Selama puluhan tahun kariernya, Kissinger memainkan peran penting, seringkali kontroversial, dalam kebijakan luar negeri AS selama Perang Dingin, termasuk yang melibatkan Indonesia.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Diplomat senior Amerika Serikat yang juga mantan Menteri Luar Negeri negara itu, Henry Alfred Kissinger, meninggal dunia pada Rabu (29/11/2023). Ia wafat dalam usia 100 tahun.
Ia menjabat sebagai diplomat tertinggi AS dan penasihat keamanan nasional pada masa pemerintahan Presiden Richard Milhous Nixon dan Gerald Rudolff Ford Jr
Kissinger merupakan salah satu Menlu yang paling fenomenal dalam sejarah AS. Menteri berdarah Yahudi-Jerman itu membuka kembali hubungan antara Washington dengan Beijing dengan taktik diplomasinya yang dikenal sebagai Ping Pong Diplomacy.
Mantan Presiden AS, Henry Ford menyebut Kissinger yang bersama keluarganya melarikan diri dari kekejaman Nazi jerman sebagai “menteri luar negeri yang super”. Ia menyebut Kissinger sebagai sosok dengan sifat keras kepala dan memiliki kepercayaan diri tinggi, yang oleh para kritikus lebih cenderung disebut sebagai paranoia dan egois.
Meskipun ia sudah tidak lagi menjabat pada pertengahan 1970-an, ia terus menjadi konsultan bagi berbagai pemimpin selama beberapa dekade.
“Henry dalam pikirannya tidak pernah melakukan kesalahan. Ia memiliki kulit tertipis di antara figur publik manapun yang pernah saya kenal,” usar Ford dalam wawancara tahun 2006.
Baca juga : Amerika sudah menyetujui pengusiran paksa penduduk Palestina di Jalur Gaza
Baca juga : Lobi Zionis: Bagaimana AIPAC Mempengaruhi Pemilihan Presiden dan Kebijakan Amerika
Eksistensi negara Israel & pandangan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina
Setelah menjabat, Kissinger yang pernah bertugas di US Army pada Korps Kontra Intelijen dan terlibat dalam pertempuran Bulge 1944 sangat aktif mengomentari beberapa isu-isu global, bahkan hingga usianya sangat senja. Pada tahun-tahun terakhirnya, kehidupannya masih dipenuhi oleh upaya negara-negara lain untuk menangkap atau menanyainya tentang kebijakan luar negeri AS di masa lalu.
Sementara itu, salah satu isu geopolitik yang pernah dibahasnya adalah eksistensi negara Israel, yang dianggap kontroversial karena mengusir bangsa Arab Palestina dari tanah airnya.
Sebagai seorang Yahudi, Kissinger punya hubungan erat dengan kebijakan zionis Israel. Harian New York Times pada 5 Maret 1988, menyiarkan berita tentang nasihat Kissinger kepada sekelompok tokoh Yahudi Amerika untuk memadamkan gerakan intifadhah (perlawanan) pemuda Palestina melawan pendudukan Israel.
Harian itu melaporkan, bahwa dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh Yahudi di bulan Februari 1988, Kissinger memberi nasihat kepada Israel, agar menumpas intifadhah secepat mungkin, secara besar-besaran, dan brutal.
“Pemberontakan itu harus dipadamkan cepat-cepat, dan langkah pertama yang diambil hendaklah memberangus televisi, ala Afrika Selatan. Tentu saja, akan timbul kecaman internasional atas langkah tersebut, tapi hal itu akan segera berlalu,” demikian nasihat Kissinger.
Nasihat Kissinger itu kelihatannya sangat didengar dan kemudian diaplikasikan oleh Pemerintah Israel, yang ketika itu dikendalikan oleh Yitzhak Shamir (perdana menteri) dan Yitzhak Rabin (menhan). Sebagai Menhan, Rabin mengeluarkan kebijakan “patah tangan” terhadap pemuda Palestina. Segala cara dan kekejaman digunakan Rabin untuk mematahkan perlawanan pemuda Palestina.
