ZONA PERANG(zonaperang.com) Mohammad Toha adalah komandan dari kelompok milisi pejuang di era Perang Kemerdekaan Indonesia. Ia dikenal luas sebagai sosok pahlawan dalam peristiwa bersejarah Bandung Lautan Api tanggal 24 Maret 1946.
Mohammad Toha lahir di Desa Suniaraja, Bandung, pada 1927. Ia adalah putra Suganda dan Nariah, yang berasal dari Kedunghalang, Bogor Utara, Bogor. Saat usianya baru dua tahun, ayahnya meninggal. Nariah kemudian menikah dengan adik dari mendiang suaminya, yaitu Sugandi. Namun, tidak lama keduanya bercerai.
Sejak perceraian tersebut, Toha dirawat oleh nenek dan kakek dari pihak ayahnya, yaitu Jahiri dan Oneng. Sewaktu berusia tujuh tahun, Toha masuk di Volk School atau Sekolah Rakyat, hingga duduk di bangku kelas 4.
Baca juga : 22 Oktober 1945, Hari Santri : Fatwa Resolusi Jihad Ulama untuk Kemerdekaan Indonesia
Baca juga : Dan Kini Saatnya, Kita Menciptakan Mental Pahlawan dan bukan pengkhianat
Bekerja di bengkel motor
Bersamaan dengan pecahnya Perang Dunia II, pendidikan Mohammad Toha pun harus terhenti. Ia pun mulai mengenal dunia militer pada masa pemerintahan Jepang melalui Seinendan, sebuah organisasi semi militer yang didirikan pada tanggal 29 April 1943. Mohammad Toha yang sehari-harinya bekerja di bengkel motor sempat bekerja di bengkel kendaraan milik pasukan militer Jepang di mana ia memperoleh kemampuan berbahasa Jepang.
Antara Januari hingga Maret 1946, tulis John R.W. Smail, situasi di Bandung relatif tenang. Walaupun terjadi kebuntuan diplomasi antara Inggris dan Indonesia. “Bandung tetap terbagi dua dengan tidak nyaman,” kata Smail, dalam buku Bandung Awal Revolusi 1945-1946 (cetakan 2011).
Inggris yang berperan sebagai “pasukan perdamaian”
Kurun tersebut sebenarnya mendekati puncak peristiwa yang dikenal Bandung Lautan Api. Inggris yang berperan sebagai “pasukan perdamaian” antara Indonesia dan Belanda, datang ke Bandung dengan salah satu misinya menyelamatkan para pengungsi orang-orang Eropa.
Masa itu, Bandung sengaja dibagi dua, yakni utara yang dihuni para pengungsi, dan selatan yang dihuni pribumi. Rel kereta api menjadi tembok imajinernya.
“Bandung utara dalam keadaan sebagai kamp pengungsian yang padat di mana penghuninya hidup dari makanan kaleng dan terganggu oleh serangan-serangan pada bagian sisinya dan Bandung selatan dalam keadaan setengah kosong dan dihuni terutama oleh pemuda,” demikian tulis Smail.
Mohamad Toha dan Mohamad Ramdan
Ojel S.Y., seorang seniman yang juga penulis Bandung, mengunggah kisah pemuda tersebut(bersama Mohamad Ramdan) sebagai berikut:
Di Bandung ada dua ruas jalan yang saling berhubungan dan menghubungkan Bandung dengan Dayeuhkolot (ibukota Kabupaten Bandung abad ke-17): Jl. Moh. Toha dan Jl. Moh. Ramdan. Sebagian tahu siapa itu M. Toha (walau samar-samar), tapi jarang ada yang tahu siapa itu Moh. Ramdan. Mari kita throwback ke tahun 1946.
Setelah Bandung Lautan Api terjadi di Maret 1946, kekuatan militer Bandung dipusatkan di selatan Bandung, baik markas TRI Divisi III maupun laskar-laskar bertahan di wilayah tersebut.
Baca juga : 29 November 1947, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pembagian tanah Palestina bagi Zionisme
Baca juga : Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) : Sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua
Menyampaikan permohonan
M Toha ikut mengungsi ke Dayeuhkolot ketika Bandung Lautan Api. Pemuda ini geram terhadap Belanda (yang baru “mengambil ahli kekuasaan” atas Bandung dari Sekutu). Ia menyampaikan rencana untuk menghancurkan gudang mesiu Belanda di Dayeuhkolot kepada atasannya, tapi ditolak.
Di Dayeuhkolot, tanggal 9 Juli , Ia menyampaikan permohonannya kedua kalinya dan akhirnya diterima. Komandan MP3 (Majelis Persatuan Perjuangan Priangan) Sutoko menindaklanjuti permohonan Toha dengan mengadakan pertemuan dengan semua badan perjuangan yang bermarkas di Ciparay, di rumah Bapak Utju, seorang anggota PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia). Hasil pertemuan: esok hari, pusat pertahanan Belanda di Dayeuhkolot akan dihancurkan dengan cara meledakkan gudang mesiu.
