Peristiwa yang paling menegangkan dalam sejarah TNI Angkatan Udara, untuk pertama kalinya, Indonesia berhadapan langsung dengan unsur armada laut Amerika Serikat dalam sebuah pertempuran udara jarak dekat.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Aksi koboi udara Amerika Serikat pernah terjadi tanggal 3 Juli 2003 di atas Pulau Bawean Gresik Jawa Timur. Insiden tersebut menjadi topik yang cukup popular mengingat pesawat tempur stategis F-16 TNI AU yang diperintahkan mengidentifikasi armada F/A-18 Hornet US dikunci dan mendapat tindakan pengusiran.
Hari itu terjadi “tatap muka” antara penyergap TNI Angkatan Udara dengan pesawat andalan Angkatan Laut Amerika Serikat melalui dogfight dan perang elektronika di atas Laut Jawa, sebelah barat laut Pulau Bawean selama tiga menit.
Kala itu dua pesawat General Dynamics F-16 Fighting Falcon B blok 15 OCU/Operational Capability Upgrade TNI AU Skuadron udara 3 Sarang Naga (The dragon’s nest) berhadapan dengan sembilan pesawat tempur McDonnell Douglas F/A-18 Hornet milik AL AS.
Peristiwa dimulai ketika armada tempur kapal induk nuklir 101,300 ton Nimitz class USS Carl Vinson (CVN-70) bersama 2 Fregat dan 1 Destroyer milik Angkatan Laut Amerika Serikat (US Navy) berlayar dari Singapura menuju Australia melalui Selat Karimata (ALKI I) lalu masuk ke Laut Jawa.
Baca juga : Delapan pelajaran yang dapat dipetik angkatan udara dari perang di Ukraina
Embargo senjata dan Insiden Teluk Sidra Libya
Pada saat Insiden Bawean, Indonesia masih dalam kondisi embargo militer oleh Amerika termasuk suku cadang disebabkan pihak Jakarta dianggap melanggar hak asasi manusia dengan menembaki demonstran di Santa Cruz Dili, Timor Timur (kini Timor Leste), pada 12 November 1991.
“Sejak akhir tahun sembilan puluhan, kemampuan servis pesawat menjadi rendah karena pengiriman suku cadang dari Amerika Serikat terhenti beberapa kali, dan hanya sejumlah kecil pesawat yang tersedia setiap saat.”
Kesiapan F-16 seperti perangkat keras yang lain dicoba dipertahankan dengan susah payah melalui sistem kanibalisme dan pembelian peralatan yang diperlukan secara sembunyi-sembunyi serta improvisasi melalui PT. Dirgantara Indonesia.
Walaupun demikian misi CAP jarak jauh hingga ke Aceh dalam rangka Operasi Militer di Aceh tetap dilakukan. F-16 dan pilotnya belum genap 20 menit pulang ke homebase dari opsmil di Aceh ketika panggilan kembali ke markas untuk melakukan VisID dikeluarkan oleh Komandan Skadron.
Teluk Sidra 1 & 2
Peristiwa ini mampir serupa dengan insiden Teluk Sidra pertama, 19 Agustus 1981, dua Su-22 Fitter Libya menembaki dua F-14 Tomcat AS dan kemudian ditembak jatuh di lepas pantai Libya.
Libya telah mengklaim bahwa seluruh Teluk adalah wilayah mereka, pada 32° 30′ LU, dengan zona penangkapan ikan eksklusif seluas 62 mil laut (115 km; 71 mil), yang dinyatakan oleh pemimpin Libya Muammar Gaddafi sebagai “Garis Kematian” pada tahun 1973. Dua insiden lebih lanjut terjadi di daerah tersebut pada tahun 1986 (Operation Prairie Fire) dengan penenggelaman kapal korvet dan cepat serta pada tahun 1989.