Kata Yitzhak Shamir, “tugas kami sekarang adalah menciptakan kembali benteng rasa takut antara orang-orang Palestina dan militer Israel, dan sekali lagi menyebarkan rasa takut untuk kematian pada orang-orang Arab di wilayah-wilayah itu untuk mencegah mereka agar tidak menyerang kami lagi.”
Israel dilaporkan membunuh, melukai, memotong anggota badan, menyiksa, memenjarakan, atau mengusir puluhan ribu orang Palestina.
Pada 2012, Kissinger yang memiliki nama lahir: Heinz Alfred Kissinger memprediksi negara Israel tidak akan lagi dalam 10 tahun ke depan atau lebih tepatnya pada tahun 2022. ini ia tuliskan dalam sebuah kolom di New York Post.
Ramalan yang disampaikan mantan menlu AS itu muncul pada saat terjadinya ketidakstabilan politik dan keamanan di Timur Tengah, di mana itu dipicu oleh serangan Israel terhadap Jalur Gaza.
“Dalam 10 tahun, tidak akan ada lagi Israel,” tuturnya.
Meski banyak yang memuji Kissinger karena kecerdasan dan pengalamannya yang luas, ada pula yang mencapnya sebagai penjahat perang atas dukungannya terhadap kediktatoran anti-komunis, khususnya di Amerika Latin.
Ia sendiri diketahui mendapat Nobel Perdamaian tahun 1973. Namun ini pun menjadi kontroversi, di tengah penolakan pemenang lain, Le Duc Tho dari Vietnam Utara, dan pengunduran diri dua komite Nobel karena terpilihnya Kissinger serta isu pemboman rahasia AS di Kamboja.
Baca juga : 5 Operasi teratas badan Intelijen Amerika CIA melawan Uni Soviet
Baca juga : Cina Tawarkan 100.000 Senjata Gratis untuk Angkatan Kelima PKI
Keterlibatan dengan Indonesia
Henry Kissinger disebut-sebut mulai menyoroti Indonesia ketika bekerja bersama kakak-beradik, Allen Dulles dan John Foster Dulles pada 1952.
Belakangan Allen menjadi Direktur Central Intelligence (CIA), sementara John Foster menjadi Menlu AS.
Pada 1920-an dan 1930-an, Allen dan John Foster menjadi pengacara terkemuka bagi kerajaan minyak Rockefeller.
Mereka tertarik dengan Hindia Belanda karena memiliki potensi pertambangan dan minyak.
Pada 1950, strategi Dulles di Indonesia berfokus untuk memastikan Papua Barat (Irian Barat) berpindah tangan, dari kendali Belanda ke Indonesia, kemudian menuju perubahan rezim.
Membuat perpecahan antara Moskow dan Beijing
Tak hanya itu, Kissinger serta kakak beradik Dulles berupaya “membuat perpecahan antara Moskow dan Beijing” dengan cara menghabisi pendukung Sukarno dan Partai Komunis Indonesia.
Strategi ini pertama kali dirumuskan dalam laporan panel Rockefeller Brothers pada tahun 1958, sebagaimana dikemukakan sejarawan Greg Poulgrain dalam buku JFK vs Allen Dulles: Battleground Indonesia.
“Allen Dulles, Henry Kissinger, semua tahu dampak pembasmian PKI terhadap Perang Dingin karena terjadi perseteruan saling menyalahkan antara Moskow dan Beijing. Sebelumnya keduanya saling berebut kendali atau pengaruh terhadap PKI, yang merupakan kekuatan komunis terbesar ketiga di dunia,“ papar Poulgrain kepada BBC News Indonesia.
“Mereka [Allen Dulles dan Henry Kissinger] tidak lagi tertarik pada upaya pembunuhan Sukarno, mereka tertarik menghabisi pendukung utama Sukarno dan PKI. Dengan memusnahkan itu, Moskow dan Beijing berseteru.
“Jadi, titik balik Perang Dingin bukanlah kunjungan Presiden Nixon atau negosiasi Kissinger, melainkan Indonesia pada 30 September 1965,“ tutur Poulgrain.
