Selama bertahun-tahun, Dinas Intelijen Uni Soviet (KGB) berusaha merekrut warga Indonesia jadi pemasok informasi. Hanya dua kasus yang terbongkar.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Pada awal Februari 1982, hubungan Indonesia dengan negara beruang merah Uni Soviet sempat sedikit panas. Bahkan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja sempat memanggil Duta Besar Ivan F Shpedko dan menyampaikan protes keras. Semua bermula dari tertangkapnya Asisten Atase Militer pada Kedutaan Uni Soviet Sergei Egorov di sebuah rumah makan di Jalan Pemuda Rawamangun, Jakarta.
Dosa Egorov tak main-main. Egorov, yang terjaring dalam operasi intelijen, dianggap telah melakukan jual-beli dokumen rahasia negara dengan perwira Angkatan Laut, Letnan Kolonel Soesdarjanto. Menteri Mochtar minta Sergei segera angkat kaki dari Indonesia dalam waktu 48 jam. Demi hubungan baik kedua negara, Departemen Luar Negeri berjanji insiden itu tak akan diumumkan ke publik. Dengan pesawat Garuda, Egorov meninggalkan Indonesia pada 6 Februari 1982 dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma.
“Akibat peristiwa ini kantor maskapai penerbangan Aeroflot ditutup”
Baca juga : Kisah Northrop F-5 : Pesawat Tempur Ringan Supersonik yang mampu Bertahan Lama
Baca juga : (Seri – Republik Indonesia Serikat) Negara Madura
Pengawasan ketat
Kejadian itu membuat Gugus Tugas Intelijen Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) makin sibuk. Intel-intel Kopkamtib diminta mengintensifkan pengawasan terhadap diplomat-diplomat Uni Soviet. Salah satu diplomat yang ditempel ketat adalah Sekretaris Ketiga Kedutaan Uni Soviet Aleksei Bobrov. Pada 4 Agustus 1982, mereka mendapati Bobrov sedang terlibat percakapan dengan seorang pemuda Indonesia di dalam Museum Nasional(Monas), Jakarta.
Awalnya pertemuan itu tak dicurigai. Namun Bobrov, yang terus dibuntuti, ternyata ketahuan tiga kali bertemu dengan pemuda tersebut dalam waktu dua bulan. Penyelidikan atas pemuda itu pun dilancarkan. Kenneth Conboy menuliskan dalam bukunya, Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service, pemuda tersebut ternyata mahasiswa jurnalistik asal Jawa Tengah yang tak memiliki catatan buruk di kepolisian maupun afiliasi politik.
Laporan pembuntutan atas Bobrov terekam dalam dokumen Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) dengan judul Museum. Intensifnya pertemuan tersebut membuat Kopkamtib mencurigai Dinas Intelijen Uni Soviet (KGB) akan merekrut pemuda tersebut menjadi agen.
Mamat
Dua bulan setelah pertemuan di museum, pemuda yang dalam laporan diberi nama Mamat itu akhirnya diinterogasi. Pemuda itu dipaksa menjelaskan semua pertemuannya dengan Bobrov. Mamat mengaku sengaja mencari orang asing untuk melatih kemampuan bahasa Inggrisnya. Mamat pun sempat menanyakan lowongan pekerjaan di Kedutaan Soviet. Bobrov mengatakan tak ada, namun mau membayar atas laporan yang memuat topik hubungan Indonesia-Amerika Serikat.
Bobrov juga meminta pemuda itu mencarikan buku-buku mengenai hubungan diplomatik Indonesia. Bobrov mendorong Mamat supaya melamar pekerjaan ke Departemen Luar Negeri atau staf lokal di Kedutaan Besar Amerika Serikat. Kasus ini kemudian dioper ke Satuan Khusus Intelijen Bakin dengan sandi ‘Museum’. Mamat dilarang memberi tahu Bobrov soal interogasi. Bahkan kemudian Bakin merekrutnya menjadi agen dengan sandi Kemuning.