Pada tanggal 4 Januari 1989, dua Grumman F-14 Tomcat Angkatan Laut Amerika Serikat menembak jatuh dua Mikoyan-Gurevich MiG-23 Floggers yang dioperasikan oleh Libya, yang menurut para awak pesawat Amerika Serikat berusaha untuk terlibat dan menyerang mereka, seperti yang terjadi delapan tahun sebelumnya dalam insiden Teluk Sidra 1981. Pertempuran terjadi di atas Laut Mediterania, sekitar 40 mil (64 km) di sebelah utara Tobruk, Libya
Latihan rutin di wilayah negara lain
Pada saat melewati perairan Bawean itulah, pesawat F/A-18 yang merupakan bagian dari kekuatan kapal induk CVN-70 melakukan latihan penerbangan rutin mereka dan melakukan manuver berbahaya bagi lalu-lintas penerbangan sipil di ruang udara Indonesia.
Deteksi mengenai adanya penerbangan gelap pada Insiden Bawean ini mulai dilaporkan pukul 11.41 WIB. Pusat Operasi Sektor (Posek) Hanudnas II Makassar menerima informasi dari MCC (Military Civil Coordination – Pusat Koordinasi Radar Sipil – Militer) Ngurah Rai, Bali mengenai adanya deteksi penerbangan gelap di atas Pulau Bawean.
Sebanyak lima unit pesawat terdeteksi pada ketinggian bervariasi antara FL 150-350 (15.000 kaki hingga 35.000 kaki/4.500m-10.000m). Kecepatannya berkisar 450 knot atau 833 km/jam dan Squawk Number (IFF mode 3/A) 1200.
Tidak ada komunikasi yang terdengar antara 5 pesawat tidak dikenal tersebut dengan ATC (Air Traffic Control) Bali atau Surabaya. Informasi LaSa (Laporan Sasaran) X tersebut kemudian diteruskan untuk dimonitor di Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunas), Jakarta.
Posek Hanudnas II selanjutnya memerintahkan MCC Rai dan MCC Juanda untuk terus memonitor track Lasa tersebut serta meminta konfirmasi apakah sudah ada Security Clearance (SC) pesawat pesawat yang terlibat pada Insiden Bawean tersebut kepada Popunas.
Baca juga : 11 Pertempuran udara-ke-udara paling epik dalam sejarah militer
F-5 S/T Republic of Singapore Air Force (RSAF)
Pukul 12.30 WIB Popunas dan Staf Intelijen Kohanudnas melakukan langkah-langkah pencarian LaSa X. Antara lain dengan mengecek seluruh database dan SC yang diterima oleh Kohanudnas maupun berbagai instansi terkait. Dari situ tim menemukan data sementara berupa Flight Approval nomor DDS: 819/ UD/VI/03 tertanggal 11/VI/2003.
Disebutkan bahwa ada lima pesawat F-5 S/T milik RSAF Singapura yang melaksanakan latihan penerbangan jarak jauh lintas berijin dengan rute Paya Lebar-Darwin-Amberley-Darwin-Paya Lebar dan menggunakan empat titik air refueling sepanjang rute penerbangan tersebut.
Masa berlaku ijin penerbangan mulai 24 Juni hingga 23 Juli 2003. Dari sini tim berkesimpulan sementara bahwa LaSa X dimaksud adalah pesawat RSAF yang sedang melaksanakan air refueling di atas Bawean serta “holding” karena cuaca buruk atau sebab teknis lain.
LaSa X Menghilang & Muncul Lagi di Insiden Bawean
Setelah lebih satu jam bermanuver, Pukul 12.45 WIB Lasa X menghilang dari pantauan radar. Tim berasumsi mereka telah pergi meneruskan perjalanan. Meski demikian para petugas di Posek Hanudnas II dan Popunas tetap memonitor wilayah tersebut.
