Munawar Musso adalah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia dan salah satu tokoh kunci dalam peristiwa Madiun 1948.
ZONA PERANG(zonaperang.com) Bangsa Indonesia mengalami beberapa pergolakan besar setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Salah satu prahara yang terjadi adalah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun, Jawa Timur pada September 1948.
Pemberontakan PKI di Madiun identik dengan sosok Musso. Siapa sebenarnya Musso dan benarkah ia memimpin pemberontakan PKI di Madiun?
Baca juga : Pembantaian Etnis Melayu 1946: Kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) di Sumatera Timur
Baca juga : Pengkhianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) : Sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh kita semua
Anak dari
Musso adalah anak dari seorang kiai besar di Kecamatan Pagu, Kediri, Jawa Timur yakni KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo bekas pasukan Diponegoro.
“Saya hanya mengetahui Musso memang keluarga besar Ponpes Kapurejo, namun yang paham itu adalah KH Muqtafa, paman kami,” kata pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Kapurejo KH Mohammad Hamdan Ibiq seperti dikutip dari Merdeka.com, Kamis (28/9/2022).
“Yang saya pahami Musso itu anak gawan (bawaan), jadi saat KH Hasan Muhyi menikahi Nyai Juru, Nyai Juru sudah memiliki putra salah satunya Musso. Makam keduanya berada di kompleks Pondok Pesantren Kapurejo,” tambahnya.
Sementara itu, KH Muqtafa menerangkan bahwa KH Hasan Muhyi dianugerahi 12 anak dari pernikahannya yang pertama. Salah satu putranya adalah Musso.
“KH Hasan Muhyi itu orang Mataram, sebenarnya namanya adalah Rono Wijoyo. Beliaulah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juru. Dari pernikahannya yang pertama itu KH Hasan Muhyi diberikan 12 putra. Dan maaf salah satunya mungkin orang mengenal dengan nama Musso,” bebernya.
Belajar Komunisme ke Uni Soviet
Dalam kisah hidupnya, Musso pernah satu rumah kos bersama Soekarno/Koesno Sosrodihardjo, Alimin bin Prawirodirdjo, Semaun, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Mereka tinggal di rumah milik HOS Tjokroaminoto/Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto sang “Raja Jawa Tanpa Mahkota” di Jalan Peneleh Gang VII Surabaya yang juga sebagai gurunya.
“Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” – Trilogi Tjokroaminoto
Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sementara nama yang terakhir menjadi tokoh Darul Islam/Negara Islam Indonesia, lebih condong ke kanan.
Musso yang kos di rumah Tjokroaminoto bertemu dengan H.J.F.M. Sneevliet. Ketika Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada 1912, Musso aktif di dalamnya. Dia juga aktif di ISDV bentukan Sneevliet yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia.
Pada tahun 1926 Musso mempelajari komunisme ke Uni Soviet.
Baca juga : 16 Juli 1918, Keluarga Romanov dieksekusi : Mengakhiri 300 tahun dinasti kekaisaran Rusia
Baca juga : 7 November 1917, Pemberontakan kaum Bolshevik di Rusia : Revolusi komunis yang melahirkan negara Uni Soviet
Membangkitkan PKI atas perintah Soviet
Dalam buku Madiun 1948: PKI Bergerak (2011) karya Harry Poeze, dijelaskan bahwa Musso merupakan salah satu pemimpin PKI di awal 1920.
Pada 3 Agustus 1948, Musso kembali ke Indonesia. Sepekan kemudian, yakni 10 Agustus 1948, Musso menuju ke Solo dan menginap di kediaman Gubernur Militer Wilayah Surakarta Wikana.
Kedatangan Musso ke Indonesia adalah untuk membawa amanat Moskow. Atas intruksi Soviet, ia mendirikan PKI muda.
Musso dikenal sebagai orang yang bersifat otoriter dan tidak sabar. Bagi Moskow, justru sifat itulah yang diutamakan. Sebab di Uni Soviet, komunisme diwujudkan lewat paksaan berupa revolusi. Kremlin memandang perlu mengirim utusan ke Republik yang baru berdiri untuk menyelaraskan haluan kaum komunis Indonesia dengan garis komunis internasional.
Karena itu, Musso mendapat mandat untuk memimpin gerakan komunis di Indonesia.
Jangan jatuh dalam pengaruh Amerika
Dengan haluan baru, PKI harus menghindarkan Indonesia jatuh ke dalam lingkungan pengaruh Amerika.
Kedatangan Musso membawa perubahan besar bagi gerakan komunis di Indonesia. Setelah tiba di Indonesia, Musso langsung menyusun doktrin bagi kekuatan komunis di Indonesia yang diberi nama “Jalan Baru untuk Indonesia”.
Sesuai dengan doktrinnya, pada Agustus 1948 Partai Sosialis yang dipimpin Amir Syarifuddin dan Partai Buruh berfusi dengan PKI atau dikenal dengan Front Demokrasi Republik (FDR).
Pada bulan yang sama, Musso mengadakan pembaharuan struktur organisasi Politbiro PKI. Dia mengecam keras kebijakan pemerintahan Kabinet Muhammad Hatta. Ia mengatakan bahwa dalam tahap perjuangan demokrasi baru, masih digunakan segenap aliran untuk mengelabuhi.
Akan tetapi pada kurun waktu tertentu mereka harus disingkirkan, karena hanya orang-orang PKI yang mampu menyelesaikan revolusi di Indonesia.
Baca juga : 26 Desember 1991, Runtuhnya Negara Raksaksa Adikuasa Uni Soviet (Hari ini dalam Sejarah)
Pemberontakan di Madiun
Sejak awal September 1948, Musso bersama beberapa pimpinan PKI berkeliling ke daerah-daerah di Jawa, seperti Surakarta/Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.
