ZONA PERANG(zonaperang.com) Kolonel Abdoel Latief adalah Komandan Brigade Infanteri (Brigif) I Kodam V Jakarta Raya (Jaya). Dia tinggal di Jalan Cawang I kavling 524/525, Jatinegara, bersama keluarganya.
Banyak bicara, kurang rensponsif, ambisius, suka disanjung, gila hormat. Komandan yang tidak populer dikalangan anggotanya. Itulah sekelumit tentang Kolonel Latief. Perwira Angkatan Darat yg memilih menjadi kader Partai Komunis Indonesia.
Hanya karena senang disebut sebagai ‘Perwira Yang Berfikiran Maju, Progresif, Revolusioner’, maka dia memilih menjadi kader PKI. Sebuah sanjungan yang tidak mungkin dia dapat di lingkungan TNI AD.
Hirarki militer tidak membutuhkan sanjungan, namun kecerdasan, kedisiplinan, kesetiaan dan kejujuran.
Baca juga : Lukman Njoto, Wakil ketua PKI : Dalang dibalik hasutan dan Propaganda kontroversial Partai Komunis Indonesia
Baca juga : 5 Hukuman Kejam dan Sadis di negara komunis Korea Utara Karena Tindakan Sepele
Bantuan Jenderal A Yani
Jabatan Latief sebagai Komandan Brigif 1 Jaya Sakti adalah buah dari kebaikan hati Jenderal A Yani. Jabatan yang penunjukannya menjadi hak prerogatif Pangdam Jaya, Brigjen Umar Wirahadikusumah.
Namun atas intervensi Jenderal A Yani, jabatan itu diserahkan kepada Latief.
“Latief mengetahui nama-nama target penculikan dan pembunuhan yang menjadi sasaran pasukan Pasopati (Regu Penculikan). Dan list nama target pun tertera bahwa Jenderal A Yani, orang yg selama ini membantu karirnya, akan dibunuh.”
Tapi begitulah, doktrin Komunis telah merusak rasa kemanusiaan di hati Latief.
Merubah seseorang manusia yang baik menjadi monster yang akan selalu tega membunuh siapapun yang dianggap menghalangi kepentingan dan agenda partai komunisnya.
Komandan
Sebagai komandan Brigif 1 Jaya Sakti, Latief membawahi 3 batalyon infanteri, yaitu Batalyon Infanteri Mekanis 201/Jaya Yudha, Batalyon Infanteri Mekanis 202/Tajimalela, dan Batalyon Infanteri Mekanis 203/Arya Kamuning. Tapi kenyataannya Latief cuma sanggup mengerahkan 60 orang prajuritnya.
Itu karena Latief tidak populer dikalangan anggotanya.
Tingkat intelektual Latief yang berada dibawah rata-rata perwira pada umumnya, membuat Latief sering melakukan inkonsistensi antara ucapan dan tindakannya. Latief sering mengalami kesulitan dalam mencerna pembicaraan atau menganalisa suatu keadaan. Insting militernya lemah.
Baca juga : 31 Desember 1992, Pembubaran Negara Republik Sosialis Komunis Cekoslowakia
Baca juga : Pembantaian Etnis Melayu 1946: Kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Timur
Rumah tiga rapat Tragedi 1965
Rumah Latief menjadi tempat tiga rapat penting terkait Tragedi 1965. Pertama, rapat berlangsung pada 22 Agustus 1965. Kedua, rapat pada 29 Agustus 1965 dan terakhir rapat pada 6 September 1965.
“Kesemuanya (tiga rapat itu berlangsung) pada malam hari,” tuduh Oditur militer Letnan Kolonel Iskandar dalam persidangan letkol Untung Syamsuri, pemimpin Gerakan 30 September, seperti tercatat dalam buku Gerakan 30 September di Hadapan Mahmilub: Perkara Untung (1966). Saat Untung disidang dan Latief menjadi saksi.