Dua jam kemudian, 14.50 WIB, tiba-tiba sejumlah pesawat tak dikenal kembali mengudara di sekitar Pulau Bawean. Pangkosek Hanudnas II saat itu Marsma TNI Panji Utama segera melaporkan kejadian tersebut kepada Pangkohanudnas Marsda TNI Wresniwiro.
Pangkohanudnas lalu memerintahkan Pangkosekhanudnas II untuk melaksanakan identifikasi visual menggunakan pesawat Tempur Sergap (TS) F-16 yang siaga di Lanud Iswahjudi, Madiun. Inilah awal mula peristiwa yang dikenal sebagai Insiden Bawean.
Baca juga : Inggris Secara Rahasia menempatkan 48 Bom Nuklir 25kt “Red Bread”di Pangkalan Udara Tengah Singapura
Keluhan dari pilot sipil
Pada saat bersamaan Popunas mendapat informasi dari MCC Soekarno-Hatta, bahwa ada keluhan dari captain pilot pesawat Bouraq yang lewat di jalur udara W-31, sebelah timur Pulau Bawean. Pilot melaporkan adanya penampakan pesawat-pesawat tempur di dekat jalur penerbangan dan tidak ada penjelasan tentang hal itu dari ATC Bali maupun Surabaya.
Pukul 15.10 WIB petugas di Posek Hanudnas II dan Popunas yang terus memonitor pergerakan pesawat kembali dikejutkan. Kali ini LaSa X yang terdeteksi meningkat menjadi sembilan pesawat! Pangkohanudnas segera menaikkan status “Siaga Hanudnas” menjadi “Waspada Kuning” dan “Siaga Dua”.
Sepuluh menit kemudian Pangkohanudnas melakukan koordinasi dengan Pangkoopsau II Marsda TNI Teddy Sumarno dan Asisten Operasi KSAU Marsda TNI Djoko Suyanto perihal rencana penggunaan pesawat F-16. Setelah dirundingkan, sepuluh menit kemudian Pangkohanudnas memberikan perintah kepada Pangkosekhanudnas II untuk melaksanakan persiapan identifikasi visual LaSa X menggunakan F-16.
Menyiapkan pesawat F-16 untuk identifikasi
Pukul 15.40 WIB Pangkosekhanudnas II memerintahkan Komandan Posko Tempur Sergap F-16 (Danskadron Udara 3) Letkol Pnb Tatang Harlyansyah agar menyiapkan pesawat F-16 untuk identifikasi visual pada beberapa LaSa X di radial 340 derajat – 015 derajat, FL 250-155 dan jarak 113-135 Nm dari SBY (posisi sekitar Pulau Bawean, karena itu peristiwa ini dikenal sebagai Insiden Bawean). Pukul 15.53 Pangkohanudnas melaporkan rencana pelaksanaan operasi kepada Kasum TNI dan KSAU Marsekal TNI Chappy Hakim.
Sementara di Pangkalan Udara tempur terbesar di Indonesia, Lanud Iswahjudi, Madiun situasi mengharukan baru saja dirasakan oleh para penerbang Skadron Udara 3. Mereka baru sekitar 20 menitan tiba di rumah masing-masing setelah satu bulan tergabung dalam Operasi Terpadu di Nanggroe Aceh Darussalam dengan menggunakan F-16 mengamankan wilayah udara Aceh dalam rangka operasi menyekat GAM.
“Fajar, sekarang juga perintahkan seluruh penerbang kembali ke skadron. Ada penerbangan gelap di Laut Jawa. Perintah Pangkohanudnas kita terbang sekarang juga untuk mengintercept.” demikian perintah dari Komandan Skadron Udara 3 Letkol Tatang Harlyansyah yang diterima Kapten Pnb Fajar Adriyanto. Bersama dengan Kapten Pnb Ian Fuadi, Kapten Pnb Tonny Haryono, dan Kapten Pnb Satriyo Utomo, mereka yang baru saja belum 1 jam bercengkerama dengan keluarga masing-masing diminta kembali ke skadron.
