan assembling heli BO-105.
Pengembangan industri dirgantara di Indonesia
Perjanjian segitiga lantas ditandatangani pada September 1974. Mengutip Prof. Sulfikar Amir, guru besar di Nanyang University, dalam The Technologial State in Indonesia: The Co-constitution of High Technology and Authoritarian Politics, perjanjiannya ditandatangani Ibnu Sutowo yang mewakili Pertamina, Ludwig Bölkow dari MBB dan (Enrique) De Guzman (CEO CASA). Penandatanganan itu menandai komitmen kedua perusahaan Eropa itu untuk membantu pengembangan industri dirgantara di Indonesia.
“Pertama-tama, Indonesia mengimpor beberapa unit CASA C-212 dan Bo-105 yang sudah dibongkar bagian per bagiannya dari Madrid dan Hamburg. Ratusan bagian pesawat lalu dirakit di Bandung agar mereka bisa mengenalinya dengan sistem teknis yang kompleks serta struktur keseluruhannya,” tulis Sulfikar.
Operasi Seroja
Lantaran adanya kebutuhan mendesak untuk Operasi Seroja di Timor Timur, produksinya dikebut di Pangkalan Udara Husein Sastranegara, Bandung untuk membangun BO-105 versi militer.
“Kita hanya dikasih hanggar kecil di situ. Untuk masang engine-nya aja saya enggak bisa. Jadi saya pakai crane sewaan di luar untuk pasang engine-nya. Kita mengubah dari heli biasa menjadi heli tempur. Jadi ada orang Angkatan Darat, Kapten Simorangkir, minta mulai bagaimana helikopter sipil ini bisa dipasangin senjata,” kata Rahardi.
Selain minta dipersenjatai dengan senapan otomatis kaliber 12,7 mm di pintu kiri dan kanan, TNI AD juga minta heli BO-105 itu dipasok radio Associated Industries AN/PRC 77 (Army/Navy, Portable, Radio, Communication)agar bisa berkomunikasi dengan pasukan darat. Yang sedikit merepotkan adalah permintaan penambahan lapisan baja di badan pesawat.
“Dulu musuh kita yang dari Tim-Tim itu berada di bukit-bukit, di tebing begitu. Kita diminta pasang antipeluru di pinggir (badan heli), di pintu juga. Wah, saya agak jengkel juga. Kalau semuanya sudah antipeluru, helikopternya enggak bisa terbang, keberatan dia. Hahahaha…” kenangnya sembari tertawa.
Lapisan baja dan antipeluru itu akhirnya dipasang hanya di bagian bawah perut pesawat, tepatnya di bawah seat kru dan penumpang. Sementara tim teknisi menyiapkan heli, Penerbad menggeber program pelatihan pilotnya.
“Sebanyak 19 orang perwira penerbang Angkatan Darat yang baru dilantik akan dipersiapkan untuk helikpter Bo-105. Demikian Komandan Pusat Penerbangan TNI-AD Brigjen R. Widodo Sastroamidjojo. Beberapa waktu lalu Presiden Soeharto memberikan bantuan skadron heli (16 buah) kepada Penerbangan TNI-AD. Ke-19 perwira yang sebagian besar lulusan AKABRI itu baru saja menyelesaikan kursus penerbang yang berlangsung sejak awal Oktober 1975,” kata Majalah Angkasa edisi September-Oktober 1976.
Nusantara dan Nurtanio
Setelah itu, pengembangan dan perakitannya barulah dikerjakan para insinyur IPTN. Identitas heli sedikit mengalami perubahan, yakni dengan penambahan “N” (singkatan dari Nusantara dan Nurtanio) di depan, sehingga menjadi NBO-105. Semua produksi IPTN kemudian dinamai NBO-105, sebagaimana pesawat CASA C-212 menjadi CN-212.
“Transformasi teknologi dilaksanakan IPTN dengan metode program pembuatan yang progresif, telah menghasilkan bentuk produksi yang dirancang baik untuk kebutuhan sipil maupun militer. Keseluruhan sejak berproduksi tahun 1976 IPTN telah mengeluarkan produksinya untuk NC212 sebanyak 115 dan NBO 105 sebanyak 142 buah,” tulis majalah Dharmasena edisi Juni 1987.