Seorang anggota Hizbullah
Dikerahkan perwakilan tiga laskar untuk menjalankannya. Ketiga kesatuan itu: BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia), Hizbullah (sayap semi militer Masyumi), dan BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) Pasukan Pangeran Papak (asal Garut).
Ketiga laskar tersebut disatukan dalam dua regu, di mana hanya sebelas orang yang diberi mandat melaksanakan tugas. Pembentukan dua regu pasukan ini dikarenakan tidak mungkin dengan pasukan besar mengingat Dayeuhkolot terbuka sementara kedudukan musuh lebih strategis. Di sinilah Toha mengenal Mohamad Ramdan, seorang anggota Hizbullah.
Dua regu pasukan milisi ini terdiri atas: Barisan Banteng (Toha, Jojon, Suntama, Uju, Muin), tiga anggota BPRI Pangeran Papak (Ahmad, Memed, Wakhri), dan tiga anggota Hizbullah (Moh. Ramdan, Warta, Idas). Regu pertama, yang semuanya anggota Barisan Banteng, dipimpin Toha. Regu kedua, dari Pasukan Pangeran Papak dan Hizbullah, dipimpin oleh Ahmad. Setiap anggota pasukan dipersenjatai karaben, pistol, serta dua atau tiga granat di pinggang masing–masing.
Baca juga : Daftar Nama Besar Para Pejuang Islam Sepanjang Masa
Baca juga : 18 Agustus 2005, Peristiwa Mati listrik massal se-Jawa & Bali yang mengancam keamanan negara
Membawa pancingan
Malamnya, bercelana pendek dan berkain sarung di bahunya sambil membawa pancingan, Toha dan Ramdan berjalan menuju Citarum yang membelah Dayeuhkolot. Sesampai di sana, mereka melemparkan pancingannya, tapi tidak berjongkok, melainkan berjalan pelan menuju hilir, mengikuti pancingan yang terbawa arus Citarum.
Toha mengajak Ramdan kembali ke hulu. Sebab terlihat, di atas tembok gudang senjata, terlihat tentara Belanda yang jaga. Sampai di jembatan, keduanya naik dan berjalalan menyusuri selokan kecil dan pematang sawah menuju Kampung Manggahang.
Besoknya, 10 Juli, Kamis malam, kira-kira pukul 22.30, ketika semua anggota laskar tidur, Toha, Ramdan, serta ketiga regunya, termasuk Undang, keluar dari markas berjalan mengikuti selokan, memotong jalan pesawahan yang gelap. Setiap ada cahaya kilat, mereka berjongkok, bersembunyi di bawah pohon. Tepat di jembatan Dayeuhkolot, mereka menyeberang jalan, menuju pinggir Citarum. Toha di depan, sekitar 100 meter, diikuti Ramdan dengan regunya. Sampailah mereka di tempat yang sudah diberi tanda, berhenti.
Pukul 00.30, terdengar suara burung uncuing sebagai kode dari Toha kepada Ramdan (atau Akhmad?). Saat itu pula Akhmad (?) memberi kode dengan suara tekukur. Yang berada di tebing memulai menembak yang diarahkan ke menara lampu sorot. Mendengar sekali tembakan, lampu sorot terang dengan diikuti dengan suara miltaliur.
Tembus ke kamar mandi tentara Belanda
Terdengar suara anak buah Ramdan yang tertembak, dan kemudian terjungkal ke Citarum. Saat saling serang dengan tembakan itu, Toha berenang menyerong menyeberangi Citarum, lalu masuk hong air sebesar perut kerbau. Perhitungannya tidak salah: ujung hong tersebut tembus ke kamar mandi tentara Belanda di dalam markas.
Esoknya, 11 Juli, Jumat pagi, Komandan BPRI, Rivai, mendengar laporan bahwa Toha masih bertahan di gudang mesiu dalam keadaan terluka. Ia langsung memerintah S. Abbas agar mengadakan serangan ke tentara Belanda dari arah berbeda untuk mengalihkan perhatian tentara Belanda dan melapangkan jalan bagi Toha untuk menghancurkan gudang mesiu. Perintah baru dijalankan pukul 09.00 pagi.
Dengan menghindar ke arah timur sekitar 100 meter, pasukan S. Abbas melakukan serangan ke arah gudang mesiu, sehingga terjadi pertempuran antara kedua pihak. Sekitar pukul 12.30 terdengar ledakan hebat, disertai guncangan bumi dan kepulan asap putih kehitam-hitaman dari arah gudang mesiu(disinyalir Toha pada waktu itu membuka pintu (kunci) granat, yang kemudian dilemparkan ke arah tumbukan bom). Tak ayal, gudang senjata pun hancur di malam jumat itu). Konon, semburan pasir akibat ledakannya sampai ke Banjaran.