Sebelum rapat di rumah Latief, ada rapat lain yang berlangsung di rumah Kapten Wahjudi di Jalan Sindanglaja nomor 5. Mereka yang hadir nyaris selalu sama. Ada Letnan Kolonel Untung, Sjam Kamaruzaman, Sujono, Supono, Latief, dan tentu saja tuan rumah Wahjudi.
Dalam rapat di rumah Latief, peserta rapat adalah orang-orang yang sama seperti di rumah Wahjudi, ditambah kehadiran Mayor Agus Sigit (Komandan Batalyon 203 Kodam Jaya) yang tinggal di Cijantung Blok H.
Tentara adalah lawan paling berat bagi Partai Komunis Indonesia
Setelahnya rapat diadakan pada 12 September 1965; 17 September 1965; 26 September 1965; 28 September 1965. Sedangkan rapat terakhir berlangsung pada 29 September 1965. Rapat diadakan di beberapa tempat dan rapat terakhir berlangsung di rumah Sjam Kamaruzaman di Jalan Pramuka/Jalan Rawasari Buntu, Jakarta. Mereka yang hadir juga sama.
Dalam rapat-rapat itu, semua yang hadir memakai pakaian preman (sipil). Dalam rapat terakhir di rumah Sjam, peserta rapat ketambahan Brigadir Jenderal Soepardjo yang baru saja pulang dari Kalimantan Barat.
Dalam rapat terakhir itu, seperti dicatat Victor M Fic dalam Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005), Latief mengeluh kehadiran 60.000 tentara reguler yang tidak ikut dalam Gerakan 30 September 1965 yang sedang mereka rancang. Latief khawatir mereka akan menjadi lawan pasukan G30S.
Pasukan berjumlah besar di Jakarta itu di antaranya berada dalam kendali Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Cukup jelas bagi Latief, seluruh pasukan AD yang tidak bisa dipastikan berada di kubu mereka sebagai hal serius untuk diwaspadai. Tentara adalah lawan paling berat bagi Partai Komunis Indonesia.
Baca juga : 30 Desember 1922, Negara Komunis Uni Soviet didirikan
Baca juga : Film Pengkhianatan G30S/PKI : Waktu terkelam bagi bangsa Indonesia
Bergabung dengan KNIL
Latief, seperti diakuinya, sejak masih berusia 16 tahun sudah pernah bertempur melawan serdadu Jepang bersama KNIL/ Koninklijk Nederlands(ch)-Indisch Leger. Setelahnya dia pernah dilatih militer Jepang. Di masa revolusi ia bergabung dengan Republik dan mulai menjadi perwira. Dia juga menjadi bawahan Soeharto saat terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949.
Pada 1965 yang kelam itu, Latief sudah berkarier lebih dari 20 tahun di dunia militer. Karier yang cukup panjang dan jelas ia punya pengalaman. Jadi kekhawatirannya soal 60.000 tentara yang tak jelas keberpihakannya tidak bisa diremehkan begitu saja.
“Dua hari sebelum peristiwa tanggal 1 Oktober 1965, saya beserta keluarga mendatangi rumah keluarga Bapak Jenderal Suharto di Jalan Haji Agus Salim,” ujarnya seperti terbaca dalam Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S (2000). Dalam pertemuan itu, Latief mengaku hendak menanyakan adanya info Dewan Jenderal, sekaligus melaporkannya kepada Soeharto.
Isu Dewan Jenderal
Menurut Latief, Soeharto malah mengatakan ia telah tahu hal itu. Kata Latief: “Sehari sebelum datang ke rumah beliau [Soeharto], ada seorang bekas anak buahnya berasal dari Yogyakarta bernama Subagiyo, memberitahukan adanya info Dewan Jenderal, yang akan mengadakan coup d’etat terhadap kekuasaan pemerintahan Presiden Soekarno.”
“Soeharto berpendapat bahwa informasi itu harus diselidiki dulu. Namun karena begitu banyak tamu di ruangan itu maka kami pun beralih ke topik lain yang berkaitan dengan masalah rumah.”ungkap Latif. Latief tidak berhasil mengorek informasi apapun, terutama mengenai kepastian sikap Suharto menyangkut penculikan para koleganya di pucuk pimpinan Angkatan Darat.
