Prancis mulai menjajah Aljazair pada 1830 Masehi demi bahan baku, politik dalam negeri dan pasar baru untuk memperluas jangkauan produknya
ZONA PERANG(zonaperang.com) Demokrasi Barat yang dilahirkan Revolusi Prancis 1789 tidak dapat diharapkan. Rakyat seperti lepas dari cengkeraman harimau untuk jatuh ke dalam mulut buaya, yakni dari kungkungan monarki absolut dan gereja kepada tindasan kapitalisme. Nestapa itu tidak hanya dirasakan kaum tertindas di Prancis atau Eropa, tapi juga atau bahkan terutama negeri-negeri koloni.
Pada praktiknya, kapitalisme menghendaki penemuan bahan baku dan pasar baru untuk memperluas jangkauan produknya. Karena itu, kapitalisme pun memasuki petualangan penjajahan atas bangsa-bangsa. Sejak abad ke-16, Prancis turut dalam perlombaan negara-negara Eropa untuk menjajah berbagai wilayah di Benua Asia (Indocina), Afrika (Maroko, Tunisia, Madagaskar, dll), dan Amerika ( sebagian Canada, Amerika Serikat sekarang). Saingan utamanya adalah Britania Raya (Inggris).
Setelah menjadi koloni Prancis dari tahun 1830 hingga 1848, Aljazair menjadi bagian dari Prancis sejak 4 November 1848 ketika Konstitusi Republik Kedua Prancis diberlakukan hingga kemerdekaannya pada 5 Juli 1962.
Kekhalifahan Turki Utsmaniyah yang kian melemah
Meskipun sempat mengendur, petualangan kolonial Prancis mulai merebak lagi terutama sejak 1830-an. Afrika Utara menjadi salah satu sasarannya, seiring dengan kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah yang kian melemah di kawasan tersebut.
Pada 1246 H/1830 M, Prancis berhasil menduduki Aljazair. Prancis ingin membuat Aljazair sebagai titik tolak perluasan wilayahnya di Benua Afrika setelah gagal mempertahankan koloni-koloninya di India dan Benua Amerika.
Invasi Aljazair terhadap Aljir (Aljazair Utsmaniyah) diprakarsai pada hari-hari terakhir Restorasi Bourbon oleh Charles X, sebagai upaya untuk meningkatkan popularitasnya di kalangan rakyat Prancis, terutama di Paris, tempat tinggal banyak veteran Perang Napoleon. Niatnya adalah untuk meningkatkan sentimen patriotik, dan mengalihkan perhatian dari kebijakan dalam negeri yang ditangani secara tidak kompeten dengan “berperang melawan dey”.
Baca juga : 1 Februari 1553, Prancis Mengakui Utsmani Sebagai Kekuatan Utama Eropa
Pemimpin yang buruk
Islam adalah agama mayoritas di Aljazair, dan sebagian besar warga adalah Muslim Suni bermazhab Maliki. Populasi Muslim di sana mencapai 99 persen dari total penduduk. Dan satu persennya adalah kombinasi dari minoritas agama lain di antaranya Kristen dan Yahudi.
Di sana, Aljazair menjadi yang pertama merasakan gempuran. Pada 14 Juni 1830, Prancis mendaratkan 34 ribu pasukan ke Sidi Farj, tak jauh dari Aljir. Hussein selaku gubernur (dey) Aljazair-Utsmaniyah melawannya dengan 19 ribu tentara dan tujuh ribu yanisari.
Prancis membangun pangkalan yang kuat dan mendorong ke arah Aljir, sebagian berkat artileri yang unggul dan organisasi yang lebih baik. Pasukan Prancis mengambil keuntungan pada 19 Juni selama pertempuran Staouéli, dan memasuki Aljir pada 5 Juli setelah kampanye tiga minggu.
Dey setuju untuk menyerah dengan imbalan kebebasannya dan tawaran untuk tetap memiliki kekayaan pribadinya. Lima hari kemudian, ia mengasingkan diri bersama keluarganya, berangkat dengan kapal Prancis menuju semenanjung Italia. 2.500 janissary juga keluar dari wilayah Aljazair, menuju Asia, pada 11 Juli. Berakhirlah kekuasaan Utsmaniyah atas Aljazair yang telah berlangsung 313 tahun lamanya (Perebutan Aljir pada tahun 1516 dilakukan oleh dua bersaudara Ottoman, Aruj dan Kheireddin Barbarossa, melawan Sālim al-Tūmī, penguasa kota Aljir).