Menurut Nasution, Panglima TRI Divisi III, terdapat 1.100 ton mesiu yang meledak, mengakibatkan 18 orang meninggal dan lebih dari 50 orang menderita luka-luka. Dua kampung habis terbakar di samping bangunan-bangunan penting milik Belanda. Di tempat penimbunan amunisi itu terjadi lubang yang luasnya sekitar 100 x 60 m.
Baca juga : Salahudin Al Ayubi, Ulama Pembebas Yerusalem
Nasution Resmikan Nama Jalan
Pada akhir tulisannya, Ojel S.Y., mengatakan pemuda memang selalu punya idealisme—kendati yang jadi musuh adalah raksasa.
“Toha dan Ramdan memang bukan Arjuna yang berhasil mengalahkan Niwatakawaca yang nekat meminta bidadari Supraba kepada Batara Guru. Tapi keduanya—walau terkesan naif dan nekat—pernah menghayati sebuah masa yang disebut Revolusi—yang kerap tak pandang bulu dan memakan anak-anaknya sendiri,” tutup penulis novel Kala Murka tersebut.
Menurut John R.W. Smail, peran pemuda Bandung tidak bisa dipisahkan dari revolusi Bandung Lautan Api. Ketika para orang tua – seperti AH Nasution yang waktu itu Komandan Divisi III berpangkat Kolonel, Syarifuddin Prawiranegara (salah seorang menteri di Kabinet Sjahrir dan Presiden darurat saat Sukarno ditahan), dan Sutan Sjahrir (menjabat Perdana Mentri), dan tokoh-tokoh senior lainnya larut dalam diplomasi dengan Inggris – para pemuda terus bergerak di fron-fron depan, sebagaimana yang dilakukan Toha dan Ramdan.
Dalam buku “Saya Pilih Mengungsi” (Penerbit Bunaya, 2013), di saat setengah juta penduduk Bandung meninggalkan kota, para pejuang yang sebagian besar anak muda, bersama TRI, terus melakukan perlawanan. Mereka mencegat konvoi pasukan Inggris yang mengirimkan logistik ke Kota Bandung.
Di tengah kecamuk perang-perang grilya, letusan dahsyat terjadi, seperti yang dikisahkan Ojel S.Y.
Semua orang terkejut melihat asap tebal membumbung tinggi di langit Dayeuhkolot. Belakangan diketahui bahwa ada yang meledakkan gudang mesiu milik Belanda.
“Kabar yang beredar waktu itu pelaku peledakkan adalah Mohammad Toha, dari Pasukan Barisan Banteng. LH Lily Sumantri menurutkan, ketika Belanda menghujani Bale Endah dengan mortir, Toha dan Mohammad Ramdan bersama pejuang lainnya dari Hisbullah yang semuanya berjumlah 11 orang, melakukan serangan ke Dayeuhkolot,” demikian buku Saya Pilih Mengungsi.
1.100 ton mesiu
Mereka menyerang gudang yang menyimpan 1.100 ton mesiu. Dari 11 orang itu, hanya Mohammad Toha yang tidak diketahui keberadaan jasadnya. Sebagian jasad penyerang ditemukan, sebagian lagi selamat dan menuturkan bahwa Toha ditanggal dalam keadaan luka tembak. Toha tidak mau menjadi beban pasukan. Berbekal geranat, Toha berjibaku meledakkan gudang mesiu.
Mengenai pemuda Toha, AH Nasution tidak mengenalnya. Namun ia juga mendengar ledakan dahsyat itu.
“….kita sudah keluar dari Bandung dan saya waktu itu bermarkas di Banjaran sebelah selatan. Mendadak ketika kita sedang berbicara tentang siasat….harus tiap malam menyerbu ke Bandung, terdengar ledakan…. Itu ternyata gudang mesiu Belanda di Dayeuhkolot. Dari mana terjadi kita juga tidak tahu. Malumlah waktu itu yang berkuasa Belanda bukan kita.”
Lalu, lanjut Nasution, beberapa tahun kemuian setelah Belanda hengkang dari Indonesia, Nasution yang menjabat KSAD diminta meresmikan nama Jalan Raya Banjaran menjadi Jalan Mohamad Toha.
“Saya sebenarnya tidak tahu Toha yang mana. Jadi itu bagi kita tetap suatu hal yang penuh question mark….saya sendiri tidak tahu bagaimana gudang mesiu bisa meledak. Tetapi selalu disebut Toha yang berbuat. Toha adalah dari laskar pada waktu itu dari Garut,” kata Nasution.
Baca juga : Bekasi Lautan Api, Pertempuran Heroik para Pejuang Indonesia dari Kota Patriot
Baca juga : Suleiman The Magnificent ; Legenda Raja Terbesar Eropa di Abad 16