Lampu hijau pada serangan Indonesia ke Timor Timur
Sebagaimana tercantum dalam dokumen rahasia yang diterbitkan oleh National Security Archive di George Washington University, di bawah arahan Kissinger, AS memberi lampu hijau pada serangan Indonesia ke Timor Timur (sekarang Timor-Leste) pada 1975 yang mengawali pendudukan selama 24 tahun oleh pemerintahan Jakarta.
Pada awal Desember 1975, Kissinger bersama Presiden AS Gerald Ford melakukan kunjungan bersejarah ke Indonesia, Mereka kemudian menemui Presiden Soeharto pada 6 Desember 1975. Keesokan harinya, salah satu episode paling berdarah sepanjang sejarah Tanah Air dimulai.
Gerald Ford didampingi Kissinger mengadakan pertemuan dengan Presiden Soeharto di tengah terjadinya perang sipil menyusul dekolonisasi Timor Leste. Setelah Timor Leste menyatakan kemerdekaan pada awal 1975, perseteruan antara dua kubu di negara itu, Serikat Demokratik Timor (UDT) dan Fretilin meledak jadi perang sipil.
UDT kemudian berpaling pada militer Indonesia meminta wilayah bekas jajahan Portugal itu diintegrasikan dalam NKRI. Rencana invasi militer kemudian menyeruak setelah upaya perundingan kandas di Portugal. Hanya satu yang dibutuhkan Soeharto: restu Amerika Serikat.
Baca juga : 17 Juli 1976, Timor Timur menjadi provinsi ke-27 Indonesia
Baca juga : 7 Desember 1975, Operasi Seroja Timor Timur: Ketakutan Amerika terhadap Komunis
Lakukan dengan Cepat
‘Kepada Jenderal Suharto, ia mengatakan “Penting agar apa pun yang Anda lakukan berhasil dengan cepat”‘
Di tengah isu yang memanas itu, Ford dan Kissinger menemui Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta, pada pukul 08.00, 6 Desember 1975 tersebut. Wartawan Republika Selamat Ginting menuliskan, Soeharto tak sulit meyakinkan keduanya mengingat belum lama Indonesia menggagalkan perebutan kekuasaan partai komunis pada 1965.
Soeharto menyalahkan komunis atau golongan kiri yakni Fretilin yang akan menguasai Timor Portugal. Alasan itu klop, apalagi Amerika Serikat sedang mengalami trauma tentang jatuhnya pemerintah nonkomunis di Vietnam dan Kamboja pada April 1975. Pemerintah nonkomunis Laos juga jatuh ke tangan komunis pada tahun yang sama. Peristiwa ini menguatkan teori domino yang mengatakan: jika salah satu negara nonkomunis jatuh, maka negara nonkomunis lainnya akan jatuh juga.
Presiden Ford tahu bahwa peralatan militer buatan Amerika Serikat dipakai dalam operasi militer Indonesia di Timor Portugal dalam operasi intelijen. Pada waktu itu Menteri Luar Negeri Kissinger sempat bertanya, “Itu alat-alat militer buatan Amerika Serikat dipakai (di Timor Portugal) atau tidak?”
Menteri Luar Negeri Adam Malik menjawab, “Kalau tidak ada Hercules, kami mau pakai apa?” Mendengar jawaban itu Menteri Luar Negeri Kissinger hanya diam saja.
Pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Brent Scowcroft, Ketua US National Security Council kepada Asisten Intelijen Hankam Mayor Jenderal Leonardus Benjamin “Benny” Moerdani yang berada di ruangan lain. Jenderal berbintang dua itu menjawab, “Kami tidak mempunyai pilihan lain.”
Timor is your problem
Menutup pembicaraan tentang masalah Timor Portugal, maka Presiden Ford berkata kepada Presiden Soeharto, “Timor is your problem.”
Secara geografis, Timor Portugal memang cocok digunakan sebagai pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara bagi negara superpower. Perairan di lepas pantai utara Timor bagian timur itu memiliki kedalaman sekitar 2.000 meter. Kedalaman tersebut memungkinkan kapal selam nuklir bergerak di bawah laut melintas dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik atau sebaliknya lewat Selat Ombai dan perairan Maluku.
