Kisah pengkhianatan & Raja-Raja Boneka Inggris: Sejarah Gelap Monarki Yordania
ZONA PERANG (zonaperang.com) Yordania, sebuah negara di Timur Tengah yang dikenal dengan sejarahnya yang kaya dan kompleks, menyimpan cerita menarik tentang bagaimana dinasti Hashimiyah berkuasa. Raja Abdullah II, penguasa Yordania saat ini, adalah bagian dari garis keturunan yang akarnya tidak bisa dilepaskan dari kolaborasi dengan kekuatan kolonial Inggris pada awal abad ke-20.
Kisah ini bukan hanya tentang naiknya seorang raja, tetapi juga tentang intrik politik, pengkhianatan, dan munculnya raja-raja boneka yang dibentuk oleh kepentingan asing.
Sampul depan: Raja Abdullah II bin Al-Hussein dan Hussein bin Ali al-Hashimi pemimpin Arab dari Bani Qatadah dari klan Banu Hashim yang menjadi Sharif dan Emir Mekkah dari tahun 1908 dan memproklamasikan Pemberontakan Arab Besar melawan Kesultanan Ottoman
Baca juga : Keberanian Tanpa Senjata: Kisah Desmond Doss di Hacksaw Ridge
Baca juga : Permainan Besar di Timur Tengah: Jalinan Wahabi, Saudi, Inggris dan Zionisme
Sebuah garis waktu;
Baca juga : 5 Oktober 1965: Peringatan HUT ABRI Berselimut Duka karena Pengkhianatan G30S/PKI
Baca juga : Mirza Ghulam Ahmad dan Kolonialisme: Sejarah Ahmadiyah yang Kontroversial
Pada awal abad ke-20, Timur Tengah masih berada di bawah Kesultanan Utsmaniyah. Namun, Inggris melihat peluang untuk menggoyahkan kekuasaan Utsmaniyah dengan mendukung pemberontakan Arab.
🔹 T.E. Lawrence (Lawrence of Arabia), seorang perwira Inggris, berperan besar dalam meyakinkan Syarif Hussein dari Mekkah, pemimpin Hashemite, untuk memberontak melawan Utsmaniyah dengan janji kemerdekaan bagi bangsa Arab.
🔹 Hussein dan anak-anaknya, Faisal dan Abdullah, percaya pada janji Inggris dan melancarkan Revolusi Arab (1916-1918), membantu Inggris mengalahkan Utsmaniyah di wilayah tersebut.
🔹 Namun, Inggris memiliki agenda tersembunyi: Mereka menandatangani Perjanjian Sykes-Picot dengan Prancis, membagi wilayah Arab tanpa memberi kemerdekaan yang dijanjikan.
Setelah Utsmaniyah kalah, Hashemite dikhianati oleh Inggris sendiri:
“Namun, janji Inggris ternyata penuh tipu muslihat. Melalui Perjanjian Sykes-Picot (1916), Inggris dan Prancis secara diam-diam membagi wilayah Timur Tengah untuk kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, Deklarasi Balfour (1917) menjanjikan tanah Palestina kepada gerakan Zionis, yang bertentangan dengan harapan Sharif Hussein.”
Melihat bahwa Abdullah Hashemite tidak memiliki tempat untuk berkuasa, Inggris memutuskan membuat sebuah negara untuknya: Emirat Transyordania (1921).
Sejak saat itu, dinasti Hashemite bertahan dengan dukungan Barat, bukan karena dukungan rakyatnya.
Baca juga : Abdel Fattah el-Sisi: Penjaga Stabilitas Mesir atau Pelayan Kepentingan Asing?
Baca juga : Bangkit dan Runtuhnya Kerajaan Majapahit: Sebuah Cerita Kejayaan dan Kemunduran
🔹 Abdullah I dibunuh di Yarusalem pada tahun 1951 karena dianggap terlalu dekat dengan kolonial Israel, meninggalkan putranya Talal, yang kemudian turun takhta karena masalah mental.
Abdullah I, kakek Raja Abdullah II ini adalah figur yang kontroversial. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai “boneka” Inggris karena kebijakannya yang sering sejalan dengan kepentingan kolonial.
Abdullah I memerintah dengan dukungan Inggris, yang memberinya kekuasaan dan perlindungan militer. Namun, kebijakannya, terutama yang terkait dengan Palestina, menuai kritik. Dia diam-diam bernegosiasi dengan pemimpin Zionis, yang dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Palestina.
🔹 Digantikan oleh Hussein bin Talal (Raja Hussein, 1952-1999), yang dikenal karena:
Pada saat perang 1967, Yordania kehilangan Tepi Barat ke Israel, tetapi kerajaan tetap bertahan karena dukungan dari Inggris dan Amerika Serikat.
Ketika Raja Hussein meninggal pada tahun 1999, tahta jatuh ke tangan Abdullah II, yang:
Sebagai lulusan sekolah militer terkemuka di Inggris dan Amerika Serikat, Abdullah II dianggap sebagai pemimpin yang modern dan pro-Barat. Namun, dia juga menghadapi kritik dari dalam negeri, terutama terkait kebijakannya yang dianggap terlalu dekat dengan penjajah Israel dan Amerika Serikat.
Di bawah kepemimpinannya, Yordania tetap menjadi sekutu penting Barat di Timur Tengah, tetapi tekanan internal, termasuk ketidakpuasan ekonomi dan pengaruh gerakan pro-demokrasi.
Kerajaan Yordania adalah salah satu contoh paling jelas dari monarki boneka yang diciptakan oleh kolonialisme Barat. Dari pengkhianatan terhadap Utsmaniyah, kolaborasi dengan Inggris, hingga mempertahankan kekuasaan dengan bantuan Amerika, Dinasti Hashemite telah berulang kali membuktikan bahwa kelangsungan mereka bergantung pada kekuatan asing.
Di dunia yang terus berubah, pertanyaannya adalah:
Seberapa lama lagi dinasti yang dibangun di atas pengkhianatan ini bisa bertahan?
Referensi
Baca juga : Otoritas Palestina: Alat Zionis atau Pembela Rakyat?
Baca juga : Sejarah dan Dinamika Politik Syria: Dari Tanah Syam hingga Kejatuhan Rezim Bashar al-Assad
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Palestina, perempuan telah memainkan peran yang sangat penting, tidak hanya sebagai…
Proyek Kuba dan Upaya Rahasia untuk Menaklukkan Komunisme di Belahan Barat Operasi Mongoose, atau Proyek…
Lawan Penindasan! Begini Cara Anda Bisa Membantu Palestina Lima Langkah Konkret untuk Mendukung Palestina dari…
Air Sebagai Senjata: Bagaimana Proyek Anatolia Tenggara Mengubah Dinamika Geopolitik Dari Pembangunan ke Penguasaan: Dampak…
Operasi Swift Retort vs Operasi Bandar: Analisis Pertempuran Udara India-Pakistan Aset IAF tidak berada di…
Pioneering Flight: The Story of Yak-141 and Its Influence on F-35B Development Yak-141: Jet Tempur…