NBO-105 kemudian laris di pasaran. Setelah dilengkapi varian yang di-stretched: NBO-105 CB, NBO-105 CBS, dan NBO-105S, heli-heli buatan IPTN itu diekspor ke Yordania, Kanada, dan Afrika Selatan. Di dalam negeri, selain dioperasikan Penerbad, heli tersebut juga dioperasikan Penerbal, Departemen Kehutanan, Pelita Air Service, dan Polri. Korps Bhayangkara menggunakannya sejak 1981.
“Kapolri Jenderal Polisi Moch. Sanoesi pada 8 April 1988 menerima enam helikopter baru jenis NBO 105 dari IPTN yang diserahkan oleh Direktur Utamanya Prof. Dr. Ing. BJ Habibie di Kawasan Produksi II IPTN. Kepolisian RI sejak 1981 telah mengoperasikan tujuh helikopter jenis NBO-105 dan dengan penyerahan ini Polri telah mempunyai 13 buah NBO-105 produksi IPTN,” tulis majalah Mimbar Kekaryaan ABRI edisi April 1988.
Produksi
IPTN sendiri memproduksi hingga 100 NBo.105CB dan 23 NBo.105CBS. Namun, NBO-105 yang berjenis heli ringan berangsur-angsur mendapatkan teman setelah IPTN bekerjasama dengan pabrikan heli Prancis, Sud Aviation (kini Aérospastiale), sejak 1982. Kerjasama itu bertujuan untuk memproduksi heli keluarga “Puma” di bawah lisensi Prancis.
Seiring perjalanan waktu, NBO-105 yang digunakan Penerbad dan Penerbal sedikit demi sedikit diganti oleh Bell 412, Mil Mi-35, Mil Mi-17, EC-120 “Colibri”, hingga Eurocopter Fennec karena usia. Di sisi lain, PT DI sudah menyetop produksi NBO-105 sejak 2011.
Karakteristik umum
Kru: 1 atau 2 pilot
Kapasitas: 3 atau 4 penumpang
Panjang: 11,86 m (38 ft 11 in) (panjang total – termasuk rotor)
Tinggi: 3,00 m (9 kaki 10 inci)
Berat kosong: 1.276 kg (2.813 lbs)
Berat lepas landas maksimum: 2.500kg (5.512lbs)
Kapasitas bahan bakar: 570 L (150 US gal; 130 imp gal)
Propulsi: 2 × mesin turboshaft Allison 250-C20B, masing-masing 310 kW (420 shp)
Diameter rotor utama: 9,84 m (32 kaki 3 inci)
Area rotor utama: 76,05 m2 (818,6 sq ft)
Kemampuan
Kecepatan maksimum: 242 km/jam (150 mph, 131 kn)
Kecepatan jelajah: 204 km/jam (127 mph, 110 kn)
Tidak pernah melebihi kecepatan: 270 km/jam (170 mph, 150 kn)
Jangkauan: 657 km (408 mi, 355 nmi) pada 1.525 m (5.000 kaki) (bahan bakar standar, muatan maksimum)
Jangkauan feri: 1.112 km (691 mi, 600 nmi) pada 1.525 m (5.000 kaki) (dengan tangki tambahan)
Daya tahan: 3 jam 30 menit (bahan bakar standar, muatan maksimum)
Ketinggian operasional: 5.200 m (17.000 kaki)
Tingkat pendakian: 8,00 m/s (1.575 kaki/mnt)
Persenjataan
Rudal: 6x Euromissile HOT (Bo 105 P) atau 8x BGM-71 TOW
atau berbagai pod dengan roket terarah dan senapan mesin
Baca juga : Helikopter Serang Boeing AH-64 Apache(1975), Amerika Serikat
Sumber : https://skybrary.aero/aircraft/b105
https://historia.id/sains/articles/cerita-di-balik-helikopter-nbo-105-6lgQo/page/2
https://www.military-today.com/helicopters/bo_105.htm
https://www.helis.com/database/model/MBB-Bo-105/
https://www.militaryfactory.com/aircraft/detail.php?aircraft_id=343