Artikel

Marahnya Panglima Sudirman ke Sukarno yang Tak Pernah Mau Ikut Gerilya

Bagi Soedirman atau Sudirman pilihan Sukarno/Soekarno yang menyerah saat diserbu militer Belanda dianggap tidak menghormati jabatan Presiden Indonesia. Sang jenderal kecewa.

ZONA PERANG (zonaperang.com) Sedari pagi, tepat pada 19 Desember 1948 Operation Kraai (Operation Crow) atau Agresi Militer Belanda II (Dutch Military Aggression II) dimulai. Didukung oleh pesawat P-40 Kittyhawk, P-51 Mustang, B-25 Mitchell dan Douglas DC-3 Belanda yang bertolak dari Bandung menyemburkan hujan peluru, menjatuhkan bom-bom, juga memuntahkan begitu banyak serdadu-serdadu penerjun payung serta penyerbu.

Pangkalan Udara Maguwo

Pangkalan Udara Maguwo di sisi timur kota dengan mudah jatuh ke penguasaan pihak Belanda, dibarengi dengan gugurnya 34 prajurit pengawalan pangkalan dari pihak Indonesia.

Belanda lantas memanfaatkan Pangkalan Udara Maguwo untuk menghilir-mudikkan pesawat-pesawat pengangkut tambahan prajurit maupun peralatan dari kota-kota lain di Jawa, khususnya Semarang dan Bandung.

Serbuan dilanjutkan dengan merangseknya satuan-satuan tempur Belanda masuk ke kota Jogjakarta, mengincar target-target yang telah ditentukan oleh duo pimpinan mereka: Letnan Jenderal SH Spoor dan Mayor Jenderal DC Buurman van Vreeden.

Termasuk di antara satuan-satuan tempur Belanda yang merangsek masuk kota adalah satu unit elite dengan para personel berkualifikasi komando serta parasutis. Sampai sekitar sebulan sebelumnya, para prajurit unit elite tersebut dikomandani oleh Kapten Raymond Westerling yang tersohor dengan praktik kejinya, khususnya di Sulawesi Selatan.

Namun, dalam aksi hari Minggu itu, unit elite Belanda tadi berada di bawah pimpinan komandan baru mereka, yakni Letnan Kolonel WCA van Beek.

Istana Kepresidenan Republik

Sekitar pukul 14.00, Van Beek dan para anak buahnya telah berada begitu dekat dengan kompleks bangunan besar yang pada era Hindia Belanda merupakan rumah jabatan Gubernur Belanda untuk Yogyakarta. Dengan segera terkepunglah komplek bangunan besar tadi, yang sejak Januari 1946 menjadi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Kini bagunan itu lazim disebut sebagai Gedung Agung.

Semula Van Beek dan para prajuritnya sangat mungkin menyangka bahwa mereka akan bertemu pertempuran sengit. Dalam perkiraan awal, bukan sesuatu yang aneh kiranya jika para prajurit pengawal istana akan mempertahankan mati-matian kompleks yang mereka jaga.

Di pihak Van Beek tentu ada saja yang mengira bahwa momen pengepungan dan penyerbuan Gedung Agung akan menjadi kesempatan mereka memamerkan skill terbaik sebagai prajurit komando. Entah itu menembaki satu demi prajurit pengawal secara jitu, atau melempari mereka dengan granat atau pisau, atau juga bergelut adu tinju-tendang-banting.

Menyerah dengan mudah

Namun, skenario yang menjurus kepada puputan ala Jawa itu tidaklah mewujud sebagai kenyataan pada hari itu. Setelah tembak-menembak yang tak terlalu lama, para prajurit pengawal istana ternyata kemudian menyerah. Bukan karena para prajurit pengawal istana tak memiliki niatan melawan, tapi karena Sukarno memang menitahkan para pengawalnya untuk tak perlu sampai menyabung nyawa.

Tak lama kemudian seluruh pengawal meletakkan senjata menuruti instruksi presiden mereka yang bahkan juga telah disepakati rapat kabinet pada paginya. Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta, dan para penghuni istana lantas jadi tawanan Belanda. Mereka ditahan di dalam istana sampai tiga hari kemudian.

Pemerintahan darurat

Pemerintahan darurat yang direncanakan sebelumnya dideklarasikan pada tanggal 19 Desember, Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang berkedudukan di Bukittinggi, Sumatera Barat dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Soedirman segera menyampaikan dukungannya kepada pemerintah ini.

Pada 22 Desember, Sukarno, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim diterbangkan ke Medan untuk menjalani penahanan di Brastagi; Hatta, Komodor Soerjadarma, Mr Assaat, dan AG Pringgodigdo dibawa ke Pangkalpinang, Bangka, untuk menjalani penahanan di Bukit Menumbing.

Baca juga : 22 Desember 1948, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)di Bukit Tinggi Sumatra : Penyambung Nyawa NKRI

Baca juga : 15 Februari 1958, Berdirinya PRRI : Dewan Perjuangan dibentuk di Padang menuntut Komunis disingkirkan, Keadilan bagi Daerah dan Janji-janji pemerintah pusat

Kemarahan Soedirman kepada Sukarno

Pilihan yang diambil Sukarno, Hatta, dan sejumlah elite Republik Indonesia yang berembug di Gedung Agung pada 19 Desember 1948 pagi adalah sesuatu yang menimbulkan kekecewaan Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia saat itu, Letnan Jenderal Soedirman.