Menurut Dominik J Schaller dalam artikelnya di The Oxford Handbook of Genocide Studies (2010), metode yang digunakan untuk menegakkan hegemoni Prancis di sana mencapai proporsi genosida. Berikut ini beberapa perlakuan kejam Prancis selama menjajah Aljazair:
1 juta korban meninggal
Aljazair dijajah Prancis selama 132 tahun dan merdeka pada 1962 setelah perang berdarah selama tujuh tahun yang menewaskan satu juta orang Aljazair menurut pemerintah Aljazair. Terjadilah pembiaran kelaparan, dan wabah penyakit.
Pada 1830, Bertrand Clauzel ditunjuk sebagai kepala misi invasi Aljazair. Untuk menambah kekuatan tempur pasukannya, Clauzel pun merekrut orang-orang lokalter utama dari suku-suku Berber yang menghuni daerah pegunungande mimen jadi tentara sewaan.
Ia mengawali upaya Prancis dalam menjadikan Aljazair sebagai wilayah koloni yang produktif. Sementara itu, rakyat setempat menderita karena tanah dan hasil panennya dirampas, para pejabat kolonial mulai dijangkiti korupsi.
“Sebagai bagian dari Prancis di masa lalu, Aljazair menjadi tujuan ratusan ribu imigran Eropa yang dikenal sebagai colon, dan kemudian sebagai pieds-noir. Namun, populasi Muslim asli tetap menjadi mayoritas penduduk wilayah ini sepanjang sejarahnya. Diperkirakan bahwa populasi penduduk asli Aljazair menurun hingga sepertiga antara tahun 1830 dan 1875 karena peperangan, penyakit, dan kelaparan.”
Hapus identitas Islam
Dalam penjajahan ini, rezim kolonial Prancis merusak kebudayaan tradisional Muslim Aljazair yang telah ada sejak kedatangan Islam di Afrika Utara. Muslim Aljazair saat itu tidak bisa menggelar pertemuan publik, membawa senjata api, atau meninggalkan rumah atau desa mereka tanpa izin.
Untuk bisa beraktivitas secara normal, warga Aljazair harus menjadi warga negara Prancis dengan hak penuh dan harus meninggalkan ajaran Islam. Badan Amal Islam dianggap sebagai milik pemerintah dan disita.
Prancis juga menganggap sekolah Alquran tradisional membahayakan sehingga ditutup. Mereka mengganti sekolah berbasis Islam menjadi sekolah Prancis dengan sistem pembelajaran berbahasa Prancis dan mengajarkan tentang kebudayaan Prancis.
Bahasa Arab juga diupayakan dihapus sebagai bahasa resmi yang digunakan masyarakat Berber. Warga Aljazair diperintahkan menggunakan bahasa Prancis dalam kehidupan sehari-hari.
Tahan puluhan tengkorak
Pada 1847, Prancis membuat peraturan code de i’indengenat, yang memakan banyak korban dari umat Islam. Hukuman ini diberlakukan karena Prancis menilai banyak masyarakat Muslim yang tidak patuh dengan melakukan pengkhianatan terhadap Prancis.
Salah satu tokoh yang terkenal menggaungkan perlawanan terhadap Prancis yaitu Abdul Qadir al-Jaza’iri. Maka Aljazair dikenal sebagai negeri seribu syahid karena ribuan orang tewas saat berupaya mempertahankan agama dan identitas mereka pada masa penjajahan Prancis.
Prancis sempat membawa puluhan tengkorak pejuang Aljazair anti-kolonial untuk disimpan di Museum Manusia di Paris. Aljazair pun pada 2011 meminta agar tengkorak tersebut dikembalikan untuk dimakamkan dengan layak, tetapi, Prancis menolaknya.
Di masa Presiden Emmanuel Jean-Michel Frédéric Macron, 24 tengkorak pejuang Aljazair dikembalikan, meski terbilang telat selama bertahun-tahun. Salah satu tengkorak adalah seorang pemimpin perlawanan bernama Syeikh Bouzian yang ditembak dan dipenggal Prancis.
Pengembalian itu baru dilakukan pada awal Juli 2020 lalu. Presiden Aljazair saat ini, Abdelmadjid Tebboune menyampaikan, para pejuang ini telah kehilangan hak asasi mereka selama lebih dari 170 tahun untuk dikuburkan secara layak.
“Ketegangan antara kedua kelompok memuncak pada tahun 1954, ketika peristiwa kekerasan pertama dimulai dari apa yang kemudian disebut Perang Aljazair, yang ditandai dengan perang gerilya dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang digunakan oleh Prancis untuk menghentikan pemberontakan. Perang berakhir pada tahun 1962, ketika Aljazair memperoleh kemerdekaan setelah perjanjian Evian pada bulan Maret 1962 dan referendum penentuan nasib sendiri pada bulan Juli 1962.”
Baca juga : Gilad Shalit, kegagalan intelejen Israel dan kemenangan Hamas
https://www.youtube.com/watch?v=CXAQWO70Qrk