Kemuning ditugasi terus menjaga kontak dengan Bobrov. Sedangkan Bobrov, yang tak sadar, terus memberikan penugasan kepada Kemuning. Ia diminta mengumpulkan artikel koran tentang kunjungan Presiden Soeharto ke luar negeri. Ia juga ditugasi menjalin hubungan dengan staf Indonesia yang bekerja di perpustakaan Kedutaan Amerika Serikat. Untuk penugasan itu, Mamat alias Kemuning ditawari honor bulanan Rp 40 ribu(Rp 3.125.257 nilai 2024).
Baca juga : Ronin (1998) : Film Kejar-kejaran di kota Paris terbaik di Zamannya
Baca juga : Apa tugas sebenarnya Presiden Rusia Vladimir Putin saat masih bekerja di Dinas Intelijen Soviet – KGB?
Melapor ke CIA & ‘bermain-main’ dengan intel Soviet
Satsus Intel pun memasok informasi kasus tersebut kepada Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA). Awalnya Bakin merencanakan mengusir Bobrov menggunakan kasus itu. Namun ditentang CIA. CIA ingin menggunakan Kemuning untuk mengorek informasi kehadiran KGB dan aktivitasnya di Indonesia. Kemuning disarankan agar tak dilatih untuk menjaga penampilannya selugu mungkin. Namun harus tetap dipantau supaya tak terlalu intim dengan Bobrov.
Hubungan Bobrov-Kemuning berlangsung terus sampai akhir penugasan Bobrov di Jakarta pada akhir 1984. Bobrov akhirnya menawari secara terbuka kesempatan bekerja sebagai mata-mata Soviet. Setelah Bobrov dipindahkan, Mamat tetap dipertahankan menjadi agen di bawah pengawasan Sekretaris Kedua Vladimir Yaravoi. Bakin dan CIA pun menyiapkan dokumen-dokumen palsu untuk diumpankan kepada Yaravoi. Rupanya Yaravoi hanya menugaskan pengamatan rumah diplomat Amerika Serikat, bukan pencurian dokumen.
Pengganti Yarovoi sebagai pejabat penghubung pada November 1985, Leonid Botchkov, pun menugaskan hal yang sama kepada Mamat, yang sudah lulus kuliah dan bekerja sebagai wartawan lepas. Namun, suatu ketika pada awal 1987, Mamat diminta mengambil kursus bahasa Inggris dan merintis hubungan dengan orang-orang di Departemen Penerangan. Ketika jadwal pertemuan selanjutnya tiba, rupanya Botchkov menghindar. Mamat pun gagal bertemu bulan-bulan berikutnya sesuai kesepakatan pada Kamis minggu pertama.
Akhirnya Bakin memerintahkan Mamat mundur setelah ‘bermain-main’ dengan intel Soviet selama lebih dari 4 tahun. Namun, sepanjang masa itu, tak sekali pun KGB memberi penugasan ilegal kepada Mamat, begitu juga sebaliknya Kemuning tak berhasil mendapat cerita apa pun dari pejabat-pejabat intelijen di Kedutaan Soviet.
102 kejadian
Satuan Khusus Intel mencatat hingga 1989 tak kurang 102 kejadian di mana diplomat Soviet mencoba merekrut orang Indonesia sebagai mata-mata. Personel militerlah yang paling banyak menarik perhatian intelijen Soviet untuk direkrut. Dari semua itu, hanya dua kejadian yang melibatkan seorang pegawai kantor pos Franky Wena pada 1974 dan perwira Angkatan Laut Letnan Kolonel Soesdarjanto yang berhasil dibuktikan di pengadilan.
“Jika ada orang Indonesia yang bisa mengakali Soviet dengan membayarnya tunai, biarkan saja,” mantan pejabat Bakin Sunarso Djajusman menuturkan kepada Conboy. Paling tidak ada 24 pejabat KGB serta Dinas Intelijen Militer Soviet (GRU) yang ditempatkan di Jakarta, Medan, dan Surabaya yang berada dalam pengawasan Satsus Intel. Para intel Soviet ini mendapat julukan Gatot dari Satsus Intel. “Semula mereka meremehkan kami,” ujar Bram Mandagi.