Bagi Soedirman, pilihan Sukarno-Hatta agaknya dianggap tidak menghormati jabatan mereka selaku Presiden dan Wakil Presiden sekaligus Perdana Menteri. Dalam merespons serbuan Belanda ke ibukota Republik Indonesia, Sukarno-Hatta menurut Soedirman semestinya bersedia dan berani ikut menyingkir keluar kota serta turut bergerilya.

Janji Sukarno yang tidak ditepati olehnya sendiri

Lebih lagi jauh sebelumnya Sukarno dan Hatta pernah berucap bahwa mereka akan pergi bergerilya juga jika Belanda kembali memerangi Indonesia. Demikian dirangkum dari penuturan sejarawan Saleh As’ad Djamhari serta Rushdy Hoesein yang turut dimuat dalam majalah TEMPO Laporan Khusus: Soedirman, edisi 12-18 November 2012.

Pada pertemuan pagi 19 Desember 1948, Sukarno bahkan juga sempat beberapa kali meminta Soedirman yang sakit paru-paru untuk beristirahat saja, tak perlu melibatkan diri pada kegentingan hari itu.

Menyinggung harga diri

Sukarno membujuk Soedirman untuk tetap saja tinggal di Jogja alias menyerah ke pihak Belanda. Termasuk dalam upaya bujukan itu adalah janji untuk mengontak komandan militer Belanda supaya dapat mengupayakan perawatan rumah sakit bagi Soedirman. Ini tentunya menyinggung harga diri Soedirman selaku Panglima Besar Tentara.

Tak mengherankan jika nanti pada Juli 1949, ketika Pemerintahan Republik Indonesia dipulihkan dan para elite republik kembali ke Yogyakarta dari penahanan maupun dari medan gerilya, Soedirman masih sempat menyimpan kedongkolannya kepada Sukarno.

Kedongkolan ini terekam oleh dua foto Frans Sumarta Mendur (16 April 1913 – 24 April 1971) . Sukarno memeluk Soedirman yang sempat lama berdiri saja di beranda Gedung Agung, enggan masuk ke dalam. Di situ, gestur tubuh Soedirman jika diamati memang tampak kaku, tak antusias terhadap pelukan Sukarno.

Sukarno tidak konsisten dan bernyali

Penolakan Sukarno-Hatta dan sejumlah elite Republik Indonesia untuk pergi bergerilya saat terjadi Agresi Militer II Belanda, menurut Rushdy Hoesein, adalah awal keretakan hubungan sipil dan militer di Indonesia.

Nasution yang agak sinis dengan Sukarno juga menulis: “Memang cukup mengecewakan berita-berita yang masuk ke daerah gerilya, terutama tentang kejadian di Istana dan lain-lain di tempat resmi. … Pembesar Republik yang tertinggi keluar dengan pembawa bendera putih dan kemudian ditawan Belanda. … Sukarno minta dijamin keselamatan dirinya, anggota-anggota kabinet, dan keluarganya, serta pembantu-pembantunya, dan berjanji tidak akan meninggalkan Istana.”

Baca juga : Pahlawan Nasional Abdul Haris Nasution : Jenderal Besar anti Komunis, Konseptor Perang Gerilya dan Dwifungsi ABRI

Baca juga : (Buku) Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi-antara Sukarno-Aidit-Mao Tse Tung (Cina)

ZP

Recent Posts

Negara Arab dimata Taliban Afganistan tentang Perjuangan Palestina

ZONA PERANG(zonaperang.com) Konon, ketika pemerintahan pertama Taliban diundang dalam konferensi mengenai isu Palestina di salah…

1 bulan ago

Mesir

Pada tanggal 5 Oktober 1985, selama dinas wajibnya di Pasukan Keamanan Pusat Polisi Mesir di…

2 bulan ago

Fakta unik peranan rusia dalam hubungan dengan Amerika

Siapa yang mendukung Amerika dalam Revolusi Amerika melawan Inggris? RUSIA.

2 bulan ago

Jordan Files : Mengapa kerajaan Yordania melindungi zionis Israel Dari serangan lawan-lawanya?(Bagian ke-2)

ZONA PERANG(zonaperang.com) Salah satu peran yang ditugaskan kepada Yordania adalah koordinasi keamanan, karena Yordania memainkan…

2 bulan ago

Garis waktu perang Kolonial Zionis Israel vs Palestina 8 – 15 Mei 2024 (bagian 27): “Ada indikasi jelas bahwa Israel akan segera berakhir”

Faktor2 pendorong kehancuran rezim Zionis: kurangnya kohesi sosial di tengah masyarakat Israel, ledakan problem ekonomi,…

2 bulan ago

10 Pesawat Terburuk di Perang Dunia ke-2

Dengan meningkatnya ketegangan di Eropa pada akhir tahun 1930-an, beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Prancis,…

2 bulan ago