Baca juga : 17 Mei 1987, Peristiwa USS Stark : Serangan Rudal Exocet Irak ke kapal Perang Amerika
Jangan terpancing
“Kalian berempat sengaja saya tunjuk karena kalian mempunyai kemampuan. Hati-hati dalam penerbangan, tugas kalian dari Pangkohanudnas melalui Pangkosekhanudnas II hanya melakukan identifikasi, jangan emosi, jangan menembak bila tidak ada perintah. Saya akan bertindak selaku Duty sekaligus Kodal dalam operasi ini. Ian saya tunjuk sebagai flight leader didampingi Fajar sebagai Mission Commander di belakang. Fajar sebagai senior saya harap bisa mengendalikan operasi ini. Sedangkan Tony dan Striyo bertindak sebagai wingman. Laksanakan tugas dengan baik, jelas semua… ?!!” demikian Letkol Tatang memberikan arahan dan perintah kepada para penerbang yang menjadi pelaku sejarah dalam Insiden Bawean ini.
Pukul 16.10 WIB Pangkosekhanudnas II memerintahkan Dan Posko Tempur Sergap untuk segera melaksanakan identifikasi visual setelah pesawat siap. Lima menit kemudian Pangkohanudnas juga memerintahkan Kapopunas Mayor Pnb Agung Sasongkojati agar memberikan data intelijen terakhir serta analisis kemungkinan adanya pesawat tempur lain kepada para penerbang.
Sikap konfrontasi agar dihindarkan karena ini hanyalah misi identifikasi visual saja. Penerbang diminta tidak mengunci sasaran dengan radar/rudal sehingga tidak dianggap mengancam musuh. Keselamatan terbang diutamakan. Misi utama adalah Identifikasi Visual. RoE sudah ditetapkan.
Lepas landas
Pukul 16.40 WIB para penerbang menyalakan mesin kedua pesawat F-16 berkursi ganda. Falcon 1 (TS-1603) diawaki Kapten Pnb Ian Fuadi/Kapten Pnb Fajar Adriyanto serta Falcon 2 (TS-1602) diawaki Kapten Pnb Tonny Haryono/Kapt Pnb Satriyo Utomo. Pukul 17.04 Dua pesawat F-16 (Falcon Flight) masing-masing bersenjata dua rudal versi ekspor AIM-9P4 Sidewinder dan 450 butir peluru 20 mm(0.787 in) M61A1 Vulcan lepas landas.
Pukul 17.16 WIB Falcon Flight tertangkap oleh radar Surabaya dan dimonitor oleh MCC Rai. Dua menit kemudian Falcon Flight kontak dengan frekuensi SBY Director selaku GCI dan mendapat informasi tentang posisi serta jumlah pesawat tak dikenal. Falcon Flight menuju sasaran. Empat menit kemudian SBY Director menginformasikan Falcon Flight bahwa ada dua pesawat lain muncul dengan cepat mengarah menuju mereka.
Baca juga : 15 April 1986, Operasi El Dorado Canyon : Serangan udara Amerika terhadap sasaran di Libya
Baca juga : Pesawat perang elektronik Grumman EA-6B Prowler(1968), Amerika Serikat : Sang penyihir profesional
Perang elektronika
Pukul 17.22 WIB Falcon Flight dengan radar Westinghouse AN/APG-66(V)2 berhasil menangkap sasaran (radar contact). Kemudian yang terjadi adalah peralatan ECCM (electronic counter-countermeasures) radar kedua pihak mulai saling jamming. Masing masing peralatan perang elektronika dari kedua belah pihak tersebut memancarkan gelombang radio yang saling berusaha menaklukan dan membutakan satu sama lain.