Artinya, jika Timor Leste dikuasai oleh golongan komunis, maka peta pertahanan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik akan mengalami ancaman besar. Kekhawatiran Amerika Serikat itu menyebabkan Presiden Ford dan Kissinger memberikan lampu hijau bagi Indonesia untuk masuk ke Timor Portugal.
Pengamat politik AS, William Blum, di New York, pada 1999 menuturkan bahwa pada 3 Desember 1975, sebuah laporan intelijen masuk ke Washington. Laporan dinas rahasia tersebut berbunyi, ”pejabat tinggi sipil Indonesia telah memutuskan bahwa satu-satunya cara penyelesaian bekas wilayah jajahan Portugal di Timor-Timur adalah perlunya Indonesia menyerang Fretilin”. Dan untuk melaksanakan niat itu, Indonesia perlu semacam persetujuan dari AS, karena persenjataan pasukan ABRI waktu itu kebanyakan berasal dari AS.
Sahabat paling penting di Asia Pasifik bagi Washington
Berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di AS, senjata-senjata produk AS tak boleh digunakan untuk melakukan agresi. Entah direncanakan dengan rapi atau hanya kebetulan, masuknya laporan intelijen ke Washington itu diikuti dengan kunjungan Ford ke Jakarta.
Laporan intelijen itu juga menyebutkan kemungkinan Soeharto akan mengangkat isu Timtim dan mencoba meminta lampu hijau dari Ford. ”Soeharto berhasil meyakinkan Ford,” tulis William Blum. AS lantas menyetujui masuknya ABRI ke Timor Leste, dengan beberapa perhitungan.
Pada masa genting-gentingya Perang Dingin antara Timur-Barat tersebut itu, Indonesia menjadi sahabat paling penting di Asia Pasifik bagi Washington, setelah beberapa kegagalan AS membendung arus komunisme. Pada 1975, AS terpaksa angkat kaki dari Vietnam (Selatan), setelah kalah menghadapi kekuatan Vietnam (Utara) yang komunis.
AS lantas merasa perlu mendukung Indonesia, yang diharapkan dapat mencegah berlanjutnya teori domino di Asia Pasifik. Jika ketika itu Timtim jatuh ke tangan komunis pula, AS akan kehilangan kepentingan strategis. Terutama Selat Ombai-Wetar, yang merupakan jalur rahasia bagi kapal-kapal perang nuklir AS yang berlalu-lalang di Samudera Pasifik dan Lautan Hindia.
Jangan memulai penyerbuannya sebelum ke luar dari wilayah udara Indonesia
Perkataan Presiden Ford dalam pertemuan dengan Soeharto dapat ditafsirkan, jika Indonesia masuk ke Timor Leste, Amerika Serikat tidak akan campur tangan. Ketika Menlu Kissinger bertemu dengan Mayor Jenderal Benny Moerdani yang sedang bersama Brent Scowcroft, ia meminta agar Indonesia jangan memulai penyerbuannya ke Timor Portugal, sebelum Air Force One ke luar dari wilayah udara Indonesia.
Benny Moerdani menyanggupi hal itu. Presiden Ford dan rombongan pun meninggalkan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, menuju ke Tokyo pada pukul 11.30 WIB. Begitu lepas dari langit Indonesia, ABRI langsung menggelar Operasi Seroja untuk menduduki Timor Leste, pendudukan yang selama 23 tahun memicu perang berkelanjutan dengan banyak korban jiwa sebelum Presiden BJ Habibie memutuskan menggelar referendum untuk Timor Leste.
Lima hari setelah serbuan pasukan ABRI ke Timtim, PBB melakukan pemungutan suara untuk mengutuk serangan itu. Tapi AS tetap membela Indonesia. Dukungan AS bukan cuma di lapangan, melainkan juga di arena diplomasi. “AS abstain dalam pemungutan suara waktu itu. Bahkan delegasi AS melakukan manuver di belakang layar untuk menahan langkah PBB yang berusaha mendesak agar Indonesia mundur dari wilayah yang telah dikuasainya,” kisah Blum.
Kissinger juga berperan mendorong perpanjangan Perang Vietnam dan memperluas konflik tersebut ke Kamboja; memfasilitasi genosida di Kamboja, dan Bangladesh; percepatan perang saudara di Afrika bagian selatan; serta mendukung kudeta dan pasukan pembunuh di seluruh Amerika Latin.