Dikutip buku Sejarah Daerah Jawa Timur (1978), ketika Musso dan Amir Syarifuddin berada di Purwodadi mendengar kabar bahwa unsur pro-PKI telah mengambil inisiatif untuk melancarkan revolusi (pemberontakan).
“Namun Musso beranggapan untuk mencapai kekuasaan terlebih dahulu akan menggunakan cara non-revolusioner sebelum menggunakan taktik revolusioner.”
Pada 18 September pagi, sekelompok rakyat Purwodadi mengibarkan bendera merah dan Musso berangkat ke Madiun. Malam hari mereka tiba di Rejo Agung dekat Madiun dan menjumpai kenyataan bahwa organisasi PKI telah melancarkan coup d’etat di Kota Madiun dan sekitarnya.
Sejak saat itu revolusi komunis atau pemberontakan komunis sudah dimulai.
Selain pengambilalihan kekuasan di Madiun, mereka juga merebut kota-kota dan ibu kota karesidenan Madiun. Semua alat-alat pemerintah, militer dan sipil pada waktu itu lumpuh serta mampu dikuasai.
Kaum komunis berambisi untuk memegang pimpinan pemerintahan dan mereka ingin mendirikan front nasional. Kaum komunis beranggapan bawah dunia ini telah terpecah dua, yaitu blok kapitalis imperalis di bawah pimpinan Amerika Serikat dan blok anti imperalis di bawah Uni Soviet.
Karena perjuangan Indonesia anti imperalis maka menurut kaum komunis, Indonesia harus berada di pihak Komunis Soviet.
Baca juga : Kolonel Inf. Abdul Latief, Wakil Pimpinan Operasi G30S/PKI 1965
Baca juga : Letkol Untung Syamsuri, Komandan Operasi Peristiwa Berdarah G30S/PKI 1965
Kiai-kiai pesantren dicap borjuis oleh PKI
Sebagian catatan sejarah menyebutkan, sebagian mereka yang menolak ‘program’ pemerintahan Front Nasional PKI kemudian ditahan dan dibunuh.
Tidak hanya dari kelompok Islam, tetapi juga kesatuan tentara dan polisi anti-PKI, atau para pamong praja.
“Kiai-kiai pesantren itu dianggap oleh kaum komunis itu sebagai kaum borjuis, yang mereka [dianggap] memiliki tanah yang sangat luas,” kata sejarawan dari UGM Yogyakarta, Julianto Ibrahim, kepada BBC News Indonesia.
“Mereka [PKI] menganggap pesantren-pesantren bagian dalam frame yang harus mereka musuhi.”
Jasad( kiai, santri, dan guru agama) mereka yang dibunuh kemudian dimasukkan ke dalam sumur-sumur yang tersebar di beberapa lokasi di sekitar Magetan dan Madiun. Belakangan di lokasi-lokasi bekas kuburan ini didirikan monumen “keganasan PKI” .
“Ada yang tengkoraknya pecah. Mereka tidak disembelih, tidak ditembak, [tapi] dipukul dengan alu, tongkat,” ungkap Haji Sayyid Zuhdi, pemimpin Pondok pesantren (Ponpes) Cokrokertopati di Desa Takeran, Magetan.
“Korban di pihak lawan kelompok PKI, itu terjadi saat kekuatan komunis merebut Madiun. Mereka membunuh pamong-pamong praja, pemimpin birokrasi. Dan saat pelarian [ke lereng pegunungan Wilis], mereka menculik banyak orang,” kata Julianto.
Baca juga : Supono Marsudidjojo, Wakil Ketua 1 Biro Chusus PKI
Baca juga : (Kekejaman PKI) Membunuh Gubernur Jawa Timur dan merebut paksa pemerintahan daerah
Merebut tanah
Salah-satu program yang dipaksakan oleh pemerintahan Front Nasional adalah ‘merebut’ tanah-tanah milik kiai untuk dibagikan kepada petani penggarap. Landreform, begitu biasa disebut.
Penangkapan
Untuk kepentingan pertahanan dan penindasan pemberontakan, pada 19 September presiden Sukarno selaku panglima tertinggi memaklumkan “Negara dalam keadaan bahaya” dan mengirimkan divisi Siliwangi.
Lewat corong radio Yogyakarta yang diangkat Kolonel Sungkono ( tokoh dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945) sebagai gubernur militer Jawa Timur mendapat tugas untuk menindas pemberontakan dan merebut kembali Kota Madiun.
Pada malam hari, mulai dilakukan penangkapan pimpinan PKI diberbagai daerah termasuk ibu kota Yogyakarta waktu itu. Panglima Besar Jenderal Sudirman memerintahkan pengepungan terhadap Kota Madiun.
Gerakan pasukan pemerintah dimulai pada 21 September 1948. Pengejaran pemberontakan oleh TNI terus dilakukan pada 31 Oktober 1948.
Pada waktu itu Brigade S (Sudarsono) yang dipimpin Kapten Sunandar telah dapat menembak mati Musso di Sumoroto Ponorogo. Selanjutnya tokoh-tokoh pemberontak tertangkap di Desa Girimarto Wonogiri, Jawa Tengah dan pada 5 November 1948 menjalani hukuman militer.
“Jasadnya tidak pernah ditemukan setelah dibakar massa anti-komunis di kota itu.”
Baca juga : (Buku) Kudeta 1 Oktober 1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi-antara Sukarno-Aidit-Mao Tse Tung (Cina)
Baca juga : Kebijakan berbahaya Presiden Xi Jinping rangkul masyarakat Cina perantauan
https://www.youtube.com/watch?v=thryU2FbgG8