Sikap meremehkan ini membuat para agen Soviet itu kerap bertindak sembrono dan ceroboh di lapangan. Salah satu contohnya kelakuan agen lapangan KGB Boris Lipiane. Dokumen Bakin menyebut Lipiane termasuk orang Rusia yang tak tahan minum alkohol. Lipiane, yang menyaru sebagai Deputi Atase Kebudayaan, acap kali mabuk-mabukan di tempat hiburan malam di kawasan Menteng, Jakarta Selatan.
Baca juga : Penduduk Palestina Hijrah? Justru itu Skenario yang diinginkan Zionis
Baca juga : Kalashnikov AK-74 (Uni Soviet): Penerus senapan serbu AK-47 yang legendaris
Diselamatkan intel Indonesia
Pada 21 April 1970 dini hari, Lipiane yang mabuk berat hampir saja menjadi korban pengeroyokan di Club 69. Lipiane cari gara-gara dengan mematikan puntung rokoknya di mangkuk makanan pengunjung lain. Untungnya, ia diselamatkan secara diam-diam anggota Satsus Intel yang selalu setia membuntutinya.
Puncaknya pembelotan seorang agen GRU(Glavnoye razvedyvatel’noye upravleniye/Main Intelligence Directorate) bernama Nikolay Grigoryevich Petrov pada Juni 1972. Kapten Petrov membelot setelah mabuk-mabukan dan kalah berjudi. Pimpinan KGB di Jakarta, Anatoly Babkin, menugasi semua agen KGB dan GRU mencari Petrov. Semua prosedur keamanan dilanggar dengan melaporkan semua informasi kepada Bakin melalui telepon. “Ini benar-benar menelanjangi mereka,” kata Bram. Kedok beberapa perwira intelijen Soviet terbongkar ketika telepon mereka disadap Bakin yang dibantu CIA.
Nama-nama agen Rusia
Melalui sadapan itu pula, diketahui Soviet tak ragu menculik, bahkan membunuh, Kapten Petrov begitu mengetahui posisinya. Akhirnya, setelah menyembunyikan Petrov selama dua hari, CIA menyelundupkan Petrov, yang menyamar menggunakan seragam marinir, ke Filipina dengan pesawat Angkatan Laut Amerika Serikat yang menunggu di Pangkalan Udara Halim. Setelah berada di Amerika Serikat, Petrov membeberkan perwira-perwira GRU di Jakarta dan orang-orang yang berhasil direkrut. Semua informasi itu juga mengalir ke Satsus Intel di Jakarta.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Laksamana Muda (Purnawirawan) Soleman B Ponto mengatakan keberadaan intelijen asing di Indonesia bukanlah hal luar biasa. “Memang seperti itu di tiap negara. Mau di sini atau di sana sama saja. Kita juga punya di negara lain,” ujar Soleman . Sampai saat ini, perekrutan orang Indonesia untuk menjadi mata-mata pun masih terus berjalan. “Biasanya sebagai penyuplai informasi.”
Karena setiap operasi yang dilakukan sifatnya rahasia, tak jarang operasi intelijen sukar dideteksi. “Intelijen itu kerja pakai ini,” ujar Soleman sambil menunjuk kepalanya. “Bukan pakai senjata besar.”
KEN CONBOY adalah country manager untuk Risk Management Advisory, sebuah konsultan keamanan swasta di Jakarta. Sebelumnya, ia menjabat sebagai wakil direktur di Asian Studies Center, sebuah lembaga pemikir berpengaruh yang berbasis di Washington, yang tugasnya termasuk menulis makalah kebijakan untuk Kongres AS dan Eksekutif mengenai hubungan ekonomi dan strategis dengan negara-negara di Asia Selatan dan Tenggara. Penulis selusin buku tentang sejarah militer dan operasi intelijen Asia, judul terbaru Conboy, Spies in the Himalayas, mendapat pujian karena kisah menarik tentang pendakian gunung di ketinggian dan misi rahasia. Lulusan School of Foreign Service di Georgetown University dan Johns Hopkins School of Advanced International Studies, Conboy juga merupakan dosen tamu di Universitas Chulalongkorn di Bangkok dan telah tinggal di Indonesia sejak tahun 1992.
Baca juga : Teori Keamanan Israel (Bagian 1)