Kedua F-16 pun mengaktifkan anti-jamming internal dan men-set ke mode auto, sehingga jamming yang dilakukan F/A-18 tidak berhasil. Melalui simbologi dan nada RWR (radar warning receiver) F-16 saat itu diketahui Falcon 1 dikunci (locked on) oleh radar Hughes Aircraft APG-73 dan rudal milik F/A-18.
Pukul 17.25 WIB Falcon 1 melihat sebuah F/A-18 dan terlibat manuver saling membelok. Falcon 1 berada di ekor F/A-18 Hornet tersebut. Falcon 2 segera mengambil posisi sebagai supporting fighter dan dikejar oleh F/A-18 yang lain. Falcon 2 mengambil inisiatif menggoyang sayap (rocking wing) memberi tanda bahwa kedua F-16 kita tidak bermaksud mengancam.
Perang udara jarak dekat
Kembali
Di markas Makassarnya, Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional II terus mengikuti jalan operasi identifikasi visual kedua F-16 yang diperintahkan menuju lokasi Bawean. TNI AU memperkirakan, konvoi kapal-kapal AS dengan kecepatan 20 knot akan sampai di sekitar Pulau Madura dan Kangean 12 jam kemudian.
Baca juga : 18 Februari 2001, Tragedi Sampit : Kekerasan antar-etnis Dayak dan Madura pecah di Sampit, Kalimantan Tengah
Pesawat intai Boeing 737 Surveiller
Tepat seperti dugaan Jumat 4 Juli 2018 pagi sebagai tindak lanut TNI AU mengirim pesawat intai Boeing 737 2X9 Surveiller Skadron Udara 5 Pangkalan Udara (Lanud) Hasanuddin, Makassarke daerah tersebut. Dan benar saja pada pukul tujuh pagi pesawat pengintai menjumpai iringan kapal induk, sebuah kapal perusak dan dua kapal fregat menuju ke Selat Lombok (ALKI II).
Ketika Boeing 737 Surveiller menanyakan dari mana dan ke mana tujuan mereka, hanya mendapat jawaban: “We are in international waters….” Dalam pengintai ini, Boeing 737 TNI AU sempat memotret kapal induk USS Carl Vinson, kedua fregat, dan kapal perusak AS yang dikawal pesawat-pesawat Hornet tersebut.
Selama operasi pengintaian itu pesawat Boeing 737 Surveiller TNI AU yang dilengkapi radar Litton AN/APS-504 (V)5 dan motorola SLAMMR (Side Looking Airborne Multi Mission Radar) terus dibayangi dua F/A 18 Hornet AL AS. Bahan-bahan yang didapat dari misi itu kemudian dipakai oleh pemerintah untuk melancarkan nota “keberatan” secara diplomatik terhadap pemerintah AS.
Gempa dan Tsunami Aceh 2004
Efek dari peristiwa insiden Bawean ini, Kapal Induk Amerika setiap melakukan pelayaran di laut teritorial Indonesia, tidak lagi menerbangkan pesawatnya tanpa ijin dan tanpa mengkontak ATC sebagai pengatur lalulintas udara. Contohnya, ketika US Navy menerjunkan 12 Seahawk dalam membantu penanganan korban gempa dan Tsunami Aceh 2004.
Setiap pagi, selepas ke 12 Seahawk lepas landas mengangkut bantuan dari kapal induk ke daratan, kapal segera menjauh 70-80 mil ke laut lepas agar pesawat tempurnya dapat melakukan latihan penerbangan rutin tanpa harus melanggar batas teritorial Indonesia. Kemudian kembali ke dalam 12 mil laut teritorial Indonesia di sore hari untuk menjemput ke 12 Helikopter tersebut. Kedua F-16 tersebut sukses melakukan misinya, dan membawa dampak besar bagi pengakuan kedaulatan yang telah tertulis dalam deklarasi Djuanda 1957.
Baca juga : AS Tekan Belanda Agar Akui Kemerdekaan dan Kedaulatan RI
Baca juga : Ketika Amerika Menginvasi Aceh pada 1832