Terganggu
Menurut catatan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008), pada pertemuan itu rupanya Latief dan Soeharto bicara soal pertukaran rumah. “Sebagai perwira komando distrik Jakarta, Latief mendapat sebuah rumah besar bekas kediaman duta besar Inggris. Latief mengatakan bahwa ia berencana memberikan rumah itu kepada Soeharto dan kemudian ia dan keluarganya pindah ke rumah Soeharto yang lebih sederhana,” tulis John.
Latief tidak berhasil mendapatkan informasi apapun lebih dalam, terutama mengenai kepastian sikap Suharto menyangkut para koleganya di pucuk pimpinan Angkatan Darat yang akan diambil. “Latief merasa sangat terganggu oleh kegagalannya ini terutama ketika melaporkan hasilnya kepada Untung cs pada rapat berikutnya yang akan diselenggarakan di rumahnya sendiri pada tanggal 30 September 1965, pukul 6 sore,” tulis Victor.
Tidak boleh mengambil resiko apapun
Rapat yang dihadiri Syam, Supardjo, Untung, Pono dan Latief itu menengarai bahwa mereka tidak boleh mengambil resiko apapun, bahwa ada bahaya besar Soeharto akan bertindak karena ketidaktahuannya yang justru bisa mengacaukan semua pekerjaan.
Latief mengusulkan Supardjo, Untung, dan Latief harus mengunjungi lagi Soeharto bersama-sama untuk memastikan partisipasinya. Namun Supardjo menampik usulan itu dengan dalih dia tidak begitu mengenal Suharto sehingga hanya Untung dan Latief lah yang harus menemui Soeharto karena relasi kekeluargaan mereka sangat erat dengan Soeharto.
Tapi Untung juga menolak, dia tidak berani menghadapi Soeharto, begitu tulis Latief dalam bukunya, sehingga pada saat yang sama Latief mengatakan bahwa dirinya sendiri tidak gentar dan siap secara sukarela melakukan misi itu sendirian.
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD)
Tak hanya pada 29 September Latief menemui Soeharto. Pada 30 September 1965 pun mereka bertemu lagi. Bukan di rumah Soeharto, melainkan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Hutomo Mandala Putra (Tommy), putra Soeharto, sedang dirawat karena baru saja ketumpahan sup panas.
“Latief ditugaskan untuk merekrut Mayjen Soeharto dengan cara memberitahukan rencananya untuk menangkap (bukan membunuh) para perwira yg dianggap sebagai anggota Dewan Jenderal.”
“Kira-kira pukul sepuluh malam saya sempat menyaksikan Kolonel Latief berjalan di depan zaal tempat Tommy dirawat,” aku Soeharto dalam buku Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989) yang disusun Ramadhan K.H. Autobiografi Soeharto itu tak menjelaskan apa yang mereka bicarakan.
Namun lain lagi dengan versi Latief. Ia mengatakan malam itu lagi-lagi ada pembicaraan soal G30S.
“Pak, malam ini kami beberapa kompi pasukan akan bergerak untuk membawa para jenderal anggota Dewan (Revolusi) ke hadapan yang mulia presiden,” aku Latief.
Baca juga : 18 September 1948, Madiun Affair (Pemberontakan PKI 1948)
Salah asumsi karena Loyalis Soekarno
Meski terkejut Soeharto tetap bersikap tenang. Usai bertemu Soeharto di RSPAD, Kolonel Latief kemudian bertemu untuk melakukan koordinasi akhir dengan Brigadir Jenderal Soepardjo, Letnan Kolonel Untung, dan lainnya.
“Dalam keterangan Latief menceritakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan nama Mayjen Soeharto tidak ikut dimasukkan dalam target penculikan, diantaranya adalah Mayjen Soeharto terkenal sebagai sosok Loyalis Soekarno. Orang kepercayaan Soekarno.”
Dalam wawancara yang pertama dengan Arnold Brackman beberapa saat setelah gagalnya kudeta tahun 1965, Suharto mengatakan bahwa Latief datang menemuinya di rumah sakit bukan karena ikut prihatinan akan sakitnya Tommy melainkan untuk mencari tahu tentang dia.