Ada darah dari setidaknya tiga juta orang di tangannya, menurut Greg Grandin selaku penulis biografi Kissinger.
“Hanya ada sedikit orang yang terlibat dalam kematian dan kehancuran serta penderitaan manusia di banyak tempat di dunia seperti Henry Kissinger,” kata jaksa penuntut kejahatan perang, Reed Brody.
Baca juga : 10 Kali Amerika Menggulingkan Pemerintahan Asing
Baca juga : Singapura : Negeri melayu yang “hilang”, sebuah pelajaran dan ancaman demografi yang sangat menghantui
Memorandum Keamanan Nasional 200
Memorandum Keamanan Nasional 200, yang diselesaikan di bawah arahan Nixon dan Kissinger.
Memorandum tersebut dan kebijakan-kebijakan selanjutnya menguraikan bagaimana AS dapat menggunakan kontrol populasi untuk membatasi kekuatan politik negara-negara berkembang di belahan bumi selatan, memastikan ekstraksi sumber daya alam neo-kolonial yang mudah dari berbagai negara oleh perusahaan-perusahaan AS, mencegah lahirnya generasi muda anti-kemapanan di negara-negara berkembang, serta perlindungan perusahaan-perusahaan AS dari pemerintah negara-negara berkembang yang berusaha untuk mendukung populasi mereka yang terus bertambah dan mengurangi dominasi perusahaan-perusahaan AS.
Dosa di Chile
Selama bertahun-tahun, Kissinger juga mendapat kritik pedas dari orang-orang yang menuduhnya mendorong pelanggaran hak asasi manusia dan mendukung rezim yang represif di seluruh dunia, termasuk berdirinya rezim Augusto Pinochet di Chile.
Namun Kissinger menepis kritik ini.
“Itu mencerminkan ketidaktahuan mereka,” kata negarawan bersuara serak itu kepada CBS dalam sebuah wawancara, sesaat sebelum ulang tahunnya yang ke-100.
Ketika Kissinger meninggalkan pemerintahan pada tahun 1977, dia terus menjadi komentator yang produktif dalam hubungan internasional.
Nasihatnya diminta oleh 12 presiden AS – dari John F Kennedy hingga Joe Biden – serta oleh anggota parlemen.
Kissinger juga satu-satunya orang Amerika yang pernah berhubungan langsung dengan setiap pemimpin China mulai dari Mao Zedong hingga Xi Jinping.
Ia juga menjabat sebagai dewan direksi di berbagai perusahaan dan menjadi anggota forum kebijakan luar negeri dan keamanan, serta menulis 21 buku.
Masa lansia yang aktif
Bahkan setelah memasuki usia 100 tahun, Kissinger tetap menjalani kehidupan yang aktif, termasuk kunjungan mendadak ke Beijing untuk bertemu dengan Presiden Cina, Xi Jinping, pada bulan Juli ini saat hubungan antara AS dan Cina masih dalam titik yang panas.
“Kissinger dan Nixon memiliki kegemaran yang sama untuk merahasiakan dan melakukan banyak negosiasi “jalur belakang”, seperti yang dilakukan melalui Duta Besar Uni Soviet untuk Amerika Serikat, Anatoly Dobrynin, yang tidak melibatkan para ahli Departemen Luar Negeri”
Di sana, Kissinger mendapat sambutan hangat meskipun hubungan antara Cina dan AS sedang dingin.
Kunjungan tersebut membuat Gedung Putih kesal. Juru bicara Dewan Keamanan Nasional, John Kirby, mengeluh bahwa “sangat disayangkan bahwa seorang warga awam” memiliki akses ke pejabat tingkat tinggi Cina sementara pemerintah AS tidak.
https://twitter.com/GUnderground_TV/status/1730207193121558981
Baca juga : Nelson Mandela, Sang ‘Teroris’ Bagi Barat Tetapi Pahlawan untuk Afrika Selatan serta Kemanusiaan
Baca juga : Lukisan 9 Garis Putus-putus: Ambisi Cina di Laut Cina Selatan