Dalam wawancara kedua dengan Der Spigel pada bulan Juni 1970, ketika ditanya mengapa namanya tidak tercantum dalam daftar nama jenderal yang akan diculik, Suharto mengatakan bahwa Latief datang menemuinya di rumah sakit di malam penentuan itu untuk membunuhnya, namun urung melakukannya karena melihat banyak orang yang hadir di situ.
“Dan dari Latief kita hanya mendapat referensi yang tidak jelas mengenai pertemuan itu dalam wawancara pertama pada tanggal 24 Mei 1998, dimana dia mengatakan bahwa dia telah mengunjungi Suharto tiga kali untuk membicarakan masalah itu pada bulan September 1965, dan bahwa hanya pada pertemuan terakhir pada 30 September itulah keadaan memungkinkanya mengatakan pada Suharto apa yang akan terjadi keesokan paginya, 1 Oktober 1965.” ungkap Victor
Kesimpulan Latief
Setelah pertemuan terakhirnya, kesimpulan Latief adalah Mayjen Soeharto tidak ikut serta tetapi tidak mau juga menentangnya, karena Mayjen Soeharto percaya bahwa ini adalah perintah Soekarno.
Dan dari asumsi pribadi tersebut oleh Latief disampaikan ke Untung dan Suparjo, sehingga mereka semakin percaya diri untuk melanjutkan operasi.
Pembicaraan inilah yg di kemudian hari menjadi bahan fitnah dan pemutar balikan fakta sejarah, dimana para keturunan PKI menganggap bahwa Pangkostrad mengetahui rencana penculikan dan pembunuhan terhadap Para perwira tinggi pimpinan TNI AD.
G30S tidak menarget Pangkostrad adalah bahwa figur Pangkostrad yang terkenal menjunjung tinggi sapta marga akan selalu mentaati perintah atasannya.
Baca juga : Wajah-wajah pembunuh para jendral Pahlawan Revolusi (Pemberontakan G30S PKI)
Letnan Kolonel Untung
Malam itu, Untung yang sehari-hari adalah komandan Batalyon Kawal Kehormatan pengawal Presiden Cakrabirawa bertindak sebagai pemimpin G30S. Selain menyatakan gerakan tersebut dipimpin oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), pengadilan militer atau Mahmilub menyatakan Untung bersalah karena menjadi pemimpin gerakan yang menghilangkan nyawa para jenderal staf umum Angkatan Darat, termasuk di dalamnya Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani pada 1 Oktober 1965.
Gerakan ini berakhir buntung karena dalam waktu singkat dihantam pasukan yang, pada 29 September 1965, sudah dicemaskan Latief sebagai belum jelas keberpihakannya. Soeharto ternyata tidak seperti yang dipikirkan Latief. Soeharto justru menjadi panglima penggebuk G30S?PKI dengan mengerahkan, terutama, pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan pasukan-pasukan Kostrad.
Tertangkap
Setelah gerakan yang ia bentuk gagal di tengah jalan, pada 2 Oktober para pemimpin gerakan menyelamatkan diri. Namun, Latief tertangkap pada hari itu juga di rumah sepupu istrinya di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Paha Latief ditusuk dengan bayonet dan lututnya ditembak dari dekat oleh pasukan Kudjang II Siliwangi yang menangkapnya.
Setelah kejadian itu, Latief mengaku langsung dimasukkan ke dalam sel isolasi di Penjara Salemba. Meski ditahan sejak 1965, vonis pengadilan baru dijatuhkan 17 tahun kemudian tepatnya pada tahun 1982. Baru, pada 1983 Latief dipindahkan ke Cipinang sampai akhirnya bisa hirup udara bebas berkat amnesti dari Presiden B.J Habibie pada Maret 1999.
Baca juga : Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) : Sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua
Baca juga : (Buku Karya Julius Pour) Soekarno Memarahi Brigjen Soepardjo Ketika PKI Kalah pada Tahun 1965